Menggapai Suhaa 5: Amara

71 8 1
                                    

Saat ini Leya dan Suhaa tengah jalan berdua menuju rumah mereka masing-masing. Hari telah memasuki sore hari ketika mereka berpijak menjauh dari sekolah mereka.

Hari ini begitu melelahkan, praktik di pelajaran Penjaskes membuat mereka letih. Di tambah dengan otak yang masih panas karena memulai hari mereka dengan pelajaran matematika.

Sebenarnya mereka tidak berdua, ada dua sosok di masing-masing sebelah kanan mereka sehingga menghalangi keduanya untuk berdekatan.

Mereka ber-empat, Leya, Suhaa, Zaki, dan juga Dela memutuskan untuk pulang bersama. Sangat kebetulan takdir membuat mereka tinggal di daerah yang cukup dekat satu sama lain.

"Suhaa gak ke situ?" Leya bertanya di tengah-tengah keheningan yang perlahan mencekik mereka. Biasanya setelah pulang sekolah, Suhaa akan mampir ke Panti Asuhan sebelum ke rumah, maka dari itu Leya bertanya.

Mendengar itu membuat Suhaa menggeleng singkat, "Nggak. Mungkin besok, biasanya gue ke situ tiga kali seminggu, itupun kalau ada waktu."

Dengan satu alis yang terangkat, Zaki mendengarkan pembicaraan antara Leya dan Suhaa. Tentu saja Dela juga sama bingungnya dengan Zaki.

Memangnya Suhaa ke mana setelah sekolah?

"Emang kalau lu pulang dari sekolah langsung kemana? Gak langsung pulang lu? Hayo... lu ke mana pas pulang sekolah?" tanya Zaki dengan ekspresi curiga.

Suhaa hanya menanggapinya dengan hembusan nafas singkat sambil memutar bola matanya, "Emang gue harus banget ngasih tau lu kalau gue mau kemana? Gue juga harus kasi tau kalau gue mau ke WC gitu?"

Dengan kesal Zaki berdecak. Apa susahnya Suhaa menjawab pertanyaannya yang begitu singkat dan jelas itu. Ia hanya perlu menjawab dan tidak akan membuatnya kelelahan, apakah itu sangat sulit?

"Padahal gue cuman nanya loh, masa gak bisa jawab, malah nanya balik..," kembali Zaki membalas dengan raut wajah yang sangat jelek untuk di pandang.

"Bye anak pungut, Leya udah sampe..," Leya tiba-tiba berjalan mundur ke arah samping tepat di depan pekarangan rumahnya

Tiba-tiba saja mereka sampai di rumah Leya dengan cepat. Padahal mereka merasa baru beberapa menit yang lalu meninggalkan gerbang sekolah, tetapi rumah Leya sudah terlihat sekarang.

"Leya masuk ya, makasih loh udah nganterin Leya. Jalan-jalan di hati ya!" teriak Leya dengan suara lembut lalu menghilang dari balik pintu yang telah tertutup.

"Udah ya, gue mau pulang." Suhaa berbelok ke arah kanan dengan cepat dan menghilang di ujung lorong setelah berbelok ke arah kiri.

Di tinggal berdua oleh Leya dan Suhaa, Dela memutar bola mata dengan kesal sambil melipat kedua tangannya di dada dan beralih menatap Zaki.

"Apa? Mau gue culik lu?" Zaki balik menatap Dela dengan alis yang terangkat beberapa kali.

"Dih, ogah!"
***
***
"Mama, ayah datangnya kapan?"

Leya berhenti mengunyah makanannya sambil menatap ibunya yang berada di depannya saat bertanya mengenai ayahnya.

Darna ikut berhenti mengunyah makan malam yang telah masuk ke dalam mulutnya, ia lalu menatap Leya dengan datar dan kembali mengunyah.

Setelah makanan yang ada di mulutnya telah tertelan, Darna beralih menatap putri kesayangannya, "Mama juga gak tau, sayang. Mungkin minggu depan"

"Satria belum datang buat liburan kan, ma? Bilangin sama Satria supaya jangan datang dulu." Leya menggenggam tangan sang ibunda dengan cemas.

Satria di sekolahkan di sekolah yang memiliki asrama jauh dari daerah perumahan Leya, itu semua di lakukan dengan alasan yang jelas dan bertujuan agar adik lelaki Leya bisa terhindar dari hal 'itu'.

"I-iya, mama bakal bilang sama Satria. Makan aja yang tenang, gak usah bahas itu sekarang..," dengan tenang, Darna tersenyum lembut sambil menatap Leya.

Leya mengangguk mengerti. Mungkin dirinya terlalu khawatir mengenai masalah yang di alami adiknya, ia benar-benar takut jika adiknya pulang ke rumah dan tiba-tiba Satria mengingat hal mengerikan itu apalagi sampai sang ayah menampakkan diri di hadapan adik lelakinya.

"Punggung kamu udah gak sakit, kan? Masih ada bekasnya gak? Kalau masih ada mama bakal obatin." tiba-tiba Darna kembali berhenti menandaskan piringnya dan mendongak menatap Leya dengan khawatir.

Mendengar hal itu membuat Leya tersenyum lembut, ia lalu mengelus tangan sang ibu sambil menatap wajah ibunya, "Udah gak sakit kok. Leya 'kan kuat," ucapnya sambil tersenyum dan memperlihatkan giginya.

Darna mengangguk sambil menghela napas kasar dan balik menatap anaknya dengan senyuman, "Bener, kamu kuat. Kalau Leya butuh sandaran, datang ke mama ya...."

Leya tertawa kecil sambil memperlihatkan gigi putih miliknya. Benar, ada waktu dimana Leya akan terpuruk karena hal 'itu', dan ia hanya perlu bersandar pada ibunya untuk menenangkan hatinya.
***
***
Dengan perasaan campur aduk, Suhaa duduk di pinggir ranjang sambil melihat tagihan listrik setelah ia selesai mandi.

Ia benar-benar lupa untuk membayar tagihan listrik kontrakannya. Meskipun rumah yang di tinggali olehnya bukanlah kos-kosan maupun rumah kontrakan, Suhaa tetap menganggap rumah pemberian pamannya ini sebagai rumah sewaan.

Suhaa hanya menumpang di rumah itu, hanya itu saja. Ia memilih tinggal jauh dari ibu dan adiknya untuk mencari pekerjaan sambil bersekolah di sekolah impiannya.

Tabungan Suhaa sudah mulai menipis karena sebagian tabungannya di transfer pada ibunya seminggu yang lalu, pasti sang ibu akan meminta uang lagi dengan alasan yang sama.

Dengan cepat Suhaa meraih ponselnya dan menekan nomor adik perempuannya. Beberapa detik ia menunggu hingga akhirnya sang adik mengangkat panggilan itu.

"Kenapa bang?" suara manis dan lembut terdengar dari speaker ponsel milik Suhaa, itu adalah suara dari adik perempuannya, Amara.

"Siapin koper Ara sekarang, besok abang jemput. Bilangin abang kalau bunda lagi gak ada, nanti Abang langsung otw, paham gak?" dengan cepat Suhaa memberitahu alasan mengapa Suhaa menghubungi adiknya.

"Abang jemput aja besok siang, besok bunda ada urusan di luar, kayaknya sih pulang malem gitu." Amara membalas dengan cepat tahu alasan mengapa sang kakak tiba-tiba menjemputnya.

"Ya udah, tungguin Abang besok. Pokoknya semua barang Ara harus di masukin ke koper, kalau gak cukup pakai tas ransel juga," ujar Suhaa kepada adiknya.

"Iya, Ara tutup ya. Takutnya bunda denger."

"Ya udah, kalau udah makan malam langsung tidur, malam." Percakapan mereka berakhir dengan singkat. Mau bagaimana lagi, Suhaa sudah tidak sanggup melihat adiknya terus di manfaatkan oleh ibunya sendiri.

Sehingga Suhaa memutuskan untuk membesarkan Amara sendiri tanpa bantuan dari ibunya dan juga ayahnya yang pergi entah kemana.

Bagaimanapun caranya, Suhaa harus bisa mendapatkan pekerjaan sesegera mungkin untuk kedepannya. Ia juga harus memikirkan kebutuhan yang di perlukan adiknya dalam menuntut ilmu.

Pekerjaan apapun akan Suhaa terima, asalkan pekerjaan itu menghasilkan banyak uang dan mampu menjadi pondasi kehidupannya di masa depan.
***
***

Menggapai Suhaa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang