Majapahit, tahun 1351 M
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
(Insiden Perang Bubat)
Dyah Pitaloka Citraresmi datang menyusul ayahandanya jauh-jauh dari tanah Sunda. Dia telah mengetahui segalanya, termasuk itu tentang siapa raja Majapahit yang berniat mempersuntingnya dan tentang juga rencana orang-orang Sunda melawan Majapahit karena tak ingin menyerahkan dirinya sebagai wanita persembahan raja Majapahit. Dia tak ingin ayahanda dan para pengikutnya mengorbankan diri untuk menjaga kehormatannya, karena hal tersebutlah dia datang ke tanah Majapahit bermaksud menyerahkan diri. Namun setibanya di penginapan Bubat−tempat orang-orang Sunda menginap− sebuah tragedy mengerikan justru menimpahnya. Dia melihat orang-orang Sunda beserta ayahnya mati terbunuh dalam sebuah penyerangan.
"Apa yang telah kalian lakukan pada ayahandaku?" ujar perempuan itu dengan suara parau. Tubuhnya bergetar hebat saat melihat tubuh ayahnya tergeletak bersimpangan darah. Dia mendekati tubuh itu perlahan namun hanya beberapa langkah lututnya terasa lemah, dia pun terduduk di samping ayahnya. "Mengapa kalian membunuh ayahandaku?" lirihnya.
Rania yang berada ada di tempat yang sama pun tak sampai hati melihat kesedihan yang dirasakan Dyah Pitaloka. Tubuhnya yang semula berdiri kembali jatuh terduduk. Bagaimana pun Rania pernah merasakan kesedihan yang dirasakan Dyah Pitaloka saat ayahnya meninggal, kesedihan mendalam yang itu tidak akan pernah dilupakannya.
"Tuan putri... semua ini di luar kendali Majapahit! Paduka kami tidak pernah merencanakan hal ini akan terjadi. Dengan pernikahan ini, paduka kami justru menginginkan jalan damai dengan Sunda." Ujar Rania berusaha menenangkan.
Namun Dyah Pitaloka tak menghiraukan penjelasan Rania, dia menjerit dengan keras, suara tangisannya menyayat hati. "Bagaimana bisa aku berpikir untuk menikah dengan seorang raja yang telah membunuh ayahandaku? Bagaimana bisa aku berpikir untuk mengorbankan harga diriku untuk orang-orang tak berhati seperti kalian?" racaunya.
Rania menutup mulutnya yang terisak, tidak sanggup melihat lirihan hati putri Sunda tersebut. Dia tidak menyadari jika diam-diam Dyah Pitaloka tengah mengamati sebuah pusaka yang tergeletak tak jauh dari tubuh ayahnya. Perempuan itu kemudian mengambil pusaka itu dan menggenggamnya dengan kuat. "Aku sudah tidak memiliki apapun di dunia ini, bahkan kehormatanku pun telah pergi bersama ayahanda. Tidak ada alasan bagiku untuk hidup di dunia ini." setelah mengucapkan kata-kata lirih tersebut, seketika itu pun Dyah Pitaloka menghunuskan ujung pusaka itu ke perutnya. Dia memilih mengakhiri hidupnya setelah kematian sang ayahanda.
Rania menerjap setengah tersadar dari tidurnya yang entah berapa lama. Dia berada di sebuah ruangan di istana Majapahit, bukan di sebuah tempat yang dia harapkan yaitu rumahnya. Meski begitu indra pendengarannya perlahan-lahan dapat menangkap pembicaraan orang-orang yang berada di sekitarnya. Suara seorang pria tua, seorang wanita dan seseorang lagi yang mempunyai kewibawaan dalam suaranya.
Rania mencoba mengingat-ingat semua peristiwa yang telah terjadi, ingatan itu membawanya pada insiden mengerikan di penginapan Bubat dimana seorang putri Sunda mengakhiri hidupnya tepat di hadapan Rania. Dia ingin kembali menangis ketika mengingat semua itu karena tak dapat menolong Dyah Pitaloka.
"Dia mengalami luka dalam, paduka! Organ pernapasan di dalam tubuahnya telah terluka sejak lama dan kini semakin parah. Barangkali dia pernah tenggelam sebelum terluka dalam peristiwa ini!" Ujar seorang laki-laki yang Rania kenali dari suaranya merupakan tabib utama di Istana.
"Yah... saat masih muda, dia pernah dua kali tenggelam." Kali ini suara perempuan menyahuti. Rania hanya dapat melihat dengan samar-samar wajah orang-orang di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...