#18. (Heartbreak)

3.3K 238 3
                                    

Kejadian tempo hari membuat jarak diantara Eric dan Evan makin jauh. Eric merasa ia diangguri. Tak lagi mendapat perhatian walau hanya sedikit. Evan pun seperti sudah tak minat. Terkadang jadi sosok yang sangat hangat dan perhatian. Terkadang pula jadi sosok yang dingin dan tak acuh. Dibanding melirik lelaki yang kini diangguri itu, Evan lebih sering lembur di kantor. Memeluk dokumen dan tumpukan berkas penting. Sampai terkadang lupa kalau ada hati yang berharap padanya.

Malam ini Eric menahan kantuk menunggu Evan pulang. Ia lelah sebenarnya. Seharian ini ada saja yang terjadi. Di kampus tadi ada banyak tugas yang dosen berikan. Lalu, ia harus kehabisan roti sehat di kantin kampusnya. Dan satu hal lagi, kencannya dengan Celine yang berantakan. Eric bingung harus mengambil tindakan apa. Di satu sisi dia ingin mempertahankan hubungannya dengan Celine. Di sisi lain dia juga tak ingin kenyamanan yang sekarang ia dapatkan ia lepas begitu saja.

Kenyamanan?

Tentu! Eric mulai terbiasa dengan usakan lembut di pucuk kepalanya. Tangannya yang besar terasa seperti penyegar harinya. Jangan lupakan perhatian lebih yang terkadang membuat Eric jadi terlalu berharap. Well, bukankah normal saat kau mendapat perhatian lalu kau terbawa perasaan? Yah walau terkadang dia tidak berniat memperhatikanmu, hanya saja kau yang menganggap demikian. Eric pusing jika terus memikirkan ini.

***

Eric terbangun. Dengkuran halus terdengar samar saat Eric mencoba membuka matanya. Beberapa kali ia mengusap matanya. Takut salah melihat bahwa Evan sedang tidur satu ranjang dengannya. Eric bisa melihat wajah Evan yang tetap tampan bahkan saat ia tertidur. Eric mendekat. Dia mencuri kesempatan untuk menyentuh pipi Evan. Dirasakan betapa halusnya wajah Evan. Tidak ada bulu halus bekas cukur di sepanjang rahang dan dagunya. Diteliti setiap inchi wajah Evan oleh Eric. Bulu mata yang lentik, lalu alis menukik, bibir tipis merah muda lalu hidung mancung bercuping ramping dan ujung yang sempurna menjadi anugerah hebat untuk Eric nikmati. Dia belum pernah berjarak sedekat ini dengan Evan. Walaupun sudah tinggal bersama selama berbulan - bulan, baru kali ini Evan tidur satu ranjang dengannya. Eric benar - benar menikmati. Tapi dia juga mengutuk hal yang sempat ia curi - curi tadi. Dia mengutuk perasaan aneh itu setiap memikirkan, berdekatan, melihat dan semuanya yang menyangkut Evan. Eric jijik.

"Nghhh.."

Eric buru - buru menjauh lalu berpaling ke sisi lain ranjang. Dia tidak pura - pura tidur atau semacamnya. Tapi dadanya seperti hampir meledak karena Evan tiba - tiba bergerak. Bisa jadi hal memalukan jika Evan bangun dan menemukan Eric tengah memandangi dirinya. Akan ditaruh dimana martabat Eric lelaki straight ini. Eric tak ingin jika Evan mulai merasa perasaannya terbalas hanya karena itu. Eric akan malu.

***

Weekend pertama bagi kedua sejoli itu bisa duduk di sofa yang sama dan menonton acara tv bersama. Di sisi kiri ada Evan yang sedang fokus menatap layar televisi, dan di sisi kanan ada Eric yang sesekali mencuri pandang pada Evan. Well, pagi tadi Eric diberitahu tentang makan malam keluarga yang akan diadakan nanti malam. Hanya dua orang tua Evan dan Eric yang hadir, tentunya kedua lelaki muda ini juga ikut serta. Eric sebenarnya tak masalah dengan makan malamnya, hanya saja dia sangsi. Takut jika nanti Renald, papa Evan masih mengingat - ingat kejadian di rumah sakit waktu itu. Bisa saja restu dicabut jika Renald masih menaruh benci pada Eric. Tapi apa pedulinya? Eric masih enggan mengikuti perasaan aneh itu. Dia ingin seperti lelaki lainnya, mencintai dengan logika, bukan perasaan.

"Er,"
"Apa kau perlu pakaian atau sesuatu yang perlu dipersiapkan untuk dinner malam ini? Misalnya perawatan tubuh, atau semacamnya?"

Eric menoleh ke arah Evan. Dia memutar bola mata malas saat mendengar perkataan 'perawatan tubuh'. Eric merasa dilecehkan.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang