#21. (Broken Brake)

3K 213 31
                                    

Suasana riuh cafe tak membuat hati Eric tergugah. Panik benar ia rasakan. Semalam pesannya sampai pada Celine. Dan siang ini, mereka akan bertemu untuk pertama kalinya setelah kejadian waktu itu.


Tak pernah terlintas di pikiran Eric bahwa hubungan yang sudah ia jalani hampir 3 tahun ini akan ia akhiri. Dulu, Eric bersusah payah mendapatkan hati Celine. Sekarang, ia dengan mudahnya berpaling pada hati lain, dan memilih untuk memberi akhir pada hubungan ini.


Eric menatap ke arah pintu. Sudah hampir lima belas menit dia belum melihat penampakan wanita itu. Sesaat Eric berpikir tentang keputusan yang akan ia buat ini. Well, mungkin benar kata Mommy nya. Hubungannya ini memang sudah rusak, dan tanpa sadar Eric yang pertama memberi retakan. Tinggal bersama Evan, berbohong mengenai banyak hal tentang dirinya dan Evan, lalu berakhir jatuh pada lelaki bernama Evan itu. Eric merutuki nasib buruk yang baik ini. Lagipula, bangkai akan menimbulkan bau busuk sepintar apapun kau menyembunyikannya.


***


"Let's break up. "


Kata - kata itu terucap begitu saja. Wanita di hadapan Eric juga seolah tak peduli dan biasa saja. Wajahnya sudah tertekuk sejak awal. Eric tak merasakan karisma yang biasanya Celine tampilkan. Hanya hawa tak suka dan malas yang Eric rasakan.


Wanita itu bungkam. Dia hening sesaat sebelum akhirnya dia bergerak. Membenarkan posisi duduknya, lalu meminum jus yang baru saja di antar pelayan. Bibir velvetnya seperti hendak berucap. Lalu tatapan wanita itu jatuh tepat pada Eric. Senyum remeh ia lukis di bibirnya.


"Darimana saja kau, hm?"
"Tak perlu kau minta, aku memang sudah menganggap kita tak punya hubungan apapun. Terlebih, aku sadar satu hal."


"Apa maksudmu?"


"Kau jadi boneka orang tuamu. Dulu, kau mendekatiku juga karena Ayah mu itu ingin bekerjasama dengan perusahaan milik Papa. Kemudian sekarang, setelah menemukan sesuatu yang lebih berharga-maksudku Smith Corporation, dia membuatmu jatuh di tangan Evan, anak pemilik perusahaan. Kau tau? Selain tak berguna, kau bukan tipe orang yang tulus mencintai. Boneka yang materialistis. Korban dari ego orang tuanya. Seharusnya kau bisa berpikir sampai disitu."


Eric bungkam. Mulutnya seperti terkatup rapat tak bisa terbuka. Ia tak percaya, wanita ini-wanita yang pernah jadi orang spesial baginya bisa mengatakan hal yang demikian. Kalimat yang Celine lontarkan cukup membuat sebuah koyakan besar yang benar - benar berlumuran darah. Bibir velvet itu benar - benar membuat luka baru di hati Eric.


"Ok. Terserah apa katamu."
"Aku tak akan marah. Aku juga tak menyalahkanmu atas apapun. Kesalahanku jauh lebih buruk. Dan aku sadar akan hal itu."


Eric tak menatap mata wanita di hadapannya. Kata - kata itu terlepas begitu saja. Bersamaan dengan berbagai hal yang seperti terputar ulang di otaknya. Kilas balik bagaimana momen yang seharusnya patut dikenang, jelas di otak Eric. Eric bukan tak berdaya. Dia hanya tak bisa membantah apapun mengenai apa yang Celine katakan. Semuanya benar.


"Oh ya..."


Eric menengadah. Menatap wanita yang kembali bersuara. Mata Eric seperti tak mengenali wanita dihadapannya ini. Wajah licik, senyum angkuh, dan hawa mengintimidasi benar - benar membuat Eric lupa. Eric memperhatikan gerakan wanita itu. Lalu dia kembali bersuara. Tangannya menyodorkan sebuah foto.

"Perlu kau ketahui. Aku juga tak pernah benar - benar mencintaimu. Well, kau bukan tipeku. Dan aku juga sudah punya kekasih bahkan sebelum kita memulai hubungan ini. Jadi, aku tak akan mempermasalahkan apapun jika memang kau ingin mengakhirinya."


"...."


"Boneka memang seharusnya digunakan untuk bermain."


Celine pergi begitu saja. Menyisakan Eric yang seperti ingin lenyap dari dunia. Mata Eric mulai berair. Emosinya seperti tak lagi bisa terbendung. Air di pelupuk matanya seperti memaksa untuk mengalir. Hingga tetesan hangat jatuh menetes.

Siang itu Eric merasa dijatuhi takdir yang tak sesuai kemampuannya. Hatinya dikutuk oleh Tuhan. Dia menangis sendiri di tengah hiruk pikuk ramainya cafe.



***


Suara bel berbunyi berulang. Seseorang seperti tak sabar untuk menekannya, hingga harus dilakukan berkali - kali. Eric sebenarnya tak ingin beranjak. Entahlah, seperti energinya habis oleh sakit di batinnya. Tapi saat mendengar suara seseorang sepertinya ia kenal, Eric memilih untuk bergerak. Membuka pintu dan benar.


Edo datang dengan sekantung makanan. Eric menatap tak minat lelaki itu. Dia hanya memberi gestur mempersilahkan masuk. Edo yang tak tahu, bersikap biasa saja. Well, Eric tak begitu ramah padanya. Sejak awal bertemu.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang