#15. (Blamed)

3.4K 250 6
                                    

Sudah pukul setengah sepuluh malam. Eric baru saja menapakkan kaki di halaman kediaman Smith. Bukan rumah utama, ini rumah yang ia tinggali dengan Evan. Melelahkan harus berjalan sekitar hampir satu kilometer sebelum menaiki taksi. Niat hatinya sih ingin menelpon sopir keluarga Adam untuk menjemputnya, tapi dia tak mau. Tak mau kalau nanti mommy nya malah memberikan ceramah tentang hubungan, prioritas, keterikatan, calon suami, pernikahan, dan blablablabla. Eric benci itu. Dibandingkan ia harus mendengarkan hal yang seenaknya keluar dari mulut mommy nya ia lebih baik satu rumah bersama Evan yang bungkam. Sudahlah, Eric lelah. Eric ingin membaringkan tubuhnya di kamar.

"Eh? "
"Evan?! Ev?!! "

Eric berteriak setelah tak mendapati keberadaan Evan. Dia mengecek kamar, dapur, kamar mandi, closet, dan ke semua penjuru rumah. Tak ada seorangpun disana kecuali dirinya.

"Huft. Demi apapun kemana pria sialan itu?!" eric berjalan sambil menghentak - hentakkan kakinya. Well, eric agak kecewa sekarang. Dia diturunkan di tengah jalan, berjalan lalu naik taksi, dan sekarang? Evan malah pergi bersenang - senang di luar sana.

**

Hampir satu jam Eric duduk di couch panjang ruang tengah. Mengganti - ganti channel televisi yang hanya menayangkan acara - acara tak berbobot. Talkshow dimana - mana dan tidak ada satupun yang menayangkan film atau movie apapun. Menurutnya, talkshow terkadang terlalu berlebihan dalam menyajikan informasi. Terkadang ada host yang tidak senonoh atau terlalu ingin tahu hal pribadi yang sebenarnya tak perlu dipublikasikan. Bahkan terkadang mereka hanya mengangkat berita burung hanya demi meningkatkan rating. Rasanya benar - benar tak enak harus memiliki pribadi aneh seperti ini yang suka meilih - milih hal dan men-judge nya tak jelas. Well, tuhan memberinya karakter ini. Dia tak bisa mengganggu gugat.

Tutt... Tuutt.. Tut...

Getaran dari telepon rumah menginterupsi kegiatan Eric. Matanya melirik. Eric enggan untuk mengangkatnya. Well, ia bukan orang yang suka berbicara lewat telepon. Terlebih malam - malam begini.

But wait!

Panggilan itu tak berhenti. Setelah satu panggilan, panggilan lain muncul. Apa sebenarnya sampai - sampai orang itu harus menelepon nya malam - malam begini. Astaga.

Belum sempat terangkat, nada sambung telepon berhenti. Panggilan itu tak terjawab. Ada 4 panggilan. Dari nomor asing. Well, pasti hanya orang iseng yang ingin mengerjainya. Eric tak perlu menghiraukannya.

Tutt.. Tutt.. Tutt..

"Halo?! " Eric membuka percakapan. Eric benar - benar terganggu kali ini. Demi Tuhan kenapa ada orang iseng malam - malam begini.

"Hai! Apa ini benar Eric? Kau tinggal satu rumah dengan Evan bukan? Evan kecelakaan. Dia mabuk."

Suara wanita diseberang terdengar dengan deru nafas kasar. Eric tak kenal. Satu hal terlintas, kenapa wanita ini tau kalau Eric yang mengangkat telefonnya? Dan Evan kecelakaan? Jangan bercanda.

"Jangan bercanda nona. Evan sedang dalam perjalanan pulang tadi. Kau mungkin salah orang." Eric mencoba mengatakan fakta yang ia tahu. Evan bahkan belum sampai rumah walau dia mengendarai mobil.

"Aku Samara! Sekretaris Evan! Dia kecelakaan sekarang. Dia mabuk saat mengendarai mobil. Dia ada di Rumah Sakit St. Paul Lawrence."

Tut!

Eric bergegas menaiki tangga. Berjalan cepat dengan kaki jenjangnya menuju kamar. Dia meraih sebuah sweater coklat dan jaket tebal. Eric bingung bagaimana harus memberi kabar pada Bibi Ivanka dan Paman Renald. Ponselnya rusak. Dia tak bisa menghubunginya.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang