#35. (I Love You.)

1.9K 126 9
                                    

Celine PoV
 




"Celine?"
"Hey! "
"Apa kau disana?"



   Wanita ini terengah tanpa menghiraukan orang di seberang telepon. Ia tarik napas dalam - dalam lalu melepasnya lega. Hampir saja ia membeberkan hal yang tak seharusnya. Harap - harap Evan tak memasang curiga atas tingkahnya yang sekarang terkesan menghindar. Pertanyaan Evan akan sulit ia jawab jika Eric tak menelepon dirinya. Celine merasa terberkati.


"Ya. Aku barusaja keluar untuk membeli makanan. Mungkin aku akan pulang sedikit larut. Kau tak perlu menungguku."
 

 
   Jelas Celine berbohong. Ia tak ingin hal ini makin rumit. Ditambah ia akan disalahkan jika mengatakan yang sebenarnya. Mengenai keberadaan Eric di apartemen miliknya, tak seorangpun tahu. Bahkan Tuan dan Nyonya Adam, orang tua Eric sekalipun. Dan kini yang paling penting dirinya harus tenang dan tak terdengar seperti menyembunyikan sesuatu.


"Kau masih bekerja?"
"Ingatlah kau bukan robot. Jangan sampai kau lupa itu."


   Celine terkekeh pelan. Diseberang hanya hening mungkin tak mengerti. Wanita ini lalu tertawa geli lalu berkata, "Urusi saja dirimu. Kau membutuhkan penyelesaian bukan? Selesaikan. "


   Tak ada respon, keduanya terdiam untuk beberapa detik. Baru selanjutnya Celine memulai obrolan. Dalam hati Celine tak mengerti. Dia bukan orang yang akan berharap lebih atas sikap baik seseorang. Tapi dia juga manusia. Percakapan yang sedikit panjang dan obrolan santai seolah tak ada apapun yang terjadi sebelumnya. Senyum yang tampak dilukis pada wajah Celine hanya gambaran. Tak ada yang tau bagaimana hatinya.


 

***




   Beberapa saat lalu panggilan terputus. Akan pergi keluar untuk makan, Celine memberi alasan demikian. Dia tak mengatakan apapun mengenai Evan. Kini ia tengah memilih beberapa jenis roti di kantin rumah sakit. Tak lupa segelas susu hangat, yang Eric bilang Evang menyukainya.


"Darimana saja kau?!"
"Kau bahkan belum menja—"


"Aku bawakan kau makanan."
"Aku tahu kau belum makan apapun hari ini. Atau mungkin sejak kemarin."


   Evan mendengus. Celine tak memerdulikan. Dia membuka kotak roti dan meletakkan beberapa potong ke piring. Bersama segelas susu yang ia pesan, ia letakkan di nakas dekat ranjang Evan. Bisa Celine lihat, Evan memerhatikannya.


"Makanlah."
"Jangan ragu karena aku tak memasukkan apapun kedalamnya."


    Satu gigitan. Evan mengunyah pelan diselingi tegukan susu. Celine ingin tak melihat, hanya saja entah sejak kapan dia makin mengerti. Evan adalah pria baik.


   Well, Celine mengalihkan pandangannya. Tangannya meraih ponsel dalam saku jaket. Membuka kunci layar, lalu mengecek jam. Ia lalu mengedarkan pandangan. Setiap sisi ruang ia pandang, dan beru disadari tak ada jam dinding tergantung. Pukul sepuluh malam dan dia disini bersama lelaki asing yang ia kenal.


  "Terima kasih untuk semuanya." Celine menoleh, pria yang terduduk menyandar tengah memandangnya mengulum senyum. Sedikit tersipu, cepat - cepat Celine memalingkan wajah.

"Aku hanya sedang memikirkan. Apakah Eric baik - baik saja? Apakah dia sudah makan malam? Dan.. "


Wanita ini tertarik. Dia menaruh wajah menatap lelaki yang seketika redup. Celine menantikan kalimat selanjutnya.


"Apakah dia juga memikirkan hal yang sama tentangku?"


Celine menahan tawanya. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Tak membiarkannya lepas karena takut merusak suasana yang ada. Lelaki di ranjang menatapnya bingung.  Celine berusaha menenangkan diri. Lalu berkata, "Tidak ada yang tidak mungkin. Tapi siapa yang tahu dia memikirkanmu atau tidak. Hanya hatinya yang tahu."


Evan tersenyum sayu. Dia mengalihkan pandangan, menatap lurus ke depan. Apakah Celine salah berkata? Atau mengatakan hal yang membuat Evan tak enak hati?


"Ini sudah larut. Aku harus kembali ke apartemenku. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."


  Wanita itu bangkit. Ia kenakan kembali coat tebal, dan meraih tas yang tergeletak di meja. Ada inisiatif yang tiba - tiba muncul. Celine bukan orang jahat. Dia juga tak ingin menjadi demikian. Bukankah ia pantas memilih untuk membiarkan dua insan ini bahagia? Dan ia bisa cepat - cepat terlepas dari situasi ini. Kartu nama. Kali ini ia tuliskan alamat apartemennya. Celine tak mengatakan apapun. Dia melangkah mendekat, menyodorkannya pada Evan yang nampak bingung.


"Datanglah kapanpun kau mau. Lebih cepat akan lebih baik."
"Semoga harimu menyenangkan."


Kaki jenjangnya membawa keluar badan dari ruangan itu. Sesaat Celine terhenti di depan pintu. Menarik napas dalam, melepasnya lega. Kali ini ia ingin berbuat yang semestinya. Bukan yang terbaik,  tapi setidaknya baik untuk kedua orang yang tengah krisis itu.
 



***



Ceklek.


"Aku pulang."



    Gelap. Wanita itu meraba dinding, mencoba menemukan saklar. Lampu menyala dan menampakkan ruangan yang rapi.  Celine masuk. Kakinya berjalan menyusuri lorong dan tiba di ruang tengah. Televisi menyala. Sesosok lelaki tengah meringkuk tidur. Sanyuman terlukis. Celine mengambil selimut memberikannya pada Eric. Matanya melirik, menemukan ponsel Eric yang menyala. Terpampang foto Eric bersama Evan di layar kunci.
 
 
   Celine melengos. Ada rasa lain muncul tetapi ia coba abaikan. Guratan senyum itu hilang seiring otaknya yang digerayangi banyak hal. Sejenak dirinya berpikir.  Ia sudah memberikan bantuan pada Evan secara tak langsung. Dan disaat yang sama ingkar atas janjinya pada Eric. Ia juga enggan. Dia yang jahat tapi dia juga yang kini menderita. Bukankah menggelikan saat kau berkata tak mencintai seseorang bahkan saat kau telah bersamanya untuk waktu yang lama.  Celine merasa bodoh. Realita kini takkan membuatnya senang dengan bayangan perasaan yang menghantuinya. Eric jelas mencintai Evan. Dan tanpa perlu ditanya, lelaki itu juga mencintai Eric. Lalu apa yang ia harapkan dengan berada disekitar orang yang sudah tak memiliki rasa? Sama saja membuatmu terus tersayat pada bekas luka yang sama. Takkan sembuh dan akan terus berdarah.
 

Huft.


Celine menggelengkan kepala. Barusaja tiba dan dia sudah overthinking. Bagaimana bila dia berdiam diri seharian penuh? Ia mungkin gila karena terlalu banyak berpikir. Sudahlah, wanita itu mengalihkan diri. Ia menekan tombol lock dan membiarkan layar ponsel Eric terkunci. Lalu matanya mencari dimana remote berada. Dan televisi dimatikan,  bersama suara parau memecah hening yang baru dirasa.


"Kau sudah pulang?"


"Mm."
"Kau sudah makan malam?"


"Ya."


Celine tak melanjutkan. Jelas Eric mengantuk. Ia memilih untuk mandi,  merelaksasikan pikiran. Perlu waktu beberapa menit—hampir setengah jam. Celine berendam dalam kubangan air hangat. Menarik napas, menahannya, lalu dilepas pelan. Otaknya membayangakan. Apa yang kiranya akan terjadi nanti. Nanti jika Evan datang. Datang dan bertemu dengan Eric. Lalu akankah badai makin larut atau pelangi muncul karena usainya badai? Tak ada yang tahu. Dalam hatinya, ia tulus berharap yang terbaik untuk keduanya. Baik Evan maupun Eric.




***




   Celine kembali ke ruang tengah. Ia lihat Eric yang terduduk, memakan cemilan dari toples. Eric yang merasa ditatap, menoleh dan bereaksi,  "Kau baik - baik saja?"


"Tentu."


"Aku mencoba untuk membuat sesuatu."
"Jika kau masih lapar, makanlah. Dan jika rasanya tak sedap, buang saja ke tempat sampah."
 

Celine sejenak terdiam. Pikirannya seperti ditarik pergi. Mulutnya bungkam tak merespon perkataan Eric. Dia seperti dibebani sesuatu.


"Hey?  Apa kau mendengarku?"


"Tentu. Aku hanya sedikit teringat sesuatu."


"Kau pasti lelah. Kau bisa tidur setelah melihat atau mungkin memakan masakanku."


"Mm."




***


 

   Matanya mengantuk. Terasa berat dan ingin sekali terpejam. Badannya pun lelah. Pikirannya pun tak jauh berbeda. Ia bertindak terlalu jauh?


Tidak.


  Celine sadar sepenuhnya apa yang ia lakukan. Ia juga tahu apa yang kiranya akan terjadi besok. Bukankah happy ending yang di inginkan setiap orang?  Napas kasar lepas. Wanita itu terduduk sendirian dalam gelap. Bahkan dibawah lampu yang padam, ia bisa melihat jelas wajah pulas lelaki di sofa. Dengkuran halus berpacu dengan denting jarum jam. Ia meringkuk. Dengan selimut yang terlalu kecil kaki lelaki itu melebihinya. Entah kenapa Celine tersenyum. Ada hal yang sudah sangat lama tak nampak. Ada hal yang sudah lama tak ia jumpai. Kebersamaan ini, kepeduliannya, dan perasaan yang dulu pernah singgah di hatinya.


Hampir pukul satu. Lelah yang teramat membuatnya terjaga dan tak bisa mengistirahatkan diri. Beberapa jam lalu, dia terduduk mengobrol bersama lelaki yang mencintai orang yang kini tengah tertidur di sofa. Kesan lain. Celine jauh lebih mengerti sekarang. Evan lelaki yang baik. Bahkan dengan melihat wajahnya, kau dapat tahu dia tulus. Dan tentu saja tampan. Ia tak mengelak mengenai fakta tersebut.


Tentu saja, lelaki sebaik—sesempurna Evan akan sangat pantas mendapatkan cinta siapapun. Dia pantas dicintai oleh siapapun. And that's why, Celine merasa semuanya akan baik - baik saja. Bersama disini dengan Eric juga bukan pilihan baik. Bukankah sudah dijelaskan sebelumnya?  Perasaan yang hilang bisa muncul dan kembali membekas bila terus menerus kau buat pemicunya. Celine yang mencampakkan Eric. Itu bukan bagian rencana Evan melainkan keinginan hatinya. Dan dia pula yang menbuat rencana Evan rusak. Dia bahagia kala itu. Terlepas dari urusan dua insan yang saling mengejar dan bersembunyi. Kala itu.

 


Huft.




Jika ia biarkan dirinya terjaga, mungkin pikirannya akan jauh digerayangi hal yang tak perlu. Digerogoti penyesalan yang mungkin membuatnya goyah dan kembali melukai perasaan orang lain. Kedipan mata mengakhiri pikirannya. Ia tergugah dan bangkit dari duduknya. Mendekati lelaki yang kini nampak makin pulas dan menikmati tidurnya. Lalu takdir akan seteduh wajah lelaki ini. Bahagia selalu menyertai dirinya.



Cup.


"I love you."
"Someone is waiting for you. And he deserve you more."










####G
Sedikit curahan hati dari antagonis.
Stay tuned terus dan jangan lupa supportnya.
Thank u,
Happy reading.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang