#27. (Am I Stupid?)

2.7K 201 27
                                    

Satu minggu dua insan itu tak bertemu. Satu minggu mereka masih saja kokoh dengan ego masing - masing. Nasib baik untuk Evan, dirundung masalah masih ada orang yang mengharapkannya.

Apa kabar Eric?

Jelas sudah bagaimana rasa lelaki itu. Orang tuanya pasti kecewa dengan sikap bodohnya kali ini. Tak ada orang terkasih di sisinya. Tak ada teman lain kecuali sesal dan sunyi sepanjang ia menghabiskan detik waktu.

Berhari - hari ia membiarkan dirinya terisolasi, berharap hatinya perlahan pulih. Nyatanya? Bukan pulih, malah sesal yang menggerogoti hatinya. Sudah satu minggu Eric mengurung diri. Tak membiarkan dirinya disentuh pun dijamah oleh orang lain. Suara di luar pintu tak pernah ia acuhkan. Makanan yang tiga kali sehari di antar tak pernah ia sentuh. Eric terlampau kenyang menelan mentah realita. Terlalu banyak sampai ia ingin memuntahkannya.

***

Di hari yang entah keberapa. Pikiran Eric seperti sudah lelah. Dia ingin mengakhiri nasib yang ia buat sendiri ini. Melangkahkan kaki. Memandang sesuatu yang menyegarkan. Lelah. Jenuh. Duduk termenung, mengurung diri bukan hal yang baik. Bukan lupa, tapi ia makin tak bisa berhenti memikirkan.

Mungkin jika seperti itu, semua ini tak akan terjadi.

Kepala Eric pening mendengar gema suara di otaknya. Apa yang ia lakukan belakangan adalah sia - sia. Ia tak seharusnya berdiam diri seperti ini. Membiarkan dirinya kalut dalam kesedihan yang nyata - nyata ia rasa sendiri. Lelaki disana, yang entah bagaimana kabarnya mana mungkin peduli. Dalam ruangan ini, dengan luka yang tergurat, Eric tetap menantikan lelaki itu datang. Setidaknya menyapa. Atau mungkin maaf-itu lebih baik.

Tapi nihil.

Beruntung kini ia bisa membuka mata. Beruntung bahwa ia tergugah untuk bangkit. Menyadarkan diri bahwa lelaki disana mungkin tak lagi peduli dengan ini semua. Sudahlah, Eric juga tak kuat untuk terus memikirkan orang yang tak memikirkan dirinya. Membuang waktu dan menyia - nyiakan rasa di hati sendiri.

***

"Eric!!"

Seorang wanita memeluk Eric erat. Wanita itu berkaca - kaca. Puteranya sudah keluar kamar setelah satu pekan ini mengurung dirinya. Mata wanita itu bisa melihat, rasa masam, bibir kering, dan kantung hitam di wajah anaknya. Eric tersenyum. Dia melepas pelukan mommy nya pelan. Matanya menangkap sorot sedih di mata Julia.

"Eric baru sadar."
"Eric sudah membuang banyak waktu untuk sesuatu yang tak penting."

Eric tersenyum jahil. Tawa kecil lolos dari bibir pucat lelaki itu. Bukan terpaksa, senyum itu muncul karena ia tak ingin mommy nya ini ikut memikirkan dirinya. Cukup Eric yang kecewa atas hidupnya, jangan orang lain yang ia cinta.

"Mommy sudah memasak bacon dan telur mata sapi kesukaanmu."

Pagi ini, Eric seperti ditarik kembali pada masa - masa lampau. Disaat Evan belum datang dan mengubah seluruhnya. Disaat perasaan bodoh ini belum muncul dan mengubah dirinya. Eric sama sekali tak menyesali apapun saat ini. Dia hanya menyayangkan dirinya yang terus berbohong agar bisa menutupi luka yang tentu saja belum sembuh. Berbohong pada hatinya. Bahwa dirinya memang tak lagi menginginkan lelaki itu. Bahwa ia secepatnya akan lepas dari jerat perasaan bodoh ini. Kebohongan ini mungkin membuat hatinya lebih baik. Untuk sekarang ini semuanya baik, entah nanti. Semua tergaris. Bila ditakdirkan, kita takkan bisa menolak. Jika dipersatukan, maka akan bertemu. Itu semua tergantung kita. Bagaimana kita menghadapi setiap takdir itu.

***

Eric menyisir rambutnya pelan. Aroma mint, sekilas teringat lelaki yang masih tak menampakkan diri di hadapannya. Aroma favorit yang beberapa bulan belakangan sering ia baui. Eric memejamkan mata agak lama. Lalu membukanya perlahan. Matanya kini menatap pantulan diri di cermin. Ada sosok lelaki yang sudah lama hilang. Eric yang belakangan menjadi bukan Eric yang biasanya.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang