Majapahit, 1319 M
Desa Badander (Kediaman kepala desa)
(Hari ke-42)
Seorang wanita yang berlari ketakutan di tengah hutan sembari menggendong bayi. Di belakangnya beberapa prajurit tengah mengejarnya. Wanita itu pontang-panting hingga beberapa kali hampir terperosok ke dalam jurang, sementara beberapa prajurit di belakangnya tak sedikitpun menyerah untuk menangkapnya. Wanita itu hampir putus asa, dia begitu terlihat lelah dan tak mampu lagi berjalan. Ada sebuah gua yang dilihatnya tak jauh, wanita itu berlari kearah gua. Dia menyembunyikan bayinya dan terpaksa meninggalkannya sembari menangis. Para prajurit itu berhasil menangkapnya dan menyeretnya meninggalkan tempat itu. Namun sesuatu yang berkilauan terlepas dari gelungan rambutnya, sesuatu yang mirip sebuah tusuk konde.
Rania masih sering bermimpi buruk bahkan ketika dia berada di tempat yang asing sekalipun. Terakhir kali mimpi yang dialaminya bersama sang ayah mencoba memberitahunya tentang pemberontakan yang terjadi di Majapahit. Dan hal itu kemudian menjadi kenyataan. Tetapi tentang yang dialaminya malam itu, dia tak dapat memahami sedikitpun. Justru mimpi tentang seorang wanita itu seolah bukan hendak terjadi namun telah terjadi sebelumnya.
"Kenapa kau masih terjaga di tengah malam? Apakah itu memang kebiasaan seorang wanita dari masa depan?" cibir laki-laki yang muncul dari sisi halaman. Rania memiringkan kepalanya untuk memperjelas penglihatannya. Laki-laki itu muncul seiring dengan sinar bulan yang mulai keluar dari kabut malam.
"Kau...?" sahutnya setengah bergumam. Laki-laki itu kembali memeroki dirinya di waktu dan tempat yang tak terduga. Dia sungguh prajurit yang mengesankan, pikir Rania.
"Bagaimana keadaan paduka?" tanyanya mengalihkan.
Dia berjalan menghampiri tubuh Rania sembari meletakan kedua tangannya di belakang. Laki-laki itu kemudian berhenti tak beberapa jauh dari tubuh Rania. "Keadaan paduka sudah lebih baik. Lukanya telah berangsur sembuh." Jawabnya singkat.
Laki-laki itu tak berkomentar. Dia mengambil jeda cukup lama seolah menunggu para jangkrik di bawah tanah berhenti mengerik. "Aku penasaran, bagaimana kau bisa tahu tentang penyerangan yang akan terjadi itu? Apakah kau seorang cenayang?" cibirnya lagi untuk kesekian kalinya.
Rania hanya berusaha tak memasukan cibiran itu ke dalam hati. Dari awal bertemu, laki-laki itu memang suka merendahkan Rania. "Jika aku mengatakan yang sebenarnya apakah kau akan percaya?" sahut perempuan itu dengan suara parau. Dia mengingat tentang ayahnya dan mimpi yang coba ditunjukannya. Jika saja mendiang ayahnya tak menunjukannya, mungkin sekarang dia tengah terjebak diantara pemberontak itu.
Laki-laki itu kembali terdiam. Antara sorot mata dan ekspresi wajahnya selalu tidak sejalan, sorot matanya menujukan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya tetapi ekspresi wajahnya terlalu kaku untuk menunjukannya. Dan Rania diam-diam mengamatinya. "Aku juga ingin tahu bagaimana tempatmu berasal, tentang negara yang kau tempati. Apakah disana seperti Majapahit?" Tanya laki-laki itu akhirnya.
"Haruskah aku menceritakannya?" cibir Rania untuk kesekiankalinya. Laki-laki itu pun membuat Rania harus menahan nafasnya untuk sesaat.
"Negaraku itu bukan negara yang serupa Majapahit! Sistemnya bukan kerajaan, maksudku disana rakyat yang memilih pemimpinnya dan bukannya seorang dari garis keturunan yang sama. Tetapi terlepas dari semua itu, negara kami adalah masa depan Majapahit."
"Lalu bagaimana dengan daerah kekuasaannya? Apakah lebih besar dari Majapahit?" Laki-laki itu menghentikan gerakan matanya mengawasi sekitar, kemudian memandang wajah Rania.
"Tentu saja! Negaraku itu bisa mencangkup wilayah Majapahit dan kerajaan lainnya. Majapahit hanya sebuah kota kecil dimana aku dilahirkan. Wilayahnya adalah pulau di ujung Swarnnabhumi hingga perbatasan Dompo. Semua suku yang berada di beberapa pulau bersatu dan mengakui kesatuan yang disebut Nusantara."
"Nusantara?" sahut laki-laki itu dengan kening berkerut, tetapi yang Rania yakini kata-kata mengundang pasti kekaguman. Bagaimanapun dia ingin membanggakan tempatnya berasal pada laki-laki itu. "Apakah mungkin dapat menyatukan puluhan kerajaan di luar sana dalam satu kekuasaan?" tanyanya kemudian.
"Tentu! Karena suatu hari nanti kau adalah orang pertama yang dapat menyatukan Nusantara dalam kekuasaan Majapahit! Kau akan menjadi panutan pemimpin kami..."
Rania mengalihkan pandangannya laki-laki itu dan secara kebetulan laki-laki itu juga melakukan hal serupa sehingga pandangan mereka pun bertemu. Tapi tak lama setelahnya Rania bergegas memalingkan wajahnya kembali.
"Bagaimana kau bisa berkata seperti itu padaku? Aku bukan siapa-siapa di negara ini, tidak mungkin aku bisa melakukannya!"
Rania terdiam, dia tidak bisa menampik perkataan laki-laki itu. Dia terlalu bingung dengan jantungnya yang tiba-tiba berdebar dengan cepat saat pandangannya bertemu dengan laki-laki itu.
"Besok... di pagi buta! Aku harus kembali ke Majapahit dan melihat keadaan disana, jadi aku harus memastikan keadaan paduka..." Laki-laki itu berusaha mengakhiri pembicaraan mereka. "Aku akan mengumpulkan kekuatan dari para pejabat yang masih setia pada paduka, lalu menyusun strategi untuk melumpuhkan Ra Kuti dan prjuritnya. Jadi aku bermaksud menawarkan diri untuk membatu jika ada sesuatu yang kau inginkan sebelum aku pergi?"
"Aku kehilangan tusuk konde itu saat menjadi tawanan dan mungkin benda itu masih berada disana. Apakah kau tidak keberatan untuk mencarinya selagi berada di Majapahit?" ujar perempuan itu dengan hati-hati.
"Kenapa kau sangat ingin menemukan benda itu? Apakah itu benda yang sangat berharga bagimu?" laki-laki itu kembali menyahutinya. Rania memandang balik wajah laki-laki itu, meski sinar bulan telah menghilang ditelan kegelapan.
"Aku mendapatkan benda itu sebelum aku berada di tempat ini. Dan hanya benda itu yang menjadi penghubung dengan duniaku. Mungkin benda itu adalah kunci satu-satunya yang dapat membawaku kembali ke masa depan."
Laki-laki itu tak menyahuti. Apa yang dipikirannya tidak bisa dibaca sembarang orang. "Meskipun aku menemukannya, tidak berarti aku harus memberikannya padamu." sahutnya kemudian membuat Rania mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Aku mengetahui pemilik benda itu yang sesungguhnya."
Tubuh Rania menegang seketika, dia tidak berani menyahuti dan lebih memilih menunggu penjelasan laki-laki itu. "Siapa yang kau maksud?"
"Seorang wanita yang telah mengorbankan hidupnya untuk seseorang yang tidak berharga sepertiku..." ujar laki-laki itu penuh tanda-tanya. "Wanita?" Batin Rania.
Tetapi Rania tak sempat menanyakan secara panjang lebar perihal wanita yang dimaksud laki-laki itu. Apakah itu berhubungan dengan mimpinya semalam tentang seorang wanita yang penuh kesusahpayahan. Ada keributan yang terjadi di depan gapura desa kemudian yang mengharuskan laki-laki itu segera pergi meninggalkannya. Rania pun sempat mengikutinya namun hanya sampai beberapa meter sebelum kejadian yang hanya sekali seumur hidup disaksikannya itu terjadi di depannya. Laki-laki itu membunuh salah seorang pengawal yang ikut serta dalam pelarian itu. Dia membunuhnya tepat di hadapan Rania.
Dukun/peramal
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...