#29. (Destined to be)

2.9K 208 59
                                    

Focus : Eric

 
Plak!!

"Apa kau tahu betapa kecewanya daddy padamu?!"
"Mau sampai kapan kau kekanak - kanakkan begini?!  Kau sudah mempermainkan perasaan orang lain. Kau bahkan tidak bisa membuat orang tua mu ini sedikit bahagia. Bersikaplah lebih dewasa!!"

  Eric tak bergeming. Pipinya jelas merah karena tamparan yang dilayangkan lelaki paruh baya di depannya ini. Ia tak mengerti.

  Bagaimana pola pikir kedua orang tuanya ini.
 

Banyak hal yang terjadi. Eric mencoba belajar. Ini semua, semua yang dilakukan Evan hanya sebatas rencana. Semata - mata bukan keseriusan atau semacamnya. Eric sudah bisa berpikir akan hal yang ia lakukan. Ia tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Dia bukan yang mempermainkan. Dialah yang selama ini dipermainkan. Daddynya haus akan kekayaan. Bagaimana dia tak mengetahui persoalan hubungannya dengan Celine yang juga karena kerjasama perusahaan. Mommy nya juga hanya diam. Bukan tak peduli, Julia terlalu sayang pada anak lelakinya. Dimana Eric hanya menangkap keegoisan dari dua orang dewasa di hadapannya ini. Eric ingin berhenti.

"Eric sadar atas apa yang Eric lakukan."
"Apa yang Eric lakukan tadi,  adalah hal yang sepantasnya dilakukan. Eric tak pernah mempermainkan siapapun. Eric yang merasa dipermainkan. Daddy tahu? Eric bahkan tak sadar kalau hubungan Eric dengan Celine yang belakangan ditentang adalah karena kontrak kerja perusahaan sudah berakhir. Lalu sekarang daddy memaksa Eric dekat dengan Evan?  Atas dasar yang sama bukan?!"
 

"JAGA BICARAMU!! BERSIKAP SOPANLAH PADA ORANG TUAMU."
"Semua yang kulakukan semata - mata demi kebahagiaanmu. Mungkin egois, tapi lihatlah dirimu sekarang! Kau bisa hidup nyaman dengan segalanya itu semua karena aku ingin anakku BISA BAHAGIA!  BAGAIMANAPUN CARANYA!!"

"Tapi Eric sadar."
"Eric tidak bahagia."

 
***
 

Malam itu Eric mengurung dirinya dalam kamar. Duduk memeluk lutut, masih bersama porak poranda hatinya. Kebohongan ini. Apa ia bisa terus bertahan dengan bersikap tak peduli,  seolah tak lagi menginginkan?

Lalu kapan ia bisa merasakan apa yang ingin ia rasakan?

Eric tak ingin menangis kali ini. Ia sudah jadi dirinya yang dulu. Ia yang bahkan akan tertawa lepas setelah menolak perasaan seseorang. Dirinya yang akan dengan mudahnya melalui detik waktu tanpa terbawa perasaan. Kebohongan ini terlalu kuat. Pedih yang ditimbulkan juga semakin terasa.

Sampai kapan ia bisa bertahan?

Entahlah. Berbohong pada hatinya bahwa perasaan untuk lelaki itu tak lagi ada, adalah derita terbesarnya. Dan sekarang? Ia melihat wajah kecewa yang terbayang di otaknya. Wajah Evan yang belum pernah ia lihat. Wajah lelaki itu nampak kecewa. Kesedihan terpancar dari sorot di matanya.

Kenapa ia harus merasa bersalah seperti ini? 

Tangan Eric terkepal. Ia memukul keras dinding di hadapannya. Kepalanya ia benturkan kesana. Berharap ia bisa lebih baik. Tapi nihil. Sesak di dadanya. Rasa bersalah kian memenuhi relung hatinya.

Eric membangkitkan tubuhnya. Berdiri dari duduknya. Berjalan mendekat pada balkon. Membuka pintu lalu bersandar pada pembatasnya. Ia hirup udara yang ikut bersama angin. Menghembuskannya berat melepas semua beban yang dirasa. Matanya kini menatap langit. Disebelah tangannya, serpihan cermin yang ia pungut dipegang. Menutup mata, membiarkan sayatan itu tergurat. Membiarkannya menghilangkan perasaan sesak di dadanya. Rasa sakit serta nyeri disana, biarkan jadi pereda kecamuk itu. Ia biarkan dirinya ambruk. Kehilangan pandangan lalu tak sadar. Tergeletak diterpa udara dingin dengan gumpalan awan hitam di langit.
 

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang