"Hentikan kebiasaan merokokmu, Er."
Lelaki yang ditegur hanya menoleh. Sama sekali ia tak mengindahkan perkataan wanita yang kini malah ikut bersamanya di balkon. Dibawakannya secangkir cokelat panas untuk Eric. Lalu Celine duduk di sampingnya.
"Kau tahu? Perokok pasif punya resiko terpapar efek lebih tinggi."
Dengan malas Eric bangkit. Wanita yang ia peringati tak bergeming melainkan hanya menatapinya. Eric bersandar pada pembatas balkon. Dihisap dalam - dalam, lalu dihembuskan perlahan. Seseorang terbatuk di belakangnya.
"Demi Tuhan angin membawa asapmu kemari. Lebih baik kau duduk karena aku sama sekali tak terganggu oleh itu."
"Lalu? Kenapa kau memintaku berhenti merokok jika kau tak terganggu?"
Celine menatap tak percaya lelaki yang berdiri membelakanginya itu. Dia memutar bola mata malas, lalu bangkit. Berjalan mendekat dengan kaki terhentak. Eric melirik, dari sudut matanya samar terlohat wajah Celine kesal. Sekilas senyum terbentuk.
"Kau membuang - buang waktu dengan menghisap sesuatu yang hanya memperpendek umurmu. Kau tahu?!!"
Tanpa berbicara, Eric berbalik. Ditatapnya Celine yang masih dengan wajah kesalnya. Lalu Eric melempar sembarang batang rokok di tangannya. Kini puntung yang masih menyala itu jatuh terjun bebas dari balkon tempat mereka berada. Celine berteriak kencang. Bisa ia lihat mata perempuan itu melotot seperti hendak keluar dari tengkoraknya. Eric menahan tawa.
"Berhenti bersikap bodoh!! Bagaimana jika itu mengenai seseorang?! Apa yang kau pikirkan."
"Itu akan padam karena tertiup angin. Terlalu dingin untuk bisa bertahan dalam kehangatan yang hanya sedikit terasa? Haha." tawa dibuat - dibuat dari mulut Eric membuatnya mendapat cubitan dari Celine. Dalam gelap, ia lihat wajah Celine yang makin kesal. Atau mungkin seperti tak habis pikir. Eric menghela napas. Kakinya melangkah melewati Celine yang masih terdiam karena sikap tak jelas Eric. Lelaki itu lalu berhenti sebelum menggeser pintu. Tatapannya lurus ke depan. Melihat pantulan buram dirinya di kaca, "Mungkin aku akan mempertimbangkan apa yang kau katakan. Mungkin."Eric masuk dan menyisakan Celine yang sedikit dibuat tak mengerti. Setelah sesaat berpikir, ia paham. Ia berlari kecil dengan kekehan disepanjangnya. Mereka melupakan camgkir cokelat panas yang perlahan menjadi dingin. Benar kata Eric. Di luar teramat dingin. Sedikit kehangatan tak akan membuatnya merasa nyaman walau sedikit.
****
Sepotong bacon dengan dua telur mata sapi tersaji. Lelaki dihadapannya menatap nikmat, namun sedikit dibuat merindu. Bersamaan dengan potongan yang masuk ke mulutnya, perlahan memori itu muncul mengiringi. Menu favorit seseorang ini sudah lama tak ia buat. Lalu ia gelengkan kepalanya pelan. Ia menolak memori itu terputar. Sedikit memaksakan memang. Namun yang dia inginkan kini, sedikit demi sedikit melupakan yang akan membuatnya mudah nanti.
Tak banyak waktu terbuang untuk sepinggan olahan itu. Beberapa menit semuanya sudah terlahap. Menyisakan piring yang kosong berteman garpu dan sendok. Segelas air putih diteguknya perlahan hingga tak tersisa. Lalu ia bangkit membawa alat kotor itu ke pencucian. Membersihkannya agar tak ada bau disana.
Setelahnya Evan berjalan menuju ruang tengah. Matanya melirik melihat jam yang menunjukkan pukul delapan. Masih ada waktu. Lalu ia kembali mendudukkan diri di couch panjang depan televisi. Ia nyalakan televisi itu, dan memilih channel yang ia inginkan. Matanya menatap lekat. Serius menonton serial animasi yang pernah bersama ia tonton dengan lelaki 'itu'. Lagi. Dia menggeleng pelan. Mengenyahkan memori yang hampir muncul di otaknya. Ditinggalkan ruang tengah menuju kamarnya. Lalu dengan santai mendudukkan diri di tepian ranjang. Tepat menghadap cermin. Evan tersenyum melihat penampakannya. Sudah berapa lama dia tidak berolahraga? Ia melihat beberapa bagian di tubuhnya berlemak. Mengingat ia memakan apapun tanpa aturan belakangan. Apa saja itu sesuai keinginan hatinya.
Pria itu bangkit—lagi. Dia beralih untuk pergi ke balkon. Tangannya meraih selimut, lalu melangkah keluar. Pandangannya mengedar menatapi suasana kota. Jalanan cukup ramai dan ia bisa melihat matahari yang masih dangkal mengudara. Terpaan angin begitu dingin mengejutkannya. Selembar selimut itu bahkan tembus. Evan cepat - cepat kembali. Dia masuk dan segera menghangatkan diri. Segelas cokelat panas terbuat. Sesuatu dalam hatinya berumpama.
"Kehangatan yang perlahan dirasakan, bisa melenyapkan dingin yang merasuk."
****
Dengan koper di sebelah tangannya, Evan berjalan keluar gedung. Menuruni anak tangga dan kini telah berada di tepi jalan. Sebuah mobil berhenti. Koper ditangannya sudah berpindah tangan dan kini dibukakan pintu untuknya. Evan masuk dengan santai. Ia mencari posisi yang tepat dan nyaman untuk duduk. Seseorang dengan pakaian rapi itu kini berada di kursi kemudi. Tanpa perlu basa basi Evan memberitahukan alamat apartemen Celine. Dan mobil itu berjalan membelah ramainya kota.
Jalanan kala itu sudah sedikit sepi. Lalu lalang kendaraan tak seramai pagi tadi. Dengan kaca yang separuh terbuka, hembusan dingin angin menerpa wajah tampan Evan. Ia sedikit terhenyak. Memikirkan hal yang akan ia lakukan. Walau mulutnya berkata ia ingin pergi. Tak semena - mena hatinya berkata demikian. Disudut hatinya yang terdalam, Evan masih sedikit ingin kembali. Tak ada yang salah. Hanya Evan buru - buru menghilangkan hal itu. Yang tidak ia sadari kini sudah berada di depan gedung tinggi tempat wanita itu tinggal. Lelaki itu tak langsung turun. Matanya menatap sekitar, sesaat sebelum memastikan diri untuk keluar mobil. Tangannya hendak meriah ponsel, berniat memberikan kabar pada Celine. Sayangnya, matanya terlalu jeli dan mendapati dua sejoli yang tengah berjalan berdampingan. Samar nampak gurauan membuat keduanya tertawa. Evan lalu mengehela napas. Muncul duri dari berbagai penjuru. Menusuk tajam setiap sisi hatinya. Matanya tak mungkin salah melihat. Jelas benar itu Celine dan juga lelaki pujaan hatinya, Eric.
Mereka kembali bersama?
Evan melengos. Ada kekecewaan tak terbendung yang membeludak dalam dirinya. Juga rasa tak percaya jika Celine bisa berbuat demikian. Pikir lelaki itu, dirinya sudah cukup mengenalnya. Hanya saja, apa yang kau pikirkan terkadang membuatmu kecewa karena fakta tak beriringan bersama pikiranmu. Pintu terbuka dan Evan berkata agar lelaki berjas itu menunggu. Dengan sopan dijawab dan Evan berjalan mencari jejak dua sejoli itu. Ia tak ingin dicurigai. Keingintahuan hatinya membawanya mengikuti sepasang pria wanita yang asik bercengkrama. Tak ada beban nampak di wajah lelaki itu. Senyuman terlukis dan dia terlihat baik - baik saja. Sesaat Evan dibuat bersyukur dan pilu. Mengapa pikiran negatifnya selalu lebih benar daripada keyakinan yang ia miliki? Eric nampak bahagia - bahagia saja. Senyuman itu. Wajah ceria itu. Terpulas senyum di bibir Evan. Ada sedikit bahagia menyeruak dalam kesedihannya.
Eric baik - baik saja tanpaku.
Dia memotret mereka berdua. Dengan cepat dia mundur. Tak lagi mengikuti pasangan serasi itu. Hatinya tak ikhlas. Jangan menanyakan mengapa. Jelas dia tak percaya wanita yang selama ini ia pikir sudah membantunya ternyata mengambil keuntungan—tidak. Ternyata memikirkan kebahagiaannya sendiri. Evan pikir dirinya cukup tahu mengenai pribadi Celine atas pertemuan singkat yang sering mereka lakukan. Namun hal ini sudah membuat semuanya jelas. Yakin bahwa selama ini wanita itu tahu keberadaan Eric namun tak jujur untuk mengatakannya. Cinta lama itu masih ada dan kini kembali bersemi. Tapi mengapa ia yang harus merasa terluka?
Sudahlah.
Lalu kini apalagi yang ia harapkan jika ia tinggal lebih lama? Eric tak akan pernah kembali padanya. Cinta yang diharap bisa Eric rasakan bahkan tak pernah sampai. Terbesit pikiran bahwa Eric hanya terbawa suasana. Saat itu Eric bersikap baik pada dirinya karena Evan memperlakukan Eric sama baiknya. Hanya sebatas itu? Lagi - lagi helaan napas yang dilaruti kecewa terlepas. Evan memaksa agar semua itu enyah. Memaksa agar dirinya bisa merasa lebih lega untuk kepergiannya nanti. Dipikirnya bahwa ini pilihan yang tepat. Tak ada hal lagi yang perlu diragukan. Hatinya dipaksa yakin bahwa ia juga merasa senang bahkan hanya dengan tahu bahwa Eric bahagia. Dirinya paham itu terkesan egois dan terlalu memaksakan. Karena pada dasarnya ia juga tak ingin hal semacam ini terjadi. Pikirannya kini daripada ia berlarut - larut, bukankah sebaiknya ia juga memulai langkah lain yang lebih baik? Yang lebih bisa membuatnya tak harus merasakan rasa yang seperti ini lagi.
"Antar aku ke bandara."
"Baik, Tuan."
****G
KAMU SEDANG MEMBACA
Accepted [complete]
RomansaCinta yang belum dia terima, dan hatimu yang tak bisa berhenti untuk merasa seakan jadi luka yang setiap saat melebar. Bukan kau terlalu mengharapkan, hanya mungkin dia perlu waktu. Kedekatan kecil yang terbangung perlahan meluluhkan. Cinta yang tak...