#19. (Dinner I)

3.2K 226 6
                                    

"Berhenti bersedih."
"Mama dan Papa pasti akan berpikir yang tidak - tidak nanti."

Eric tak menghiraukan perkataan Evan di seat samping. Matanya tengah serius menatap langit sore di luar kaca mobil. Perasaannya terkuras habis. Tak ada badai di hatinya. Hanya ada lautan dengan air yang tenang, tapi berselimut gelapnya awan hitam. Dia sakit hati memang. Tapi lebih dari itu, bukan karena Celine berselingkuh. Sakit hatinya lebih kepada ucapan kasar yang Celine lontarkan.


'Dasar Gay tak tahu malu!'


Hati Eric melengos. Seperti setiap ia mengingat kalimat itu, luka baru tergores di hatinya. Dia tak habis pikir. Betapa teganya Celine mengatakan hal demikian. Tapi Eric paham betul jika itu semua bukan salah Celine sepenuhnya. Eric sangat mengerti bagaimana rasanya saat orang yang kau cintai, malah tak menghiraukanmu. Orang itu malah asik dengan perasaanya pada orang lain. Tak melirik bahkan menyadari kalau ada yang menantikan. Seolah kau yang seharusnya di prioritaskan malah jadi pelarian saat dia sakit karena orang lain itu. Saat dia bosan, dia datang padamu. Tapi saat dia bahagia, kau tak dianggap ada.

Hell! .

Eric benci harus jadi orang lain seperti ini. Menangis dan harus merasa sakit hati secara berlebihan seperti ini benar - benar bukan dirinya. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah merasa direndahkan seperti ini. Selama berkali - kali hubungannya berakhir, Eric bisa mudah melupakannya. Eric bisa dengan mudah mencari orang baru untuk jadi pengganti. Bukannya menangis, menunjukkan sisi lemahnya kepada pria lain, dan menjadi lemah seperti wanita seperti ini. Kenapa ia makin lembek seperti ini? Perasaan aneh sialan itu membuatnya seperti ini.


**


Eric terduduk di depan cermin, saat rambutnya tengah disisir oleh Evan. Eric sebenarnya sudah tak berniat menghadiri acara dinner malam ini. Hatinya masih tak karuan. Seharusnya sekarang hatinya masih tak karuan. Tapi entah apa itu, Evan seperti membuatnya lupa jika hatinya sedang terluka. Tadi setibanya di rumah, Eric sempat menolak untuk hadir. Tapi Evan langsung membujuknya agar mau menghadiri acara nanti malam. Evan kali ini memperlakukannya seperti sesuatu yang berharga. Dan Eric seperti nyaman akan hal itu. Evan memberikan perhatian lebih. Dia seperti mengerti bagaimana cara membuat Eric nyaman. Eric juga tak menolak setiap perhatian yang Evan berikan. Sempat menolak perasaan aneh yang ia tepis, Eric sekarang seperti jatuh makin dalam. Eric makin tak mengerti akan hatinya ynag dari waktu ke waktu makin aneh pada Evan.

"Sudah." kata Evan setelah ia rasa rambut Eric tertata rapi. Dia meletakkan sisir di atas meja, lalu merapikan lengan kemeja yang ia kenakan. Evan terlihat sangat tampan. Eric bisa melihat gerak Evan dari pantulan cermin di hadapannya.

"Lain kali jangan bertingkah seperti anak kecil kau paham?!"
"Umurmu sudah hampir dua puluh, tapi hanya karena hatimu hancur kau jadi bertindak bodoh. Seharusnya kau bisa belajar dari kejadian tadi."ucap Evan. Matanya kini beralih ke cermin. Dia bisa melihat pantulan wajah Eric yang menatap balik dirinya. Mata keduanya bertemu. Eric yang biasanya langsung memutus pandangan, kini seperti luluh.

"Apa yang harus kupelajari?"

Eric yang pertama memutus pandangan. Melontarkan pertanyaan atas penyataan Evan sebelumnya. Eric menatap kembali Evan dengan ekspresi penuh tanya. Walau sebenarnya Eric tahu maksud Evan, tapi suasana ini ia sukai. Ia suka Evan yang perhatian padanya.

"Seharusnya kau tak perlu bermain cinta jika tak bisa belajar dari setiap kehancuran hubunganmu. Berhubungan dengan manusia lain dalam hubungan romansa terkadang rumit dimengerti. Terkadang ada akhir yang tak diinginkan, tapi sebenarnya itu yang yang terbaik untuk masa depan. Tentu saja bukan berarti perpisahan itu jalan terbaik. Jika memang masih bisa dipertahankan, masih ada komitmen dan kepercayaan tentu saja patut sebuah hubungan dipertahankan. Kau pasti paham akan hal itu. Dan aku yakin, orang akan memerlakukanmu dengan baik jika kau memerlakukan orang lain dengan baik. Dan tentunya, bisa jadi ini karma. Kau pernah menyakiti perasaan seseorang di masa lalu, dan sekarang hal itu terjadi padamu."
Evan berkata panjang lebar. Kini tatapannya jatuh ke arah Eric. Lelaki itu diam. Evan bisa melihat tatapan kosong di wajah Eric. Well, Eric bisa merasakan setiap kalimat yang Evan katakan.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang