#13. (Both of us)

3.8K 245 4
                                    

Hampir satu minggu mulut kedua pemuda itu saling terkunci. Bertatap muka, bertegur sapa secukupnya. Tidak seperti biasa, Eric makin tak acuh dengan Evan. Entahlah, apa gunanya tinggal seatap jika bertindak layaknya orang asing?

Terdengar hembusan nafas kasar di telinga Eric. Tiga puluh menit sejak Evan bangun, dan dia belum mengatakan apapun. Eric sibuk dengan smartphone nya, sedangkan Evan dengan setengah telanjang memasak sarapan untuk keduanya. Minggu pagi pertama yang harusnya jadi momok segar untuk lebih dekat, hanya dilewati dengan selimut canggung. Evan bingung harus memulai. Eric sibuk dengan egonya.

"Makanan sudah siap, kemarilah dan makan bersama."

Evan memecah suasana canggung yang menyelimuti dapur. Dia memindahkan beberapa piring berisi bacon dan telur mata sapi ke meja makan. Menuangkan susu ke dalam dua gelas tinggi. Meletakannya berdampingan dengan piring tadi.

Mata Evan menelisik. Dari posisinya sekarang, Evan menatapi lelaki yang sedang tersenyum sendiri di sofa. Duduk memegang gawai, tersenyum sendiri, dan pastinya ada sesuatu yang tak beres.

"Rasanya mungkin tak enak jika kau biarkan sarapanmu dingin, Er."

"Aku tahu-!"

Eric tak menoleh. Fokusnya masih pada gadget di tangan. Senyumnya tak pudar terlukis di bibirnya. Dirasa teracuhkan, Evan berjalan menghampiri Eric. Diambil paksa gadget itu, lalu melemparnya sembarang.

"Hey! Kenapa di lempar?! Jangan seenaknya!"

"Lebih baik jika handphone mu rusak. Nenek sihir pacarmu itu tak akan mengganggu hubungan kita." final Evan berjalan memungut gadget milik Eric. Dia membuangnya ke tempat sampah.

"Apa - apaan kau ini?! Memangnya hubungan kita se serius apa? Sampai kau se posesif ini?! " Eric naik pitam. Dia berjalan mendekati Evan yang tak acuh.

"Lupakan. Ayo sarapan. Nanti kalau dingin rasanya tak nikmat."
Kata Evan mengalihkan perhatian.

"Terserah. Aku akan pergi dan sarapan di rumah mommy! Aku muak denganmu." Eric berjalan cepat menuju kamar. Evan membuntuti Eric. Kakinya mengikuti setiap langkah Eric.

"Stop, Ev!"

Bruk!

Jangan salahkan Evan atas semua ini. Berhenti tiba - tiba padahal Eric tau Evan membuntutinya maka terjadilah. Sekarang Eric tertindih badan Evan. Wajah keduanya sangat dekat. Nyaris bibir mereka bersentuhan. Hidung keduanya sudah bergesekan. Hanya sedikit lagi.

"Wajahmu merah, Er."

Kata - kata itu lolos dari mulut Evan. Eric menahan nafasnya. Reflek dia menonjok wajah Evan keras.

"KURANG AJAR KAU!"

Evan mengaduh. Posisinya sudah duduk agak jauh dari Eric yang sudah bangun. Tengkuknya yang tak gatal ia garuk. Eric salah tingkah. Dia memilih bergegas memakai outer, lalu berjalan cepat keluar. Eric bodo amat Evan akan melakukan apa. Eric tidak peduli apa yang akan Evan pikirkan.

Terserah.
Terserah.
Terserah.

"Hey! Taksi!"
Eric berteriak amat keras seperti orang kesetanan. Dia menghentikan taksi dan langsung menaikinya. Mata Eric melirik. Tak nampak sosok Evan keluar gerbang. Sudahlah, Eric langsung meminta sopir untuk bergegas.

**

Evan tergopoh - gopoh bangkit setalah sebuah pukulan mendarat di pipinya. Matanya menelisik ke seisi ruangan. Dia tak menemukan Eric dimanapun. Pasti dia kini sedang dalam perjalan ke rumahnya. Dia benar - benar menepati kata - katanya. Evan hanya melengos. Menghembuskan kasar nafasnya. Mendudukkan diri di sofa panjang dekat jendela. Kepalanya ia sandarkan hingga kini matanya bisa menatap langit - langit kamar. Lagi, hembusan itu lolos. Hatinya seperti kembali digurat dan ada bekas luka disana. Evan tak bisa berbohong. Dia mulai muak dengan kenyataan yang harus ia hadapi saat ini.

Accepted [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang