#34. (One step closer)

1.6K 128 14
                                    

Tujuh kali duapuluh empat jam. Hampir selama itu Evan berada di Jerman meninggalkan pekerjaannya di Amerika. Bersyukur tak ada proyek besar yang tengah ditangani. Ia bisa menyerahkan semua urusan pekerjaan pada Samara. Hanya saja, kepada siapa dia bisa menyerahkan urusan hatinya yang makin tak jelas dan hampir tenggelam dalam kecamuk perasaan?


Helaan napas kasar lolos. Evan bangkit, melempar asal ponsel yang sempat dipandanginya. Hampir siang, ia belum makan apapun dari semalam. Evan yakin kini bulatan hitam nampak di sekitar matanya. Semalaman bahkan tak satu menitpun ia pulas. Tidurnya tak nyenyak mungkin sejak beberapa hari lalu. Ia menyelami kabar simpang siur mengenai keberadaan Eric. Tapi tak ada hasil pasti didapat. Asisten dan ajudannya pun belum memberi informasi pasti mengenai keberadaan Eric. Di kampus yang seharusnya Eric berkuliah, absensinya kosong. Walaupun Eric baru masuk beberapa hari, mungkin dua atau tiga hari lalu dia sama sekali belum mengikuti satu kelaspun.


Lantas?


Kejadian tempo hari itu buntu. Evan tak menemukan petunjuk apapun. Dan hatinya tak menemukan keyakinan mengenai seseorang itu yang mungkin saja Eric. Atau mungkin saja bukan Eric. Perasaan Evan saat itu hanya terlalu berharap. Hatinya yang terlalu ingin bertemu mungkin saja membuatnya berprasangka mengenai Eric. Tak ada salahnya, hanya saja...


Bagaimana nasib hatinya ini? Bagaimana nasib perasaannya ini? Perlu ditegaskan, Evan akan sangat senang bahkan hanya dengan bertemu dan mengatakan permintaan maaf atas rencana kekanak - kanakkan yang ia lakukan di masa lalu. Cukup bagi Evan bertemu dan melakukan itu. Bahkan mungkin, bukan. Evan akan sangat bahagia jika Eric mengatakan ingin kembali. Membangun cinta bersama. Tak terbayang. Ekspektasi itu terlalu berlebihan mengingat kenihilan yang masih dijumpai disetiap hal yang dia lakukan.


"I'm sorry."



***



Evan berjalan cepat. Kakinya melangkah lebar, melewati jalanan dengan salju tipis menyelimuti. Entah kemana dia akan pergi. Ia bosan memakan makanan hotel. Pun makanan dari cafe serta restoran dekat hotel. Entahlah. Ia hanya ingin sedikit melepas pikirannya. Melihat sekeliling ditemani sapuan angin dingin yang terus berhembus. Sesekali dia membuka ponselnya, melihat petunjuk arah menuju restoran futuristik terdekat. Tak terlalu jauh, mungkin tujuh ratus meter dari gedung megah tempat ia menginap.


"Guten Morgen"


Sesaat Evan memperhatikan tampilan luar restoran ini. Mirip dengan restoran yang pernah ia kunjungi dengan Eric dulu. Sekilas memori muncul, menyulut senyum yang tak terasa terukir begitu saja. Evan lalu menggelengkan kepalanya pelan. Menolak otaknya untuk berharap hal yang tidak - tidak.


'Siapa tahu, Eric rindu padaku dan pergi ke restoran ini. Ini benar - benar seleraku. Dia tahu itu.'


Satu langkah kaki dan pintu terbuka. Evan disambut oleh warna abu dan aroma wangi makanan. Matanya terpejam sejenak. Menghirup dalam - dalam aroma yang makin membuatnya lapar. Sesaat langkanya terhenti, dan matanya ia buka. Ia benar - benar tak menyangka vibe tempat ini amat mirip dengan restoran 'itu'. Evan berjalan. Kebetulan seat favoritnya kosong. Berada di pojok ruangan, dekat dengan jendela yangmana bisa menerawang jelas lalu lalang orang di luar jendela.


"Ah? "
"Ada seseorang disini?"


Belum sempat duduk Evan dikejutkan oleh suara seseorang di belakangnya. Suaranya familiar, Evan kenal. Hanya saja, ucapan dengan bahasa Jerman? Setengah hati Evan berbalik. Bukan tak ikhlas, sangsi. Hatinya sedikit, hanya sedikit berprasangka itu Eric.


"Excuse me Sir, i sat there a moment ago."


Deg!


Tatapan mereka bertemu. Tiba - tiba Evan berbinar dan tak kuasa menahan perasaanya yang meluap. Matanya melihat Eric baik - baik saja. Wajahnya makin tampan. Dan ekspresinya tak berbeda jauh dengannya.


"Eric!"


Evan segera memeluk lelaki itu erat. Dengan erat tangannya terikat membuat Eric tak menyentuh lantai.


"Lepaskan aku!! Lepaskan!!!"

"Tidak!! Atau kau akan lari dan pergi meninggalkanku!!"


Bukannya balasan hangat atas pelukan rindunya, ini yang Evan dapat. Evan tentu tak acuh. Dia tetap memeluk Eric erat hingga tendangan mendarat di perutnya. Ia tersungkur. Eric meraih ponsel dan jaketnya cepat, kakinya melangkah membawa pergi raganya cepat.


"Argh..."
"E-Eric!! Tunggu!!"


Evan bangkit dengan cepat. Ia tak menghiraukan rasa sakit di perutnya. Ia hanya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia berjalan cepat, berharap masih bisa membuntuti Eric. Matanya ia edarkan. Melihat acak sekitar, menerka mana lelaki yang tengah tergesa dan mungkin saja Eric. Dan dapat. Evan berlari menembus jalanan yang tiba - tiba ramai. Matanya fokus mengekori gerak lelaki yang berjalan cepat beberapa langkah didepannya. Lelaki itu menyeberangi jalan. Naas lampu berubah merah setelahnya.


'Apa yang kau pikirkan? Ia akan lari lagi dan mungkin aku tak bisa menemukannya lagi.'


Evan berjalan cepat tak mengindahkan lampu yang mengisyaratkan larangan. Ia berjalan tanpa memerhatikan arus kendaraan. Satu yang ia inginkan saat ini.




Eric.




Brakk!!!



****




"Bagaimana bisa kau tahu menu sarapan kesukaanku?"


"Karena aku mencintaimu."


"Jangan bodoh. Pasti mommy yang memberitahumu."


"No, sweetie. Aku mengetahuinya karena aku mencintaimu.".


"Kenapa kau tak pernah makan sarapan bersama saat pagi?"
"Kau hanya membuat satu menu dan setelah itu kau duduk memandangiku makan. Apa sampai sebegitunya kau mengatur pola makanmu?"


"Aku tidak suka telur mata sapi dan bacon."


"Yayaya, kau hanya menyukai potongan buah tropis untuk sarapanmu. Aku tahu itu."


"Bagaimana bisa kau mengetahuinya? "


"Karena aku mencintaimu"


---------




Evan membuka matanya. Cahaya teramat terang menyilaukan penglihatannya. Terasa nyeri saat ia hendak menggerakkan lengannya. Dia berusaha menoleh. Mengedarkan pandangannya, mencari tahu dimana ia sekarang.


"Kau sudah sadar?"
"Aku akan memanggil dokter."


Celine?


Anggukan sebagai tanda mengiyakan dari Evan. Samar ia lihat wanita itu berbicara di telepon. Entah apa yang dibicarakan, Evan hanya merasa sangat pusing. Kepalanya pening dan badannya nyeri saat ingin ia gerakkan.


"Berterimakasihlah padaku."
"Nasib baik aku ada di dekat lokasi kau tertabrak mobil. Aku langsung membawamu ke Rumah Sakit."


Evan terdiam mendengarkan. Ia tak ingin merespon perkataan wanita itu. Ia hanya mengangguk lalu memejamkan mata. Sedikit teringat, Ia tengah mengejar Eric kala itu. Dan sekarang ia malah terbaring disini dan tentu akan memerlukan waktu lebih untuk merasa lebih baik. Entah kenapa dan entah apa yang membuatnya kesetanan selalu memikirkan Eric tanpa peduli keadaan dirinya pun sekitarnya.


"Aku yakin ada adegan romantis sebelum akhirnya kecerobohan membawamu makin jauh darinya."


Kepala Evan menoleh. Tatapan ia jatuhkan pada Celine yang duduk tak jauh dari ranjang tempat ia berbaring. Wajahnya masih saja angkuh. Tapi beberapa pertemuan terakhir ia juga menyadari beberapa hal dari Celine. Mungkin dia picik tapi nyatanya dia tulus. Jika memang dia masih menganggap Evan rivalnya, Celine takkan mau merepotkan diri membantu dirinya. Dan Evan juga sadar. Celine sangat cantik.


"Terima kasih." ucap Evan lalu menolehkan wajahnya ke semula. Ia memandang langit - langit yang nampak sedikit berputar.


"Tak perlu repot - repot mengucapkannya."
"Aku hanya kasihan padamu. Masih saya kokoh mempertahankan diri untuk menerjang semuanya. Bahkan sampai detik ini masih nihil bukan? Kau masih belum bertemu dengannya."


Senyuman tergaris begitu saja. Evan tak membantah karena memang itu adanya. Pertemuan tempo lalu tak memberinya kemajuan. Kini ia makin jauh karena kehilangan kesempatan yang entah kapan datang-atau mungkin takkan datang lagi. Ia tertawa pelan. Menggelikan bahwa dirinya berbuat sejauh ini hanya demi bocah yang emosinya masih tak teratur. Jelaslah. Evan amat mencintai Eric. Cinta pada pandangan pertama.


"Apa kau punya informasi tentang Eric?"


Evan mencoba menyandarkan punggungnya. Rasa nyeri menjalar disepanjang punggungnya. Ia sedikit meringis menahan sakit. Tapi dia ingin lebih leluasa untuk mulai mengobrol dengan Celine. Banyak hal yang tiba - tiba ingin ia tanyakan perihal Eric.


"Tak banyak."
"Bahkan aku tak menyangka dia akan pergi ke Jerman untuk melarikan diri. Dia datang setelah beberapa saat aku tiba disini. Dia menelfonku malam itu. Lalu tanpa disangka dia datang malam setelahnya."


Alis Evan tertaut. Lalu sebelah alisnya naik karena merasa ada yang janggal. Kepalanya kini menoleh. Matanya jatuh menatap wajah Celine yang terlihat sedikit panik.


"Jadi?"
"Apa maksudmu dengan 'Dia datang setelah beberapa saat aku tiba disini?' huh? "


"Aa.. Maksudku bukankah-"


Drrttt... Drrttt... Drrrttt


"Ah maaf. Aku akan mengangkat telefon dahulu."


Napas kasar lepas. Evan yakin ada sesuatu yang Celine ketahui mengenai Eric. Dia memicingkan mata. Rasa sakit itu kembali muncul menjalar di lengannya. Dia mencoba mencari posisi yang nyaman. Sembari meminum segelas air putih di atas nakas dekat ranjangnya. Dia melirik ke arah pintu. Tak terdengar suara siapapun selain hening. Beberapa saat dan pintu tak kunjung terbuka.






"Kenapa dia belum kembali?"






####G

Setelah sekian lama.
Selamat datang kembali.
Happy reading.
Support terus work aku ya..
Thanks
^^


Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang