Eric terbangun dalam pelukan seorang lelaki. Netranya menatap wajah teduh sosok yang mendengkur halus di hadapannya. Teramat tampan. Dalam hatinya ia memuji bagaimana sosok ini yang begitu tampan ada bersamanya. Tangannya terulur menyentuh pipi. Lalu memberi usapan penuh cinta. Bergerak menyentuh dahi, menyibak rambut yang menutupinya. Didaratkan sebuah kecupan singkat disana.
"Selamat pagi."
"K-kau!!! Kau sudah bangun?!!!"Debu merah muda terhambur disepanjang pipi Eric. Ingin rasanya enyah dan tidak berada disana karena malu. Buru - buru ia memalingkan wajah. Memberikan punggung pada lelaki di sampingnya. Kekehan terdengar darisana.
"Mengapa kau harus begitu malu?"
"Dan kau bahkan tak menjawab ucapan selamat pagi dariku."
Detik berikutnya tangan Evan menyusup di sela - sela lengan Eric. Pelukan hangat dan wajah yang ia dekatkan kepalanya mengecup berulang tengkuk Eric. Lalu wajahnya tenggelam diantara leher. Deru napas yang jelas terasa di permukaan kulit Eric, membuatnya tak bisa menahan diri. Degup yang teramat kencang membuat dirinya cemas bila sampai orang dibelakang mendengar. Lantas ia berontak. Memberi muka, menciptakan jarak, membuat mata mereka bertemu. Eric tahu wajahnya kini semerah tomat.
"Selamat pagi."
Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Eric menahan degup yang makin kencang. Untuk beberapa detik, ia berharap dalam hati. Semerbak bunga kesenangan yang beterbangan dalam dirinya memicu degup yang begitu kencang. Harapannya agar sosok itu tak mendengarnya. Betapa ia menjadi bahagia karena bisa bersama dengannya.
"Aku selalu memimpikan hal ini. Bahwa aku akan melihatmu pertama saat aku membuka mata. Melihat wajahmu yang sedang lelap tidur. Memuji bagaimana kau menjadi begitu indah saat terpejam. Lalu aku akan tersenyum bahagia karena pagiku bisa menjadi bersama seseorang yang aku harap bisa. Dan kau tau? Aku sangat bahagia karena itu sudah menjadi nyata. Tidakkah kau merasakan yang sama denganku?"
Evan menenggelamkan wajahnya di dada Eric. Pelukan penuh cinta terlingkar oleh tangannya. Dirasakan sosok itu membalas. Eric mengukir senyum tanpa sadar. Ia sama bahagianya dengan sosok manja dalam pelukannya.
"Bukankah degup jantungmu terlalu kencang? Aku bisa mendengarnya dengan jelas."
Godaan itu tepat sasaran. Eric diserbu kepulan uap yang membuat wajahnya panas. Semburat itu merambat memenuhi permukaan wajah. Ia berontak ingin melepaskan diri. Malunya benar - benar ingin membuatnya pergi dari sana.
"Mengapa kau ingin melepaskannya?"
"Aku juga merasakan yang sama."
Bisikan itu lantas membuat Eric menegang di tempat. Tangannya yang digenggam, diarahkan pada dada bidang sosok yang dilukisi bahagia di wajah tampannya. Eric bisa merasakan degup yang tak kalah kencang. Matanya kini mengarah pada sosok yang mengulum senyum. Manik mereka yang saling bertemu memancarkan bahagia yang saling kentara nampak. Tangan Evan terulur. Dia mengelus pelan pipi Eric. Melepas jarak diantaranya. Dahi mereka menempel. Ujung hidung mereka saling bergesekan. Tak bisa dipungkiri. Eric merasa amat panas dan menjadi salah tingkah. Entah untuk apa ia memejamkan mata.
"Kau banyak berubah. Sejak kapan kau menjadi pemalu seperti ini? Dulu kau sering memberi kecupan di keningku, memelukku, dan berbicara manis padaku. Mengapa kini semburat itu selalu muncul saat kita menjadi begitu dekat hum?"
"Kau tidak tahu malu!!"
Eric melepaskan dirinya dari situasi menegangkan itu. Ia bangkit mendudukkan diri. Kakinya sudah menapak di lantai. Tangan panjang terjuntai diantara pinggangnya. Lalu melingkar dan menjadi erat. Sosok yang masih berbaring menahannya pergi.
"Jangan buru - buru bangun. Hari ini sabtu, dan kita bisa bersantai hingga tengah hari. Baru memulai aktivitas lain. Aku masih merindukanmu."Usapan lembut pada jemari yang tertaut. Eric melepas pelukan Evan dipinggangnya. Ia berjongkok menyamakan pandangan. Posisinya kini menghadap wajah Evan yang dibuat memelas.
"Lelaki yang akan berumur duapuluh lima tahun sepertimu seharusnya menjadi lebih produktif bukan? Lebih baik kita sarapan, lalu memulai sesuatu untuk dilakukan. Dan ya, aku ingin berbelanja nanti. Temani aku?"
Pencuri. Evan mencuri sebuah kecupan singkat di bibir Eric. Dan setelahnya Evan meringis. Helaian rambutnya ditarik kuat oleh sosok yang sudah menahan malu sejak tadi. Evan ditinggalkan begitu saja dengan pintu yang ditutup keras.
"Itu menyakitkan kau tahu?!!!"
*****
Dua lelaki itu duduk berdampingan. Salah satu diantaranya bersikap manja, menyandarkan diri pada lelaki yang tak melepaskan pandangan dari layar televisi. Memainkan rambut sosok itu. Menggenggam tangan lelaki itu. Memeluk lelaki itu. Menidurkan kepalanya di paha lelaki itu. Hingga akhirnya perhatian sosok itu teralih. Lelaki dibawah sana tersenyum dibuatnya.
"Kau sangat tampan."
Tak ada respon. Lalu diraih kembali telapak tangan sosok yang diam. Digenggam erat. Aliran cinta yang hangat menyalur dari dirinya menuju diri sosok yang masih tak merespon. Ciuman - ciuman singkat mendarat di punggung tangan. Dan berhasil mendapatkan atensi lelaki itu.
"Bisakah kau berhenti menyentuhi diriku, Ev? Duduklah dengan benar. Pahaku terasa kebas sekarang."
Evan bangkit cepat. Kepalanya bersandar pada bahu kokoh sosok terkasihnya. Memandangi garis wajah yang kokoh mencetak dagu. Hidung yang menjulang, dan bulu mata yang cukup panjang nan lentik. Evan dibuat geli seperti kupu - kupu tengah berkepak sayap dalam perutnya. Kesenangan melintang melewati batas dalam dirinya. Begitu bahagia dirinya bisa bersama sosok ini. Kini, disini.
"Tidakkah kau lelah menatapiku? Kau sudah melakukannya sejak hampir berjam - jam lalu."
"Tidak. Tidak dari dirimu yang membuatku merasa lelah maupun bosan. Ah, mengapa kau begitu dingin."
Bola matanya berputar. Eric melepaskan atensi. Mengalihkan pada acara televisi yang tadi ia tonton. Bukan tak ingin. Bukan keinginannya dingin. Ketahuilah ia menjadi begitu merasa bersahaja dan bahagia. Kupu - kupu beterbangan mmebuat perutnya geli. Seruak serbuk bahagia memenuhi ruang - ruang dalam dirinya. Harap sosok terkasihnya tak mencium betapa harum itu akan membuatnya tersedak pun bersin.
"Mari makan siang di luar."
"Lalu pergi berbelanja sesuai keinginanmu."
"Dan biarkan aku berbaring menidurkan diri disini. Bangunkan aku jika kau selesai dengan tontonanmu itu."
Jemari Eric membelai rambut lelaki yang membaringkan diri dibawah. Helaian rambutnya terasa lembut. Dan dalam beberapa menit sosok itu menjadi tenang dengan napas yang keluar - masuk teratur. Bulu mata yang bergerak dalam pejaman yang dalam. Wajah tampan yang amat teduh. Eric memiliki rasa bahwa Evan tak tidur pulas semalam. Berbeda dengan dirinya yang memang dibuat lelah karena penerbangan, Evan mungkin terlalu bersemangat.
"Aku mencintaimu."
****
Lelaki itu mengerjap. Lehernya sedikit kaku menyadari bahwa dirinya tidur tanpa bantal. Sosok yang semula duduk kini entah dimana. Matanya mengedar. Ruangan ini begitu sepi. Dengan kesadaran yang masih dicoba untuk mengumpul, kakinya berjalan menuju kamar mandi. Ia mencuci wajahnya. Membasuh pelan, membasahi setiap bagiannya. Ujung - ujung rambutnya menjadi lembap karena terkena air.
Satu gelas air putih tak tersisa. Diteguk habis karena kehausan. Benaknya masih dibuat bertanya. Kemanakah sosok tercintanya pergi.
'Pukul empat?'
Evan berjalan keluar dapur. Menaiki tangga menerka - nerka apakah sosok terkasihnya sedang duduk di balkon kamar menikmati kesendirian? Kenop yang terputar, atensinya difokuskan pada tirai yang bergerak menggembung ditiupi angin. Benar. Pintu yang tergeser, memberi celah besar yang mengijinkan angin masuk meniupi. Sosok itu berdiri dengan sebatang rokok yang terselip diantara bibirnya yang manis. Evan menjadi seorang yang baru mengetahui hal ini.
"Aku sedang merokok. Menjauhlah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Accepted [complete]
RomanceCinta yang belum dia terima, dan hatimu yang tak bisa berhenti untuk merasa seakan jadi luka yang setiap saat melebar. Bukan kau terlalu mengharapkan, hanya mungkin dia perlu waktu. Kedekatan kecil yang terbangung perlahan meluluhkan. Cinta yang tak...