#32. (Reaching)

1.7K 151 36
                                    

Tak ada masalah besar. Evan menghirup udara malam bersama secangkir kopi panas disampingnya. Tak banyak yang ia lakukan hari ini. Tak sengaja bertemu seseorang lalu berbincang, mencari petunjuk? Ia tiba di Jerman sore tadi. Kurang lebih delapan jam dari Miami, ia tak dihalangi badai atau semacamnya. Hanya saja, ia kembali goyah. Ia sudah membawa segenap harapan untuk meyakinkan Eric agar kembali padanya, tapi nihil. Apartemen Eric kosong. Pihak universitas juga mengatakan Eric akan mulai kuliah Minggu depan, lima hari lagi. Evan tahu ia tak punya banyak waktu. Semakin perlahan ia mencari, membiarkan waktu berlari dan membuat hilang kesan dirinya di hati pujaannya itu. Bila buru - buru, ia takut. Sedikit salah, merusak sesuatu yang seharusnya benar. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ceroboh dan berakhir kehilangan.


Tak bisa dihubungi. Tak ada satupun pesan terbaca. Eric memutus kontak, seperti tahu hal ini akan terjadi seperti di scene drama yang belakangan Evan tonton. Skenario Tuhan rumit dan Evan enggan mengikutinya. Menjalani peran menyedihkan ini hanya mmebuatnya sakit.


Sungguh ia merasa tak nyaman. Disini, tempat yang jauhnya ribuan mil dari rumah ia sendirian. Malam natal yang sesak dan hari natal yang menyedihkan.


Apa kabar Eric? Semoga dia bahagia dihari spesial ini.


Evan tak banyak berharap. Tapi ia akan merasa terberkati jika bisa bersama lagi dengan Eric. Menjalani hari - hari sebagai sepasang kekasih dan hidup bahagia. Sederhana namun sulit untuk diwujudkan.


Huft.


Kecewa terhembus bersama napas kasar itu. Berjalannya waktu luka kan sembuh. Bila sampai Eric sembuh dan ingin melangkah maju tanpa Evan, Evan harus apa?


Menyerah bukan pilihan.


Tapi memaksakan bukan jalan yang benar.



***



Tirai ditarik. Jendela terbuka separuh. Dingin menyambut menusuk tulang. Eric mengerjapkan mata setelah seseorang menepuk kakinya pelan. Diusap pelan, dibuka perlahan, dilihatnya wanita yang sudah berpakaian rapi. Uapan terlepas. Eric mengumpulkan nyawa untuk mulai berbicara.


"Kau sudah akan pergi?"


  Suara bangun tidur. Dengan suara parau Eric bertanya. Sembari mengusap matanya, Eric menantikan respon dari wanita yang kini mendudukkan diri di tepi ranjang.


"Ya."
"Ada meeting dengan klien penting."


"Aku sudah siapkan sarapan untukmu. Bacon dan telur mata sapi."


Eric mengangguk mengiyakan. Ia menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Menguap untuk kesekiankalinya, ia masih mengantuk.


"Bisa kau tutup jendelanya, aku kedinginan."


Wanita itu  bangkit dan menutup jendela. Meraih tas branded berwarna senada dengan bibirnya, lalu keluar lenyap dibalik pintu. Bisa terdengar suara langkah yang menjauh, dan pintu yang terbuka-tertutup setelahnya.


"Aku kira dia akan memperlakukanku lebih baik."


Eric bangkit. Berjalan menuju washtaffle lalu membasuhkan air ke wajahnya. Lalu pergi ke dapur meneguk satu gelas penuh susu hangat. Memakan sarapan yang sudah disiapkan Celine.


"Rasanya berbeda."



***



Tak jauh. Evan kembali pergi ke apartemen Eric. Tepat pukul delapan, bel ia tekan dan tak ada respon. Beberapa menit ia menunggu. Berharap seseorang muncul dari balik pintu dan memberi dia pelukan rindu. 


Hening.


Ia hanya mendengar dentingan jam di ujung lorong. Tak ada lalu lalang manusia. Apartemen megah ini sepi dan benar - benar sunyi.


Tak ada?


Evan mendesah kecewa. Seperti dugaannya, bahwa Eric tahu perihal dirinya yang terbang menyusul ke Jerman. Dia memejamkan mata. Napas kasar lepas bersamaan dengan suara seseorang yang memanggilnya.


Hm?


"Evan?"


Wanita dengan jaket tebal dan tas kerja ditangan kanan mendekat padanya. Sedikit lebih dekat wanita itu berjalan, ia melihat warna velvet dibibir wanita itu. Ia tak yakin jika mengenalinya. Lalu dibuka kacamata yang wanita itu kenakan, Evan agak terkejut dibuatnya. "Ck! Kau tak mengenaliku?!"

 
"Celine?!" pekik Evan terkejut.


Eh?
Kenapa dia bisa ada disini?



"Ternyata benar. Ditolak saja tak cukup, kau bahkan ikut terbang jauh ke Jerman hanya demi lelaki yang sudah tak ingin bertemu atau mungkin melihat wajahmu lagi."

"Sudah bertemu dengannya?"
 

Entah darimana. Dan entah mengapa, ini bagian dari takdir? Evan sama sekali tak mengerti. Ia mencari Eric. Lalu bertemu wanita licik mantan kekasih kekasihnya. Lalu dengan mudahnya wanita velvet ini berkata demikian? Evan tak mengindahkan sama sekali. Ia hanya heran. Bagaimana bisa wanita ini juga ada disini. Ini benar - benar kebetulan.


"Aku tak perlu mendengarkan perkataanmu."
"Sepertinya ini kebetulan. Bisa kita bicara sebentar? Banyak hal yang ingin kutanyakan."


"Tidak bisa." jawab Celine cepat. Ia kenakan kembali kacamata lalu tangannya seperti meraih sesuatu dari dalam tas.


"Kartu namaku. Datang saja ke alamat itu jika kau ingin mengobrol mengenai pekerjaan." sambung Celine. Tak berbasa - basi ia melangkah melewati Evan begitu saja. Berjalan menjauh meninggalkan Evan dalam hening. Dibaca kartu itu, ada nomor telepon dan alamat kantor? Sudah berapa lama wanita itu tinggal di Jerman?


"Atau  mungkin."



***



Di tepi jendela, Evan sudah kembali ke hotelnya. Menatap keluar, menghirup pelan udara yang amat dingin, menghembuskan keluh kesah bersama napasnya. Nihil. Bukan. Ia barusaja bergerak. Sedikit. Tapi seperti ia takkan melihat cahaya dilorong gelap yang tengah ia langkahi.


Apa Eric benar - benar ingin semuanya berakhir?




Apa benar perasaanya padaku sudah hilang?



Begitu saja?


Huft.



Evan mendesah. Kecewa terlarut disana. Lagi. Napas kasar begitu saja terlepas. Dia tak habis pikir. Dia jadi tak mengerti. Apa seperti ini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan? Sampai seperti ini?



Seketika emosinya tak karuan. Evan menjadi kasihan pada dirinya sendiri. Hatinya lelah tapi mana mungkin ia puas jika harus melepas Eric begitu saja. Tapi terus menyalahkan dirinya karena hal yang telah terjadi, takkan membuat semuanya membaik. Tak ada paksaan untuk kembali sejujurnya. Akan sangat bahagia Evan bisa bertemu sekedar mengobrol dan mendapat perlakuan dari Eric yang sesungguhnya. Tak ada obrolan yang pecah, wajah yang kaku, gestur yang tak nyaman,  serta topik hambar. Jujur Evan tak menuntut apapun jika memang dirinya bisa bersama dengan Eric. Evan yang akan mengenakan kemeja dan jas, serta Eric dengan sweater berdasar kemeja putih kebesaran.  Eric akan tetap menjadi Eric. Dan Evan akan selalu menjadi Evan. Yang intinya, Evan ingin bergerak sesuai dengan dirinya yang apa adanya. Pun ia berpikir orang lain pasti juga ingin melakukan yang sama.



Mungkin perihal terbesar saat ini adalah Evan yang sama sekali belum melayangkan permintaan maaf. Tak ada kata maaf tapi tiba - tiba lenyap seperti tertelan bumi. Dipikirannya, Evan mengutuk diri sejujurnya. Bagaimana bisa ia lupa untuk mengucapkan maaf pada Eric saat itu. Saat semua ini belum terjadi. Apa pantas ia terus menyesali hal - hal demikian?



Ah,



"Pecundang."




***


Butiran salju turun dari langit. Evan sudah berpindah pada cafe bergaya klasik dengan balutan cat abu terang. Dominasi warna hitam berteman putih sangat nyaman. Vibe semacam ini sangat cocok dengan Evan.


Secangkir Moccachino ia pesan. Duduk di sudut cafe dengan jendela di tepinya. Evan memandang keluar dan menerawang kemungkinan apa yang terjadi. Ia sesap pelan Moccachino yang barusaja tiba, sambil meresapi rasa khas dan aromanya. Evan melirik jam di pergelangan tangan. Tepat pukul sebelas. Sudah hampir duapuluhempat jam dia di negara ini. Dengan tujuan yang belum terjadi. Dan dengan banyak waktu yang terbuang sia - sia.


Pulang?

Pergi ke apartemen Eric?


"Evan?"

###G
Ada yang masih stay nunggu?
Gak berharap banyak.
Gapapa kan minta vote, hehe..
Happy reading guys ~
^^

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang