Flashback.
"KAU INGIN TAHU?! CELINE KEKASIHKU!! PUAS?!"
Eric seperti tak percaya. Sebelah tangannya menutup mulut. Matanya terbelalak mendengar ucapan Edo. Sesuatu seperti lolos. Lolos menyakar lagi, mengoyak lagi guratan luka di hatinya. Sesuatu yang sempat terlintas di pikirannya, tapi tak pernah terbayang akan jadi fakta.
"JANGAN BERCANDA!! STOP JOKING AROUND! STOP SAYING STUPID STUFF!!" Teriak Eric. Dia menutup telinganya. Menahan air yang sudah ingin keluar dari pelupuk matanya. Ia masih tak bisa percaya hal ini. It's unbelievable.
"Kau bertanya bukan? Lantas apa? Kau menggangguku. Of course aku akhirnya menjawab pertanyaanmu. Bukankah itu yang kau inginkan?" Edo menjawab santai. Aura serius muncul di sekitar. Eric benar - benar dibuat makin tak percaya. Dia menggeleng - gelengkan kepala cepat. Memukul - mukul dadanya yang terasa makin panas dan entah kenapa sangat tersakiti. Ia enggan menatap lelaki di depannya ini. Ada rasa benci yang tiba - tiba menyeruak memenuhi sisi lain hatinya. Lalu Edo kembali bersuara.
"It's been a long time. Long time ago. Sebelum kau hadir. Sebelum kerjasama orang tuamu datang. Sebelum akhirnya Celine menyembunyikan hubungan barunya dari aku-orang yang lebih lama bersamanya." Ucap Edo. Ada kesenduan di akhir kalimatnya. Ada kesedihan yang Eroc tepis untuk dirasa. Ia terlanjur dipenuhi kebencian.
"Jangan salahkan aku atas apapun. Celine tak pernah mengatakan apapun mengenai hubungannya denganmu. Dan aku? Aku sudah terlalu percaya bahwa dia setia padaku. Bukankah hubunganmu sudah berjalan tiga tahun? Fo your information, aku baru mengetahui hubungan kalian beberapa waktu lalu. Kau pastinya ingat malam itu.""Mana mungkin Celine melakukan ini! Kau hanya berusaha membuatku untuk berhenti percaya padanya. Kau pasti menginginkan kekasihku itu untuk jadi milikmu! Kau pasti hanya ingin hubunganku hancur. Kau pasti yang memengaruhi Celine untuk mengakhiri hubungan denganku. KAU YANG MELAKUKANNYA!!" Eric berteriak tepat di depan wajah Edo. Menarik kerah pakaian lelaki itu. Wajahnya merah. Emosi menguasai dirinya. Kekecewaan, amarah, sakit hati, semua rasa buruk berhasil membuatnya buta. Dia tak terima diperlakukan seperti ini.
"Kau pikir? KAU PIKIR HANYA KAU YANG SAKIT HATI?! KAU TAK TAHU BAGAIMANA RASANYA AKU MENAHAN SEMUA INI?! HUBUNGANKU BERSAMANYA LEBIH LAMA DIABNDINGKAN DENGANMU? KECEWAKU LEBIH DARI APA YANG KAU RASA! JANGAN EGOIS DENGAN MENGATAKAN HAL SEPERTI ITU. EVAN BAHKAN TAHU HAL INI SEJAK AWAL!! SALAHKAN DIA! JANGAN SALAHKAN A-!!"
Plak!!
"KAU..! BERHENTI MENGATAKAN HAL - HAL BURUK MENGENAI CELINE ATAUPUN EVAN!! TAHU APA KAU!! Berhenti... Hiks.."
Eric tak kuasa lagi menahan air mata. Mereka lolos dari pelupuknya. Eric menangis. Mulutnya tak habis memaki lelaki yang sekarang hanya mebisu. Tamparan di pipi kanan pria itu tampaknya cukup membuatnya mengerti. Mengerti betapa kecewa dan sakitnya Eric.
"Terserah. Aku juga tak berharap banyak atas kau, Celine atau Evan. Aku hanya ingin tak menyimpan dendam. Hanya saja, aku cukup dibuat kecewa."Eric tak ingin mendengarkan perkataan Edo. Mulut lelaki itu sama saja. Dia sama saja dengan Celine yang suka merendahkan orang lain. Memutar balik fakta. Membuatnya kecewa. Eric berlari. Mengusap kasar air mata yang deras menuruni pipinya. Mencoba agar berhenti. Air mata sialan yang membuatnya terlihat seperti orang lemah. Eric benci tangisan ini. Ia dibutakan oleh perasaan bodoh yang belum tentu bahagia akan ia gapai. Eric merasa bodoh. Seperti jalang yang hanya digunakan untuk dimainkan. Kakinya melangkah cepat menaiki tangga. Membuka pintu cepat, lalu meminta Evan untuk pulang. Tangisnya yang sudah terhenti, kembali. Bahu Evan seperti jadi tempat yang nyaman untuk menuangkannya. Pelukan lelaki itu kini candu. Eric sudah terlanjur jatuh. Dan ia enggan untuk bangkit. Hatinya sudah mengerucut untuk Evan. Lelaki yang belum tentu masih menginginkannya.
Flashback off
***
Evan menyibak tirai. Meloloskan sinar matahari masuk ke dalam ruangan. Jatuhnya tepat di wajah lelaki yang masih tertidur. Memeluk selimut, dengan hiasan mata sembab diwajahnya. Ia mengerjap. Mengusap matanya pelan, lalu duduk mneyandarkan diri di kepala ranjang. Kepalanya terasa agak sakit. Badannya pun terasa agak tak nyaman. Ia terlalu memikirkan hal - hal yang tak patutnya ia pikirkan. Hari ini mungkin ia perlu istirahat."Kau kenapa, hm?"
Evan tersenyum tampan. Tangannya mengusak pelan pucuk kepala Eric. Tak ada respon. Di otak Eric, terpikir perkataan Edo. Mengenai pengetahuan Evan mengenai hubungan Edo dan Celine.
"Stop overthinking. I'm here with you. You can tell me."
"Mm."
Eric bangkit setelahnya. Mencuci wakahnya, menggosok gigi, lalu pergi ke ruang makan. Tersaji menu sarapan kesukaannya. Bacon dan telur mata sapi. Disana juga ada segelas susu hangat. Beberapa potong buah yang sudah terkupas kulitnya. Eric menatap buah itu. Lalu menatap Evan bertanya.
"Itu untukmu. Sebagai penyegar."Eric hanya mengangguk. Ia memakan hidangan agak malas. Memaksa mulutnya mengunyah semuanya. Menelan dengan paksa semuanya. Entahlah. Seperti nafsu makannya hilang. Sedang tak ingin muncul. Hingga setelah beberapa suap, ponselnya berdering. Eric merogoh saku celananya. Dilihatnya ada nama orang yang mungkin ia rindukan. Ia tak bisa berbohong. Ia masih menyintai wanita yang sudah kejam mengakhiri hubungannya.
"Siapa?" tanya Evan yang tengah mengangkut piringnya ke washtafle. Matanya melirik penasaran.
Eric hendak mengatakan bahwa itu Celine. Tapi terkahir kalinya, ponselnya direbut paksa lalu dibanting oleh Evan. Lebih baik kali ini dia tak jujur. Sedikit kebohongan tak akan membuatnya sakit.
"Entahlah.. Siapa tahu penting? Lebih baik aku terima."
Eric berjalan menjauh. Meninggalkan meja makan menuju teras. Kakinya cepat - cepat berjalan, mengantisipasi panggilan tak terjawab. Panggilan dari orang yang kemarin - kemarin sempat ia rindukan seperti bahagia baginya. Celine sudah lama singgah, tak bisa ia pungkiri sulit pula melupakannya begitu saja. Eric tersenyum senang saat ia baru mengangkatnya.
"Halo."
Di seberang, Celine berkata sendu. Dia meminta maaf atas perkataanya. Dan Eric hanya mengiyakan. Hatinya yakin tak ingin mempermasalahkan. Lalu obrolan cukup lama terjadi. Diselingi tawa dan sedikit canggung. Berselimut rindu yang seperti menyeruak begitu saja. Ah, Eric jadi kehilangan kendali atas hatinya. Lagi - lagi tak bisa bertahan pada satu tujuan.
"Lama sekali mengobrol? Dan kau tersenyum serta tertawa. Siapa dia?"
"A-ah....dia teman lamaku. Kami hanya mengobrolkan hal - hal lama. Sedikit kenangan menggelikan di masa lalu."Eric berbohong. Dia tak berani menatap wajah lelaki yang tengah duduk di sofa memperhatikannya. Evan bisa dengan mudah menebak, Eric tahu itu. Bagaimanapun, Eric tak ingin kebahagiaannya ini lenyap hanya karena posesif milik Evan padanya.
"Oo..okay."
"Kau tak perlu berangkat hingga kau lebih baik. Aku juga akan di rumah. Berjaga untukmu."Eric yang semula menatap Evan memilih untuk berpaling. Eric merasa agak aneh. Wajahnya tak terlalu panas. Walau rona muncul di pipinya. Degupan itu pun tak muncul. Seperti perasaan bahagia lain sedang menyelimuti hatinya. Sesuatu yang lebih membuatnya merasa baik - baik. Celine?
'Ada apa?'
"Ada apa?"###G
Updated!
Support dengan vote dan comment biar author semangat.
Stay tuned terus,
Happy reading!^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Accepted [complete]
RomanceCinta yang belum dia terima, dan hatimu yang tak bisa berhenti untuk merasa seakan jadi luka yang setiap saat melebar. Bukan kau terlalu mengharapkan, hanya mungkin dia perlu waktu. Kedekatan kecil yang terbangung perlahan meluluhkan. Cinta yang tak...