Bab 5

3.1K 390 0
                                    


Majapahit, 1319 M

Masa pemerintahan Jayanegara

(Tahun ke-1)

Berdiri di tepian kolam memandang pria yang tengah memacu kuda melewatinya. Wanita itu menunduk, sudut bibirnya mengatup saat sebulir air mata menetes disana. Pria itu telah jauh meninggalkannya hingga tubuhnya ditelan kegelapan. "Sepertinya aku akan lebih sulit melihatmu lagi..." batin wanita itu.

"Apakah dia baik-baik saja paman?"

Sebuah suara menginterupsi pendengaran Rania. Suara seorang wanita dengan logat jawa kental yang hampir tidak dapat dimengertinya. Mirip dengan bahasa ibunya ketika berbicara dengan para tetua. "Aku masih bisa merasakan denyut nadinya. Tapi pernapasan gadis ini banyak terisi air. Aku tidak yakin tentang kondisinya, gusti ayu!"

"Lalu apakah ada ramuan untuk membuatnya sadar paman?"

"Gusti ayu tidak perlu khawatir, dia akan sadar setelah kondisinya membaik."

"Baiklah jika seperti itu, paman boleh pergi! Dan tolong rahasiakan tentang gadis ini dari siapapun!"

"Sendiko gusti ayu..."

Suara itu semakin lama semakin tak terdengar, pudar seiring dengan tapak kaki yang semakin menjauh. Rania pun berusaha membuka matanya, dia menerjap-nerjap dan berusaha menyesuaikan dengan cahaya terang yang menyilaukan matanya. Di ujung ranjang bayangan samar-samar sesosok pria mulai tertangkap penglihatannya. Semakin jelas hingga akhirnya benar-benar terlihat.

Pria itu berdiri dengan tegap sembari membawa senjata di tangannya. Pakaiannya pun aneh dan memperlihatkan bagian tubuh atasnya, mirip pakaian prajurit kuno dalam drama kolosal Angling Dharma yang dahulu popular saat dia masih kecil. Rania pun tidak menyakini penglihatannya, dia masih menerjap beberapa kali untuk memperjelasnya.

"Apakah kau sudah sadar?" Tanya seseorang lagi. Kali ini suara seorang perempuan yang berdiri di sampingnya.

Lagi Rania memandang suatu keanehan. Dua wanita yang berdiri di sampingnya, entah mengapa juga mengenakan pakaian yang tak biasa. Ada Jarik dan selendang yang membelit tubuhnya dan dia pun mengenakan beberapa perhiasan di gelungan rambutnya, cantik bak seorang bidadari surga. Namun kepala Rania mendadak terasa sakit saat memikirkannya.

"Apakah kau merasa kesakitan?" tanyanya lagi tampak khawatir. Rania tak mampu menjawab pertanyaan itu. Saat perempuan itu mendekat, dia baru menyadari bahwa yang dilihatnya benar-benar nyata.

"Dari pakaian yang dikenakannya sepertinya dia bukan orang Majapahit, Sebaiknya anda berhati-hati gusti ayu?" sahut pria di ujung ranjang itu. Rania semakin tak mengerti dengan percakapan mereka. Ketiganya seolah tengah menyoroti Rania dengan aneh, seperti dirinya yang juga menganggap mereka aneh.

"Tapi aku tidak bisa mengabaikannya paman Mada, dia tidak tampak seperti orang jahat." Bela perempuan itu.

Percakapan mereka membuat kepala Rania semakin terasa berputar-putar. Dia merasakan pusing dan begitu sesak di bagian dadanya. Dia tak sanggup berpikir apapun apalagi memahami ucapan mereka. Semuanya terasa seperti Delusi yang sering didapatkannya. Meskipun kali ini lebih jelas dan bahkan terasa benar-benar nyata.

Majapahit?

Mada?

Gusti ayu? Mungkin dia tengah terjebak teater kolosal.

Ketika matanya terbuka untuk kedua kalinya, Rania mengamati ruangan itu dengan seksama. Dinding yang tersusun dari batu bata merah padat dan kokoh, lantai yang berasal dari batu alam yang mengkilat dan tiang-tiang menjulang berukiran. Dipan serta barang-barang yang berasal dari perak dan emas, kain sutra dan hiasan-hiasan batu berbentuk Arca.

Sementara di sampingnya, putri bermata teduh dengan jarik sutera dan selendang berwarna biru muda masih berdiri disana. Rambutnya digelung setengah menjuntai dengan beberapa hiasan rambut berwarna keemasan dan bunga sedap malam. Kulit wajah putri itu pun tampak bersinar dengan lekukan alis yang menyelirit walau tidak ada teknik sulaman kala itu. Dia seperti bidadari yang tinggal di Nirwana, bidadari yang membutakan Jaka Tarub hingga membuatnya menjadi seorang pencuri.

Di sebelah putri itu juga berdiri seorang wanita lebih muda yang juga memiliki perawakan cantik seperti dirinya. Dengan wajah mungil dan lengkungan bibir tipis berbentuk berlian. Dia mengenakan selendang berwarna merah jambu dengan jarik coklat serta rambut menjuntai sepanjang sikut. Putri itu menatap Rania dengan pandangan ragu-ragu, antara curiga dan waspada.

Tak lama kemudian datang beberapa orang dayang yang membawa nampan berisi buah-buahan. Mereka meletakkannya di atas nangkas sebelah ranjang. Para dayang itu tak mengatakan apapun, hanya menundukan kepala kepada kedua putri. Rania mencoba bangkit dari posisi berbaring dan putri bermata teduh itu tak segan-segan membantunya. Namun dia tak lagi melihat pria dengan pakaian ala prajurit kuno yang sempat dilihatnya.

"Dimana aku sekarang?" pertanyaan Rania yang tak terjawab. Kedua putri itu hanya saling memandang. Barangkali bahasa yang diucapkan perempuan itu masih terdengar asing di telinga mereka.

"Kalian siapa?" tanyanya lagi. Kedua putri itu masih tak menjawab. Rania pun memegangi kepalanya yang terasa pusing.

"Apakah kau baik-baik saja?" Tanya putri bermata teduh itu. Rania baru memahami jika mereka benar-benar menggunakan logat dan bahasa jawa yang kental.

"Yah... tetapi aku berada dimana?" Kali ini Rania berusaha menyesuaikan bahasanya meskipun tak begitu halus. Sang putri itu kembali berpandangan.

"Kediamanku, di istana Majapahit." Rania seakan ingin tertawa mendengar jawaban itu. Dia tak pernah percaya dengan lelucon semacam itu. Akan tetapi raut wajah kedua putri itu tak menunjukan bahwa mereka tengah bermain opera bersama Rania.

"Kakak? Apakah kakak tidak berlebihan membawanya kemari? Kita bahkan belum mengenalnya. Bagaimana jika dia mempunyai maksud tersendiri?" bisik putri yang berwajah lebih muda itu.

"Jaga ucapanmu, Dyah Wiyat! Kau tak boleh menilai seseorang hanya dari pandangan pertama!"

"Aku hanya khawatir kakak! Jika kita membawa orang asing ke dalam istana kita, aku takut kakanda akan marah..."

"Justru dengan membawanya ke tempat kita, dia tidak akan menimbulkan masalah di istana. Asalkan kau bisa menjaga rahasia ini baik-baik!"

Rania masih dapat mendengar percakapan halus itu dengan baik. Dia tak terlalu memahami suku kata dalam bahasa jawa yang digunakan kedua putri itu. Namun tak berarti pula dia tak memahami percakapan mereka. Kedua putri itu juga tampak bingung melihat Rania. Bahkan di mata mereka, Rania seperti orang asing yang baru pertama kali dilihatnya. Antara percaya dan tidak, Rania benar-benar merasa gila dengan semua yang kenyataan yang didapatnya kala itu. "Apakah aku benar-benar di Majapahit?" Tanya Rania untuk kesekian kalinya.


Saya mengerti tuan putri

Kain batik Jawa

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang