#14. (Sad Boy)

3.5K 259 4
                                    

Eric sekilas mencuri pandang pada dua sejoli yang duduk tak jauh dari mereka. Eric penasaran apa yang mereka obrolkan. Menguping dari jarak sejauh ini mana mungkin bisa. Jangankan mendengar, riuh di cafe membuat pendengaran Eric tak bisa menerawang sampai meja disana. Meja dimana Evan dan Sekretarisnya-bukan! Kekasihnya? Bisa jadi, duduk mesra dengan chemistry diantara keduanya. Well, dihadapannya kini juga ada wanita cantik. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya Celine. Mereka juga bisa semesra Evan disana. Tertawa, bercanda, mengobrol, bahkan sesekali melakukan hal romantis seperti merapikan anak rambut kekasihnya, memberikan suapan pada kekasihnya, Eric sudah sering melakukan hal itu. Lantas kenapa Eric malah panas melihat kedekatan Evan dengan Sekretarisnya disana. No! Dia masih straight. Dia masih suka Celine dan mana mungkin perasaanya mulai tumbuh pada Evan. Eric menyangkalnya. Hingga sebuah tepukan lembut mendarat di pipinya.

"Hey, babe. Apa yang kau lihat?"

Belum sempat menjawab. Celine sudah menoleh mengikuti arah pandangan Eric tadi. Bisa dilihat raut Celine berubah. Seri di wajahnya pudar melihat Evan di meja agak jauh darinya.

"Jadi kau memandangi Evan si Gay itu? Kau masih berhubungan dengannya, hm?"

"Nope. Aku sudah tidak berhubungan dengannya."

"Itu bagus."
Seketika canggung. Eric bingung harus mengatakan apa. Otaknya tiba - tiba blank dan sama sekali tak tahu harus membuat topik apa. Celine juga mungkin tak minat jika terus terusan mengobrol disini. Kejadian yang pernah terjadi sebelumnya membuat Celine amat sangat membenci Evan. Tapi itu bukan masalah sekarang. Masalahnya, Eric bingung. Benar - benar bingung. Apa perlu dia memesan makanan lagi? Atau membuat lelucon agar Celine tertawa? Atau hal romatis lainnya? Berpegangan tangan? Menyentuh pipi? Atau memberi tatapan mesra? Astaga. Terlalu banyak opsi. Eric harus segera memutuskan.

"Lebih baik kita pergi. Aku tak ingin kencan kita terganggu oleh gay sialan itu."

"Aku baru mau mengatakannya. Aku juga tahu kau pasti terganggu oleh Evan, right?"

Setelah beberapa saat bungkam. Eric berhasil membuat Celine bersuara. Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir berlipstick velvet Celine. Eric terseyum. Begitu pula Celine. Lantas Celine merapikan rambutnya lalu meraih tas selempang miliknya. Eric pergi menbayar tagihan. Tapi lagi - lagi. Eric menjatuhkan pandangannya pada Evan dan sekretarisnya. Dia makin panas saja melihat mereka yang asik bercengkrama. Sudah, Eric harus bergegas pergi sebelum mood kekasihnya hilang karena terlalu lama menunggu.

***

Terparkir mobil warna merah di halaman parkir kafe. Mobil mewah milik Celine ini benar - benar senada dengan pakaian yang ia kenakan. Redish!

"Oh, babe! Wait a minute! I lost my phone!" Eric agak berteriak mengatakannya. Dia meraba - raba setiap saku yang melekat.

"Kau mungkin meninggalkannya di meja. Ambillah."

"Wait me."
Eric berjalan masuk. Kakinya belum sempat sampai di meja tadi, matanya sudah terfokus pada meja Evan. Evan lenyap. Mata Eric reflek mencari ke sekeliling. Menelaah meja - meja yang siapa tahu Evan ada disana. Dan yak! Eric melihat dua orang itu. Bukan di salah satu meja. Tapi mereka berdua sedang berjalan ke arah toilet. Eric penasaran. Kakinya cepat melangkah ke mejanya tadi. Tangannya meraih handphone yang ternyata masih ada disana. Bergegas Eric mengikuti Evan dan sekretarisnya itu. Eric punya pikiran buruk tentang mereka berdua.

"Hey, Ev~"

Eric mendengar samar suara wanita di balik papan. Tak begitu tebal, sehingga suara masih agak terdengar. Eric mencoba mendekat, agar dia bisa mendengar lebih jelas suara dua orang itu. Peduli apa dia dengan Celine, yang mungkin menunggunya di luar. Eric hanya penasaran dengan apa yang akan dilakukan Evan bersama wanita itu disana.

"Can i kiss you, hm?"

"Why are you asking permission about it? Just do it, darling."

Seketika Eric terdiam. Terdengar lenguhan dari sana. Eric berusaha mengintip. Dia mencari celah supaya bisa melihat apa benar itu Evan atau bukan. Bukannya Eric cemburu atau semacamnya, Eric hanya tak menyangka kalau Evan sebejat ini. Dia berbuat seperti ini di tempat umum. Dan dihadapannya pula. Menjijikan.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Kegiatan Eric terhenti. Badannya berbalik dan menemukan Celine. Dia menatap penuh selidik Eric. Well. Eric agak bingung harus menjawab apa.

"Kau bilang hanya akan mengambil handphone. Tapi malah kau mengintip seseorang disini."

"No, i don't. Aku hanya akan pergi ke toilet. Itu saja. Kau tak perlu negative thinking."

"Aku tid-"

"Eric?"

Suara lain menginterupsi Eric. Suara yang tak lain milik Evan ini. Eric terkejut setengah mati. Apa dia sedang diberi nasib buruk hingga harus ketahuan mengintip oleh pacarnya dan sekarang ada Evan disini? Oh God!

"No more reason. I'm done. Lebih baik aku pulang. Menyedihkan aku harus kencan dengan pria sepertimu."

Eric terdiam. Celine memilih pergi setelah menjatuhkan tatapan penuh amarah pada Evan. Eric tak bisa menyalahkan Celine. Dia sendiri yang terlalu penasaran dengan Evan. Apa - apaan hingga Eric jadi ingin tahu lebih tentang Evan. Jangan katakan bahwa perasaan itu mulai tumbuh. No! Eric tak menginginkan Celine pergi. Eric juga tak mengharapkan Evan tak acuh padanya. Eric bimbang. Pikirannya ruwet kali ini.

"Wah! Nenek sihir itu pergi. Sebaiknya kita juga pergi. Aku ada beberapa pekerjaan yang belum kuselesaikan." ajak Evan. Dia bersikap tak acuh lagi kali ini.

Pada Eric.

***

Kemudi mobil dipegang Evan. Matanya fokus tak berminat melirik lelaki yang kini cemberut menatap ke luar jendela. Well, Evan tau pasti apa yang Eric rasakan. Tapi kalaupun dia harus menghibur, bukan dirinya yang Eric inginkan. Kemungkinan besar, Eric ingin kekasihnya itu mendengar alasannya. Bukan meninggalkannya seperti tadi. Lalu kata - kata tadi yang Celine? Katakan juga agak menusuk.

Menyedihkan aku harus kencan dengan pria sepertimu.

"All will be alright."

Eric menoleh. Kata - kata barusan dengan mudahnya terlontar dari mulut Evan. Eric hanya mendengus. Dia tak menepis usakan tangan Evan di rambutnya. Eric mungkin sedang dalam mood yang tak begitu baik. Bukan tak begitu, tapi memang mood yang buruk.

"Kapan kalian akan mengakhiri hubungan? Sepertinya nenek sihir itu mulai bosan dengan pria malang sepertimu." Evan berkata sambil melirik ke arah Eric.

"Siapa yang kau sebut pria malang, HAH?! "

"Jelas itu kau Eric. Kekasihmu tak menginginkan pria yang suka mengintip 'kegiatan' pasangan lain. Menyedihkan sekali."

Eric tertegun. Bukan kagum. Dia tak percaya kalau Evan mengatakan hal sejahat itu. Ya! Itu kata - kata terjahat yang pernah Eric dengar selama hampor 20 tahun hidup. Jangankan teman dekatnya, daddy dan mommy nya bahkan tak pernah mengatakan hal sejahat itu. Ini terlapau menusuk bagi Eric.

"Kau cemburu dengan hubunganku, hm?!"
"Makanya kau mengatakan hal semacam itu. Apa yang kau tau tentang cinta. Urusi saja hubunganmu dengan sekretarismu itu. Kau tak perlu ikut campur urusanku! Sekarang turunkan aku."

"Baiklah jika kau ingin turun. Silahkan. Aku tak akan melarangmu, dasar kepala batu."
"Semoga kau bisa sampai rumah dengan selamat, Mr. Eric Julio Adam."

"Cih!"

Eric membanting pintu mobil. Dia ditinggalkan sendirian ditengah lalu lalang jalanan. Dia hanya diam. Suasana yang agak sepi dan dia hanya bisa melihat mobil Evan yang makin menjauh. Dia meracau tak jelas. Pikirannya kacau.

"Kau mengatakan all will be alright tanpa ketulusan. Dasar gay sialan!"

***g

Updated! Yaw!
Kurang greget? Well, author lagi gak mood. Makanya Evan gak mood juga.
Vote untuk support. Stay tuned

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang