Bab 4

3.5K 419 5
                                    


Seorang pria dengan mahkota kebesarannya memasuki sebuah tempat para pandai besi dan pengrajin tembaga. Dia bersama beberapa pengawalnya menemui seorang kakek tua yang terkenal akan kemahirannya mengukir besi dan emas. Bahkan mahkota yang tengah dikenakannya tersebut merupakan hasil karya kakek tua tersebut. Sang kakek pun menyambutnya dengan penuh hormat. Dia menyiapkan sebuah benda yang telah dibungkusnya dengan kain merah untuk diserahkan pada pria tersebut. "Suatu kehormatan jika paduka singgah di kediaman hamba yang buruk ini. Hamba merasa sangat tersanjung."

"Terima kasih atas penyambutanmu! Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang telah aku tugaskan padamu benar-benar engkau kerjakan dengan baik."

"Hamba sudah menyelesaikannya baginda! Hamba berharap baginda akan menyukainya..." ujar kakek tua itu. Tubuhnya yang rapuh tampak sedikit gemetar saat berucap, namun hal itu tak menghilangkan sedikitpun kesan gagah yang pernah melekat dalam dirinya. Bagaimanapun dia adalah pengrajin emas paling terkenal di jaman itu.

"Kau sudah berkerja keras! Dan karena benda ini sangat berharga maka aku akan meletakkannya di istana permaisuri..."

"Tapi bolehkan hamba bertanya siapa sosok dalam ukiran tersebut?" Sang baginda prabu pun tersenyum pada pertanyaan kakek tersebut. Ia membuka penutup merah tersebut dan mengamatinya.

"Seseorang dewi yang sangat berjasa untuk Majapahit. Dewi yang telah membuatku menjadi seorang raja yang besar..."

"Tetapi dia tak terlihat seperti mendiang ibunda ratu, baginda?"

Paduka itu pun kembali tersenyum. Namun dia juga menggeleng mengisyaratkan bahwa pertanyaan kakek tua tersebut tidak benar. "Dia memang bukan ibunda! Tetapi dia adalah seseorang yang telah membimbingku hingga sebesar ini. Dia adalah bidadari Majapahit."

Mojokerto, 24 September 2010

Langitnya berwarna merah saat matahari masih satu perempat di ufuk timur. Semilir angin tidak pernah berhenti menjajaki pohon-pohon di sepanjang jalan, biarpun iklim yang sudah menjadi semakin panas dan suara bising dari puluhan pasang kendaraan bermotor lebih memekik telinga dibandingkan kicauan burung. Gapura agung dari batu bata merah berdiri gagah di pintu kota, mengabsen satu persatu tamu-nya. Semakin tinggi, sinar mentari semakin memanjang. Menyapa dedaunan pohon di pinggiran jalan hingga patung Budha raksasa di Komplek Maha Vihara Mojopahit yang merupakan terbesar ketiga di dunia setelah Thailand dan Nepal. Sesuatu yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kota kelahirannya tersebut.

Rania tiba di stasiun Miji cukup pagi, tetapi dia tidak langsung menuju rumahnya di daerah Bangsal Mojokerto, melainkan menjelajahi beberapa tempat bersejarah di kota itu terlebih dahulu. Rania memang bukan orang asing, bahkan setiap beberapa bulan sekali dia bolak-balik dari Jogja-Mojokerto. Namun, entah mengapa sensasi misterius ketika kakinya menginjak tanah di kota itu tidak pernah hilang sedikitpun dari dalam dirinya. Dia selalu merasa ada yang selalu berusaha mengingatkannya pada suatu peristiwa penting.

Terutama untuk beberapa penglihatan yang pernah dia dapatkan dari tempat-tempat bersejarah. Seperti penglihatan aneh tentang kerajaan besar saat memasuki Gapura, lalu sebuah upacara Ngaben yang begitu besar di Candi Bajang Ratu, bertemu dengan orang misterius hingga mimpinya tentang seorang pria berpakaian prajurit dan wanita dengan selendang kuning yang berulang-ulang. Hanya saja tentang kebenaran di dalam mimpi dan pengelihatannya, tidak pernah dapat dia buktikan. Rania hanya selalu bertanya-tanya mengapa dia mendapatkan kejadian-kejadian yang aneh seperti itu.

Perjalanan menuju museum Trowulan−yang kini telah berganti nama menjadi Pusat Informasi Majapahit atas keputusan Bupati untuk melindungi situs Majapahit−hanya sekitar 21 menit melaui Jl. Ra Basuni, Jl. Gemekan dan Jl. Totok kerot. Melewati Museum Arkeologi Trowulan−tempat penemuan bagunan kuno Majapahit pertama kalinya−Candi Wringin Lawang serta Pura Majapahit.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang