#26. (Confused)

3K 210 19
                                        

    Orang yang belum pernah jatuh cinta, akan kesulitan mengendalikan perasaannya setelah rasa itu muncul.

 
    Evan masih termenung. Belakangan, waktunya akan habis di kantor. Memandangi monitor, tumpukkan kertas dokumen, dan berbagai meeting yang harus ia hadiri. Well, dirinya jelas merasa bersalah. Bisa saja sekarang Eric membencinya. Kemungkinan terbesarnya adalah semuanya tentang Eric dan dirinya akan berakhir secepatnya.
 

    "Rencana itu gagal." Ucap Evan pada dirinya sendiri. Banyak hal yang masih belum terungkap. Bagaimana mereka berdua bisa tinggal bersama hingga akhirnya bisa jadi lebih akrab dari waktu ke waktu. Evan tahu perasaan tak bisa dipaksakan. Dia juga sadar, memaksakan perasaanya pada orang lain juga bukan hal yang baik. Bukan cinta, bisa saja benci yang malah ia dapat.

     Evan lelah. Ia menutup layar monitor laptopnya. Bangkit, lalu berjalan pelan menuju coach panjang di sudut ruangan. Jas yang melekat ia lepas. Dasi yang mengikat leher ia longgarkan. Ia menarik napas panjang. Ada frustasi disana. Frustasi yang bercampur dengan kecewa, was - was, dan cemas. Ia cemas. Pikirannya tak henti berpikir mengenai hal buruk  setelah ini.

    Bagaimana jika Eric tak ingin menemuinya lagi?


      Bagaimana jika nanti Eric malah memilih untuk mundur?

 

 
    Bagaimana jika Eric memilih wanita sialan itu? Wanita yang merusak rencananya.



"Arghh!!!"

    Malam itu terlewat begitu saja. Lelaki frustasi yang akhirnya memilih untuk mabuk dan menghilangkan pikiran buruknya. Sesaat tapi setidaknya meringankan.

***
 

     Tirai tersibak. Cahaya memasuki ruangan. Lelaki yang tengah tidur di couch akhirnya membuka matanya. Pening. Itu hal pertama yang ia rasa. Sekilas, ia mencium parfum yang familiar baginya. Matanya bisa melihat, sebuah cardigan tergeletak di sofa seberang.

"Kau sudah bangun?"
"Sudah berapa kali kukatakan kau bukan pemabuk yang baik. Hilangkan kebiasaan memaksakan seperti ini. Tak baik untukmu."

    Samara berjalan memasuki ruangan. Dibawanya nampan berisi susu hangat dan semangkuk sereal. Evan hanya terdiam. Tangannya memegangi kepala. Benar - benar terasa berat. Ia menghabiskan satu botol sendirian. Padahal biasanya, meminum dua cawan kecil saja sudah membuatnya tak karuan. Ia terlalu memaksakan diri kali ini.
 

"Makanlah. Kau bisa absen hari ini. Aku akan meminta pegawai untuk membersihkan ruanganmu. Ruangan ini lebih seperti bar, dibandingkan tempat kerja."

 
"Ada apa kau pagi - pagi kemari?" Tanya Evan. Lelaki ini masih tak bisa memfokuskan pandangannya. Kepalanya masih terasa pening.

 
"Aku dengar, mantan kekasih Eric menganggu rencanamu. Dan Eric pergi dari rumah. Apa benar begitu?" wanita itu bertanya sembari mengikat rambutnya. Tangannya mengambil secangkir kopi hitam yang tersaji di meja. Menyesapnya pelan lalu meletakannya kembali. Kini matanya jatuh pada Evan.

"Kau tak mendengarku?"
 
 
"Hm!"

 
"Tak bisa dipercaya. Padahal kita hampir berhasil."
"Lalu? Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
 

"Entahlah."

 
    Evan termenung sesaat. Matanya menatap lurus ke depan. Tatapannya tiba - tiba kosong. Dalam hatinya ia berpikir apa yang harus ia lakukan setelah ini.

 
"Huft."
"Mungkin aku akan menemuinya. Nanti."

"Kau yakin?"
"Maksudku, kau pasti sudah bisa berpikir berapa besar kemungkinan Eric membencimu bukan? Dan berapa besar kemungkinan dia bisa kembali padamu. Well, aku rasa dia bisa memaafkanmu. Karena memaafkan bukan hal yang sulit. Tapi mengenai hal - hal yang terjadi, waktu yang kalian habiskan, dan hal yang terjadi sekarang, aku yakin untuk kembali padanya kau mungkin akan sedikit—atau mungkin sangat sulit untuk kembali padanya. Aku memang belum pernah benar - benar berada di posisi kalian berdua. Aku hanya ingin kau tau. Dia mungkin merasakan hal yang sama denganmu. Kalian sama - sama tak mengerti harus memulai lagi darimana. Dan apa salahnya mencoba? Kau bisa mulai kapanpun. Saat keberanianmu muncul." wanita itu berbicara panjang lebar. Evan yang barusaja bangun malah harus mendengar perkataan serius dari teman baiknya ini. Mulut Evan terkatup. Dia bungkam seribu bahasa. Otaknya mencerna setiap perkataan Samara. Semua perkataan wanita ini ada benarnya. Seharusnya Evan tak gegabah seperti ini.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang