#42 (Way Back Home)

2K 102 17
                                    



Happy reading semuanyaaa~




>———————————————————————<

 

     Tak ada angin sejuk. Ia tak menyibak tirai agar udara itu dapat masuk memberinya kesegaran. Kesendiriannya dalam ruangan yang pengap, dinikmati begitu saja. Evan sama sekali tak mengulik dan mencari tahu kabar sosok itu. Kepeduliaannya tinggi, hanya saja kata 'move on' sedang menjadi titik yang ingin ia raih. Bedakan antara sudah tidak peduli dengan perlahan mengerti dan menjadi ikhlas. Evan mencoba untuk menjadi itu. Sosok yang menerima yang ia jalani kini. Dan akan mengikuti kemana arus takdir membawanya.  Mungkin waktu akan merubahnya. Mungkin bila memang takdir membawanya pada sisi lain yang mungkin lebih bisa dikatakan 'semestinya', Evan tak akan menjadi sosok yang sedih karenanya.  Kebahagiaan seseorang tak terpaku pada satu hal. Dunia terlalu luas untuk membuat manusia mampu menjadi takjub pada hal yang sama. Mungkin suatu saat nanti—entah kapan itu, Evan akan menemukan sesuatu yang benar dan pantas disebut bahagia.
 

"Ini berkas yang perlu kau beri tanda tangan. Lalu ada rapat dengan petinggi perusahaan pukul 1 nanti. Dan jangan lupa kau perlu mengecek beberapa laporan. Akan aku kirim melalui surel."
 



"Baiklah."
"Terima kasih."



    Wanita itu tak langsung meninggalkan ruangan. Ia mendudukkan dirinya pada couch panjang disana. Mengambil beberapa butir cemilan berbentuk bola yang tersaji di meja. 



"Kau sedang senggang,huh?"



"Tidak juga."
"Apa lusa nanti kau sibuk? Sangat lucu mendengar seorang sekretaris yang jelas tahu jadwal bosnya bertanya demikian."



Evan tertawa kecil. Ia bangkit dari duduknya. Mereka kini duduk saling berhadapan.


 

"Memangnya ada apa?"
"Ingin mengajakku berkencan?"



    Samara lantas tersenyum meledek. Tatapan matanya seolah menjadi seseorang yang genit layaknya penggoda. Namun akhirnya tawa pecah dari keduanya.



"Ada Festival Kembang Api. Kau mau ikut?" tawar Samara. Dilihatnya Evan yang seperti menimbang. Di detik berikutnya Evan menatapnya. Pria itu mengangguk samar.



"Akan kupikirkan. Sepertinya cukup lama bagiku tak melihat suasana ramai."


 
****


    Kini, waktu membawanya kemari. Berlari begitu cepat hingga lusa seolah beberapa kedip mata saja. Diri lelaki itu terduduk menatap keluar jendela. Kaca yang setengah terbuka membuat angin dengan bebasnya meniupi permukaan wajahnya. Evan seolah kehilangan minat. Perasaaan yang begitu menggebu - gebu beberapa saat lalu lenyap karena ia harus melewati waktu dalam kesendirian. Dibawa mendengarkan bising dalam otaknya. Dirinya yang berdebat dengan dirinya yang lain.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang