#30. (We are)

2.6K 226 31
                                    


   Seperti tak ada lagi harapan atas hubungan yang kini makin tak baik. Evan pasrah. Dia mungkin takkan bisa berbuat apapun. Ini bukan takdir buruk. Bukan juga ia berhenti dan membiarkan hubungannya berkahir perlahan.

    Lebih tepat dimana, mungkin—apapun yang akan ia lakukan hanya akan membuatnya makin seperti pecundang. Ia hanya merasa buruk karena menutup mata akan resiko yang mungkin terjadi. Kini, jarak terbesar adalah rasa benci Eric atas dirinya. Atas apa yang telah terjadi. Evan hanya berharap, masih ada secercah rasa ingin kembali di hati Eric.

Setidaknya maaf.

"Bagaimana kabarmu?"

Evan mengerjap. Suara dari seberang meja membuyarkan lamunannya. Refleks dia membulatkan mata, mengangkat alisnya tinggi. Evan tak mendengar perkataan lelaki itu.

"Huft."
"Mungkin aku tak perlu menanyakan hal itu."

"A-ah..  Maaf. Banyak pekerjaan yang masih belum selesai. Aku jadi tak fokus dan tak jelas mendengar perkataanmu." jawab Evan. Ia berbohong.

"It's okay."

Sesaat hening. Tak ada kata terucap dari mulut keduanya. Evan sungkan untuk sekedar menanyakan keadaan. Lagipula, dia sudah melihat langsung bahwa Eric baik - baik saja. Lelaki di hadapannya ini, hanya sedikit berbeda. Tingkahnya seperti orang yang barusaja bertemu. 

"Apa aku mengganggu waktumu, Ev?"
 
 
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Jangan menanyakan hal yang mustahil. Bagaimanapun, kau masih memiliki ruang dihatiku."
 
 
"Tentu saja, aku masih mencintaimu."

  Dapat Evan lihat ekspresi Eric yang agak terkejut. Lalu senyum terukir dari bibir lelaki itu. Senyum dan mata yang ikut terpejam. Ia berdecak pelan lalu disambung tawa kecil yang keluar. Evan tak mengerti. Ia jujur mengatakannya.

Apanya yang lucu?

"Kau memang selalu begitu. Terlalu jujur dan mudah mengatakan yang kau rasakan."

  Evan memandangi lekat wajah Eric. Obrolan ini, terasa sangat berbeda bagi Evan. Tentu Evan bersyukur bahwa dia masih bisa mendapat kesempatan untuk mengobrol. Hanya saja, ini seperti obrolan dua orang yang sudah saling mengakhiri hubungan. Dimana seperti ada tembok besar yang membuat obrolan ini lumayan hambar. Ada batas dimana seperti Eric tak menginginkan pembahasan mengenai perasaan 'itu'. Ada sesuatu yang mengahalangi tersampaikannya perasaan Evan pada Eric. Eric seperti menutup pintu hatinya agar Evan tak bisa kembali ke dalam. Bagaimana senyum yang sedari tadi Eric tampilkan seperti tak tulus dan menutupi perasaan sesungguhnya. Evan hanya tak merasakanhal itu.

Di mata Evan, ini adalah kewajaran. Dan ia beranggapan bahwa, mungkin memang benar jika Eric baik - baik saja tanpa dirinya. Dia bisa melupakan secara perlahan lalu bangkit. Meluruskan jalan dan mencapai bahagianya. Tidak lagi meratapi nasib yang takkan pernah berubah.

"Eric."

"Hm?"

"I'm sorry."
"For all what i've done."

Evan menatap lekat manik mata Eric. Tatapan mereka bertemu. Tangan Evan berusaha meraih jari jemari Eric. Menautkannya pelan, lalu saling bertatap sesaat. Beberapa detik lalu Eric yang pertama memalingkan wajah. Dilepas paksa genggaman tangan Evan. Eric mengatakan sesuatu.

"Tentu aku sudah memaafkanmu."
"Tapi ada yang lebih penting dari itu."

"What's that?"

"I love you."

***

Suasana jalan benar - benar ramai. Di sepanjang yang Eric lewati, hijau dan merah mendominasi. Butiran salju yang bertumpuk, tak menghalangi aktivitas warga kota.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang