Bab 36

2.4K 233 7
                                    


Majapahit, tahun 1351 M

Masa pemerintahan Hayam Wuruk

(Akhir Segala Teka-Teki)

Seorang pria dengan mahkota kebesarannya berdiri di tepi kolam segara, memandang kumpulan burung yang terbang meliuk-liuk di atas permukaannya. Pria itu kemudian mendongak, mengalihkan pandangannya pada hamparan langit biru yang indah. Dia tersenyum sambil bergumam, "Bibi Hapsari, paman Mada... ibunda telah pergi dan kalian pun telah lama meninggalkanku dalam kejayaan ini. Akankah aku juga bergabung dengan kalian setelah ini?"

Rania membuka matanya, tak ingin beranjak dari kenyamananya yang dirasakannya. Biarpun kondisinya semakin lemah dan kematian terasa semakin mendekatinya tiap detik tetapi setidaknya dia merasa bahagia dapat kembali bersama laki-laki itu di ujung kematiannya. Mereka menunggang kuda bersama melewati hutan jati dan rembesi yang sedikit demi sedikit mulai disinari matahari merah. Cahayanya menerobos cela dedaunan dan membangunkan kicauan burung-burung di sarangnya. Kawanan tupai melompat dari dahan ke dahan, terkejutkan oleh suara tapak kaki kuda tangguh. Hingga pagi menjalang keduanya pun masih berada dalam perjalanan menuju suatu tempat di arah timur Majapahit.

Tidak ada sepatah kata pun yang terucap diantara keduanya, baik itu Mada maupun Rania. Hingga mereka tiba di sebuah perdukuhan kecil. Mada menghentikan kudanya di pelataran pondok yang berada di ujung perdukuhan. Seorang pria tua dengan rambut putih dan wanita tua dengan jarik lusuh menyambutnya dari ambang pintu. Mada hanya mengangguk dari kejauhan lalu menuruni kudanya terlebih dahulu sebelum membantu Rania yang tampak semakin tampak pucat itu menuruni kuda.

"Kemana kita akan pergi?" tanya Rania pada akhirnya. Dia memaksakan bibirnya yang kering untuk berucap. Mada menghembuskan nafas berat, tidak langsung menjawab.

"Kita harus beristirahat terlebih dahulu." Jawabnya kaku. Kemudian memopong tubuh Rania dengan hati-hati menuju pondok.

Selama beberapa waktu Mada meninggalkan Rania bersama isteri pemilik pondok. Rania tidak tahu kemana laki-laki itu pergi, dia sendiri tidak sanggup bergerak terlalu banyak, hanya dapat berbaring sepanjang waktu. Sesekali dia terbantuk dan memuntahkan darah tetapi dia hanya bisa pasrah menerima takdir yang dimilikinya.

"Kau terlihat cukup parah..." ujar wanita tua itu ketika memasuki ruangan tempat Rania berbaring. Dia membawa wadah dari tempurung kelapa yang berisi bubur. "Makanlah sedikit agar mempunyai tenaga." Sambungnya.

Rania menegakkan sedikit badannya agar dapat memakan bubur yang diberikan wanita itu itu. "Nenek... kemana Mada pergi?" tanyanya di sela.

"Dia akan segera kembali... kau tidak perlu khawatir!" jawabnya sembari menyendokan bubur ke mulut Rania.

"Sepertinya kakek dan nenek sangat mengenal Mada?"

Gerakan tangan wanita tua itu berhenti ketika mendengar pertanyaan Rania. "Dia dibesarkan di perdukuhan ini, menjadi murid pertapa tua itu! Jadi tidak mungkin aku tidak mengenalnya dengan baik."

Entah mengapa raut wajah wanita tua itu berubah ketika mengatakan hal tersebut pada Rania, seolah hal yang hendak diceritakannya menyimpan kesedihan tersendiri,

"Ibunya meninggalkan dia yang masih bayi di perdukuhan ini agar selamat dari kejaran para prajurit Jayakatwang yang menyerang Tumapel, wanita itu mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Mada. Aku tidak terlalu mengetahui tentang ayahnya tapi suamiku bilang ayah Mada adalah seorang yang dekat dengan mendiang paduka Wijaya. Karena hal itulah ketika Majapahit didirikan, Mada memutuskan pergi ke sana. Tapi dia kemudian harus menerima kenyataan bahwa ayahnya telah gugur saat mengawal mendiang paduka Wijaya. Singkatnya begitulah awal dia memutuskan mengabdi di Majapahit."

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang