Huft.
Tidak ada kedekatan yang pada dasarnya Evan harapkan. Dan belum ada perkembangan atas hubungan di antara keduanya. Satu atap, dan perasaan mereka sama sekali belum menemukan titik persatuan. Mau sampai kapan?
Satu bulan?
Dua bulan?
Atau satu tahun?
Satu windu?
Satu dekade?
Eric dan Evan memang satu atap sekarang. Tapi bukan berarti itu sertamerta mengubah fakta tentang Eric. Semuanya tetap sama. Eric bersikeras menolak lamaran Evan, yah walau dibilang Evan tidak melayangkan kalimat lamaran sejak terkahir kalinya. Hanya saja, Evan merasa tersakiti jika dia harus satu atap dengan orang yang tidak memberikan balasan atas perasaanya. Sudah semestinya manusia butuh timbal balik. Jika terus menerus seperti ini, Evan bisa saja bosan dan memilih untuk mencari lelaki lain yang sudah jelas mau dengannya.
Tapi,
Dan hanya saja,
Entah apa alasannya, hati Evan bersiteguh terhadap Eric. Terdengar bodoh memang, tapi hati Evan sudah diisi penuh oleh pesona Eric. Setidaknya, walaupun kedekatan mereka hanya itu - itu saja, tapi Evan menjadi lebih semangat untuk bekerja. Cinta memang bisa menjadi segalanya. Tergantung hati kita menyimpulkannya.
Trutt..... Trutttt...
"Selamat siang, Tuan Evan. Ada seseorang yang ingin bertemu Tuan. Dia ada di lobby sekarang. " telefon dari Resepsionis.
"Tanyakan apa dia sudah punya janji atau belum."
Terdengar suara samar di seberang sana. Telinga Evan sedikit menangkap bising suara yang tak asing baginya.
"Tidak,Tuan. Tapi dia mengatakan dia Eric, kerabat Tuan."
Evan mengerutkan dahi, membuat kedua alisnya bersatu.
'Ada apa dia datang ke kantor?' batin Evan.
"Biarkan dia menemuiku." kata Evan didahului deheman.
"Baik, Tuan."
Telepon terputus. Kini Evan mengalihkan perhatiannya pada pintu di pojok ruangan. Matanya menatap serius, menantikan kehadiran sosok yang kini sedang tak akrab dengannya. Hingga beberapa menit, lalu beberapa ketukan terdengar.
Tok.. Tok.. Tok..
"Masuklah."
Kenop pintu berputar, decitan terdengar samar karena pintu yang perlahan terbuka. Dari sana, nampak Eric yang mengenakan kaus putih polos dan kemeja sebagai outer. Dipasangkan dengan celana jeans dan sneakers yang nampak sangat cocok untuk Eric. Dan-dia membawa sesuatu di tangannya.
"Mmm... Hai! " Sapa Eric. Intonasinya terdengar agak canggung.
"Hai.. " jawab Evan.
"Apa aku mengganggumu, Ev?" Eric berjalan menuju sofa di sisi kiri jendela. Dia meletakan 'sesuatu' itu di meja, lalu mendudukkan dirinya disana.
"No, Dear.." jawab Evan santai.
"Ok. "
Hening menyelimuti ruangan. Evan hanya memperhatikan gerak - gerik Eric yang agak berbeda? Dia rasa begitu. Eric masih tak ingin memberitahu apa 'sesuatu' yang dia bawa, dan alasan mengapa dia datang ke kantor yang mana belum jam makan siang.
Beberapa saat terduduk diam, Eric bangkit. Kakinya melangkah, menyibak tirai yang setengahnya masih tertutup. Badannya agak membungkuk merapikan bebungaan yang ada di tepian jendela. Lalu tak lama dia menegapkan badannya dan mulai menatap luar jendela. Dia masih diam.
"Ada apa? Bukan hal yang biasa kamu datang kemari." Evan masih duduk. Penasaran dengan tingkah Eric yang amat sangat tak biasa.
"Itu.. "Eric masih menatapi luar jendela. Tapi tangannya menunjuk 'sesuatu' di atas meja.
Evan berjalan perlahan ke arah meja. Dia dibuat penasaran oleh tas kecil dan isinya. Tangannya meraih tas itu, lalu membukanya tak sabar. Ditemukannya sebuah kotak makan dengan warna transparan dan terlihat ada sandwich disana. Evan menatap Eric meminta penjelasan. Tapi, Eric terlebih dahulu menjawab.
"Mommy membuatkannya untukku tadi pagi. Tapi aku tak begitu lapar, makanya kubawakan untukmu." jelas Eric.
"Wah... !!" Evan dengan semangat memakannya tanpa meminta izin dari Eric. Evan hanya merasa bahagia bisa memakan sandwich yang dibawakan kekasihnya itu. Evan melirik ke arah Eric. Dengan susah payah dia menelan gigitan besar yang ada di mulutnya. Matanya menyipit dan otot - otot di lehernya agak nampak. Evan mengulum senyum, dia menatap Eric yang masih diam berdiri memperhatikannya.
"Kau tak ingin duduk?"
"Duduklah..!" Evan menepuk sisi kosong sofa. Memberi isyarat pada Eric untuk duduk di dekatnya. Tak berbasa basi, Eric duduk. Hanya saja, dia duduk di sofa seberang. Berhadapan langsung dengan Evan.Tangan Evan tanpa disadari bergerak menyeberangi meja, meraih tangan Eric. Eric masih diam. Senyum tipis nampak di bibir Eric. Belum sempat dia menikmati senyum manis Eric, Evan dikagetkan dengan suara teriakan seseorang.
"EVAN! "
"Hei! BA-NGUN-E-VAN! "
"EVAN SMITH!! "Mata Evan mengerjap. Dia mendongak dan mendapati seseorang dihadapannya. Matanya masih belum jelas, nyawanya belum seratus persen terkumpul. Dia kembali menggosok - gosok matanya, berharap akan lebih jelas tampang seseorang dihadapannya itu. Didapatinya, yang terdiam melihat tingkah menggelikan Evan.
"Aku kira kamu mati. "
"Ini sudah pukul tujuh lebih, dan tidak baik minum digunakan untuk obat tidur."kata Samara sambil menunjuk botol sampanye di atas meja.'Mimpi??'
Evan terdiam. Dia mencoba berpikir tentang hal yang baru saja terjadi. Dia sedang bersama Eric, berpegangan tangan, dan sekarang dia terkejut karena Samara, sekretaris pribadinya membangunkannya sambil berteriak.
Eric sadar, barusan itu mimpi. Astaga.
"Hei! Apa kau dengar aku?" Samara menginterupsi monolog Evan.
"Ya.. Aku mendengarmu.. Lagipula apa yang kau lakukan pagi - pagi begini di kantor?" Evan masih duduk di sofa. Dia menyandarkan punggungnya, dengan sesekali memijit pelipisnya.
"No.. Nothing, hanya saja ada beberapa hal tadi." kata Samara.
"Lebih baik kau cuci mukamu dan gosok gigi. Jika ingin, kita bisa breakfast bersama. Aku yakin kau belum makan."
"Aku lupa membawa sikat gigiku. Lagipula kau barusaja membangunkanku, sudah jelas aku belum makan." sungut Eric sambil memicingkan mata. Kepalanya masih terasa agak berat.
"Hei tuan ED, Evan Smith. Apa gunanya kau kaya raya jika uangmu tak kau gunakan. Beli sikat gigi di swalayan terdekat. Lagipula, ada apa kau sampai tidur di kantor?" Samara duduk menghadap Evan. Tapi Evan hanya diam sambil terus memijit pelipisnya.
"Aku pusing."kata Evan.
"Maka, bergegaslah cuci muka. Pakai outermu lalu kita breakfast dan membeli obat mual di apotek."Samara mendekat, lalu meletakan tangannya di dahi Evan.
"Sepertinya kau juga demam. Aku mengenalmu dengan baik. Kau bukan tipe orang yang suka hal - hal sembarangan. Kau tipe anak manja. Tidur di sofa saja membuatmu demam begini." timpal Samara yang tak dihiraukan Evan.
"Ya.. Ya.. Baiklah.. Aku akan cuci muka lalu kita pergi mencari makan. Aku benar - benar pusing dan mual, astagaa.."keluh Evan.
Evan lenyap. Dia berjalan agak sempoyongan ke kamar mandi. Mencuci mukanya, dan tidak menggosok gigi. Setelah itu, mengambil cardigan panjang hitam selutut. Dia merasa perlu kehangatan. Walau dia yakin di luar sana tak terlalu dingin untuk ukuran bulan Oktober.
"Ayo.." Evan berjalan mendahului Samara. Langkah kakinya lunayan tak terarah. Bukan pemabuk tapi memaksakan diri, maka jadilah Evan. Sepanjang jalan lemas dan terus mengeluh mual dan pusing.
Evan dan Samara asyik dan tak sadar ada seseorang yang sesak melihat kebersamaan mereka.
"Siapa dia?"
****
Updated! Vote to support, dan sorry kalo ada typo.
See ya di next chap yaw..
KAMU SEDANG MEMBACA
Accepted [complete]
RomantizmCinta yang belum dia terima, dan hatimu yang tak bisa berhenti untuk merasa seakan jadi luka yang setiap saat melebar. Bukan kau terlalu mengharapkan, hanya mungkin dia perlu waktu. Kedekatan kecil yang terbangung perlahan meluluhkan. Cinta yang tak...