Sepasang wanita pria itu berjalan beriringan. Baru saja mereka keluar bersama. Pergi untuk mencicipi beberapa makanan yang baru bagi lidah mereka. Keduanya nampak bahagia, ditunjukkan dari wajah keduanya yang saling melempar senyum. Deringan di ponsel wanita itu tak terhiraukan. Beberapa pesan diterima dan dia tak menyadarinya. Terlalu asik mengobrol dan bercanda, wanita itu bahagia melihat sosok dihadapannya bahagia.
"Temanku bilang dia akan datang."
"Tapi aku tak tahu dia akan datang pukul berapa."
"Siapa?"
"Apakah teman kerja?"
Celine hanya tersenyum tak menjawab. Lelaki di depannya dibuat bingung sesaat namun kembali tak menghiraukan. Eric tengah berbunga. Dia hanya merasa lebih baik dengan pergi keluar bahkan hanya sekedar untuk makan. Walau terasa aneh bahwasannya dia berjalan bersama wanita yang sudah mencampakannya. Tapi dia tak yakin bahwa di hatinya ada keinginan untuk kembali pada wanita itu. Juga, sebenarnya dia tidak ingin berbesarkepala namun sesuatu ia rasakan. Rasanya seperti Celine yang masih saja memberikan perhatian dan cintanya. Seperti rasa lama itu masih ada pada wanita itu. Lantas? Lelaki itu lalu bertanya pada hatinya.
Apakah aku masih mencintai Celine?
Tentu. Tapi dia tak bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar untuk saling mengerti. Perasaan yang tidak lebih dari membalas budi baik yang wanita itu berikan. Ia memberikan bahu untuk Eric yang tengah didera luka. Dan dari hal - hal yang mereka lewati, Eric selalu mencoba untuk bersikap tak melampaui batas? Seperti ia tak ingin memberi angan seolah ia ingin kembali bersatu dengan Celine.
Mengapa demikian?
Ada secuil perasaan yang membuatnya resah belakangan. Perasaan yang awalnya memang ia inginkan. Namun sesaat ia melamun dan pikirannya melayang, rasa yang sedikit itu tiba - tiba menjadi bongkahan besar. Teramat berat dan ia tak kuat untuk menahannya. Takut bahwa Evan akan berhenti mengejarnya. Walau itu adalah tujuan awalnya, tetapi kini itu sedikit membuatnya khawatir. Dalam hidupnya belum pernah menemukan seseorang yang dengan tekad kuat mengejarnya. Walau hanya derita tanpa cinta yang dirasa. Kekokohan hati Evan seolah seperti ombak yang terus menerpa batu karang. Terkadang Eric membayangkan. Bagaimana perasaan Evan yang terus dibuat kecewa atas sikapnya? Angkuh yang Eric punya. Benci dan tinggi hati yang ia miliki. Dan kini pelarian berdasar egoisme hati yang juga harus ia lalui. Dan untuk beberapa saat, Eric mulai berandai - andai. Jika bahagianya tak pernah ia jumpa karena selalu dihindarinya.
Apa memang sesulit itu menerima cinta Evan?
Lalu pikirannya kini dibuat tak karuan. Bayang - bayang jika Evan berhenti mengejarnya atau mungkin—berhenti mencintainya seolah menjadi sesuatu yang terus mengganggu. Pengecut ini seperti dibuat takut oleh hal yang ia ciptakan sendiri. Jarak yang sengaja ia bentangkan. Penolakan yang terus diucapkan. Dan cinta yang memang tak pernah ia indahkan. Lalu mengapa ia menjadi cemas? Mengapa ia harus merasa demikian jika memang itu tujuannya. Eric tak habis pikir. Bahkan dirinya tak pernah mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan dari semua hal ini.
Yang jelas terpatri. Ada kecemasan yang teramat dirasa mengenai lelaki itu dan cintanya yang mungkin tak ada lagi bagi pecundang ini.
****
Lelaki itu termenung menikmati lagu yang terputar. Dengan dua buah earphone yang terpasang, volumenya terlalu kencang untuk ditembus bising suara sekitar. Evan terhenyak dalam pikirannya. Muncul lagi pemikiran lain yang seolah memintanya untuk sedikit lebih membuka hati dan berpikiran dewasa. Bahwasannya dirinya belum mendengar penjelasan apapun dari lelaki yang sekarang masih ia cintai. Akan tetapi mengapa? Mengapa ia harus demikian bila orang yang ia harap bisa digapai malah menghindar dan kini kembali pada cinta lamanya? Tentu siapapun akan dibuat buta karena rasa pedih dan sakit yang tak terkira. Memperjuangkan hingga sejauh ini.. Memberikan cinta yang setulus ini. Dibalas dengan sesuatu yang cukup untuk disebut pengkhianatan. Tak ada timbal balik akan rasa cinta. Melainkan deraan derita yang makin dirasa.
Pikirannya seolah terus berkutat mengenai hal tersebut. Seolah semakin dia memaksa untuk melepasnya, semakin berat tekanan yang dirasanya. Evan tak pernah ingin membenci siapapun. Terlebih Eric yang sampai detik ini masih ia cintai. Cintanya begitu besar. Seperti bahkan saat tahu jika itu garam, dia akan mengatakan manis seolah itu gula. Ia terlalu mencintai untuk melihat sisi buruk orang yang dicintainya. Sebuah perasaan menganggap kesalahan adalah suatu yang memang begitu adanya. Bahkan walau sadar, dirinya tak menghiraukan. Terlajur jatuh dalam kubangan cinta, tanpa berpikir bisa saja tenggelam disana. Bila sudah begitu, pada siapa dia akan mengharap pertolongan? Dirinya, hatinya, dan pikirannya dibuat kecewa atas fantasi yang dipuja bisa menjadi nyata. Dan berhenti sebelum itu semakin menjadi bukan sebuah pilihan namun keharusan. Agar derita itu reda. Pun memori itu lebih mudah dilupa.
Dilepasnya dua buah earphone yang menyumbat telinga. Lalu tangannya memasukkan asal ke salah satu saku di jaket yang ia kenakan. Matanya melirik pada arloji di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu yang cukup untuk membuatnya lebih rileks. Dan sebuah pemikiran bodoh mengenai sosok yang mungkin saja datang mencegah kepergiannya. Mengharapkan hubungan mereka untuk dimulai lagi. Memaafkan dan mereset semuanya menuju sesuatu yang baru. Yang pada dasarnya tak mungkin ada dalam kenyataan. Tawa ejekan terlepas setelahnya. Evan merasa dirinya terlalu berharap. Walau drama beracu pada kenyataan. Tapi itu hanya drama. Yang jelas dibuat dramatis dan terkadang tidak realistis. Sama halnya dengan Evan yang masih saja berharap jika Eric akan datang kemari menghalangi kepergiannya. Bodoh.
Pesan terkirim.
Sebuah foto sepasang pria wanita berhasil dikirimkan. Tertuju pada seseorang yang memang bersangkutpaut dengan keputusannya ini. Dengan sedikit hal yang dituliskan, harap - harap si penerima mengerti keputusan yang diambilnya. Bila perlu ia beritahukan pada sosok lelaki yang kini dalam rengkuhannya. Evan akan melepas ini semua bersama kepergiannya pulang. Hatinya kini terpaksa—amat dipaksa untuk segera membuang rasa ragu dan tak ikhlasnya. Seperti yang ia putuskan, maka hatinya pun tak memiliki penolakan. Lalu pengakhiran semacam ini adalah sebuah keburukan. Tak ada bahagia atas cara tak baik yang dilakukan selama menjalani suatu proses. Pun bila tampak bahagia, iti hanyalah semu. Sebuah delusi tak nyata yang pada akhirnya menyulut kecewa. Namun apalagi? Evan akan melepaskan ini. Melepas semua beban dalam hatinya. Hatinya bukan ditutup. Bila suatu waktu dengan kesadaran dan suatu alasan yang memang hatinya terima, kedatangan sosok yang dicintainya itu akan diterimanya. Karena sulit untuknya berpaling begitu saja.
****
"Apa teman yang kau katakan tadi jadi datang?"
Wanita di hadapannya seperti menimbang. Lalu menatapi layar ponselnya sesaat. Beberapa detik lalu kembali menatap Eric. Wajahnya seperti dirundung kesedihan.
"Sayang sekali dia tak jadi."
"Tiba - tiba saja harus pergi untuk urusan lain."
"Lalu? Kenapa kau begitu sedih? Kau bisa berjumpa dengannya lain waktu, benar?"
Celine mengangguk pelan. Lalu meletakkan ponselnya kembali. Wanita dan pria itu tengah duduk di ruang makan. Ya! Hampir waktunya makan malam. Dan karena hal itulah Eric menanyakan mengenai teman Celine. Dipikirannya mungkin saja teman itu akan bergabung bersama mereka untuk makan malam. Yang tidak banyak disadari oleh Eric, Celine nampak tak begitu bersemangat sejak siang tadi. Tidak begitu peka, Eric pikir Celine memang sedih karena temannya tak bisa datang. Bukan karena hal lain.
Keduanya duduk berhadapan. Lalu mulai menyantap hidangan yang dimasak Celine sendiri. Ada sedikit rasa bahagia melihat Eric yang menikmati makan malam bersamanya. Secuil kebahagiaan yang sesaat membuatnya melupakan suatu yang ada di dalam hati pun pikirannya. Eric lantas menoleh. Tatapannya jatuh pada wanita yang masih terdiam mengulum senyum. Mata wanita itu seperti memperhatikan kegiatan menyantapnya.
"Apa kau hanya akan melamun dan tidak makan?"
Celine sedikit terkejut. Lantas ia menyuapkan satu potong hidangan ke mulutnya. Dikunyah perlahan, pikirannya terbawa oleh sesuatu. Eric dihadapannya mencuri sedikit pandangan. Melalui tatapan kilatnya ia masih melihat raut kemurungan disana. Sebenarnya ada keinginan untuk menanyakan sebenarnya apa yang terjadi, tetapi ia urungkan. Ada beberapa hal yang memang tak seharusnya diketahui. Mungkin akan jadi tak baik jika memaksakannya.
Beberapa menit dan semuanya habis. Eric mengangkut piring kosong itu menuju pencucian. Memberitahu bahwa dirinya yang akan mencuci semuanya. Ada iba yang merekah, maka ia menginginkan Celine untuk lebih bersantai. Wajah murungnya perlu dikembalikan semula. Dan wanita itu mengiyakan. Tak banyak waktu terbuang untuk membersihkan semuanya. Setelah dirasa selesai, ia keringkan tangannya. Lalu meraih pintu kulkas, mengambil satu botol air dingin. Dia ingin meminumnya.
Ruang tengah kosong. Matanya mengedar mencari sosok yang ia inginkan untuk lebih rileks itu. Ditangkap tirai yang seperti tertiup angin. Pintu menuju balkon sedikit menyisakan celah sehingga angin masuk. Ditebaknya Celine berada disana. Kakinya melangkah. Menyibak tirai dan menggeser pintu perlahan. Datang menghampiri Celine yang berdiri di sisi balkon. Entah apa yang ia pandangi.
"Udara terlalu dingin dan kau hanya mengenakan selembar pakaian kemari?"
"Ini caraku menyejukkan pikiran."
"Aku sedikit dibuat bingung dengan wajahmu yang masam. Dan aku menjadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada paksaan untuk kau agar menceritakan padaku."
Hening sejenak. Wanita itu tak berpaling. Berdiri menghadap langit. Rambutnya beterbangan tertiup hembusan angin malam. Lelaki di sisi lain balkon terdiam. Kini mendudukkan diri dengan harapan mendapat respon atas perkataannya.
"Tak ada."
"Hanya tiba - tiba saja sesuatu terasa tak sesuai dengan apa yang aku rencanakan."###G
Thanks for all the support.
Tapi bole gak si?
Kasi vote nya lebi getol lagi hehe.
Author akan ngerasa seneng dan maybe bakalan lebih menyempatkan diri buat update.
Luv ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Accepted [complete]
RomanceCinta yang belum dia terima, dan hatimu yang tak bisa berhenti untuk merasa seakan jadi luka yang setiap saat melebar. Bukan kau terlalu mengharapkan, hanya mungkin dia perlu waktu. Kedekatan kecil yang terbangung perlahan meluluhkan. Cinta yang tak...