Bab 30

1.6K 259 9
                                    


Majapahit, tahun 1334 M

Masa pemerintahan Tribuwana Wijayatunggaldewi

(Tahun ke-14)

Peristiwa Tanca dan Sadeng itu berselat tiga tahun, pada tahun saka: Tindakan Unsur Lihat Daging, atau: 1256. Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu menjadi bekel araman, Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu mendapat pangkat, Lembu Peteng menjadi Tumenggung.

(Pararaton, pupuh 9)

Setelah hampir empat tahun lamanya, pemberontakan Sadeng dan Keta pun akhirnya berhasil dihancurkan. Para perwira perang yang pergi ke Sadeng dan Keta kembali dengan selamat, begitu pula Mada. Pemberontakan di Sadeng dipimpin langsung oleh Tribuwana Tunggaldewi, tetapi dalam hal ini Mada-lah yang berjasa menumpas pemberontakan Keta. Karena hal tersebut Mada pun dilantik menjadi Patih besar di Majapahit. Meski belum berpangkat Amangkubumi namun secara harfian dialah yang bertugas menggantikan Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah dalam beberapa urusan.

Dalam pelantikannya tersebut Mada pertama kali mengutarakan niatnya untuk melakukan ekpedisi memperluas daerah Majapahit dengan menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam kekuasaan Wilwaltika. Namun Arya Tadah menganggap hal tersebut masih terlalu dini, banyak hal yang lebih penting yang harus dilakukan di Majapahit seperti mengstabilkan keamanan di perbatasan dan mencega pemberontakan di berbagai kerajaan bawahan. Sehingga Mada pun mencoba berbesar hari menerima keputusan Arya Tadah tersebut sembari menunggu saat yang tepat.

Gusti ratu Tribuwana memberitahu Rania perihal ekspedisi nusantara yang ingin dirintis oleh Patih Mada. Dan Rania dengan cepat dapat menangkap tujuan dibalik rencana Mada tersebut. Melihat keraguan di wajah Tribuwana, dia pun menjelaskan pada Tribuwana jika rencana politik Mada tersebut berguna untuk Majapahit di kemudian hari.

Rania berniat menemui Mada setelah upacara pelantikan tersebut usai. Mendengar bahwa Mada kembali dengan selamat serta menerima kedudukan sebagai Patih besar di Majapahit membuatnya begitu senang. Dia telah begitu lama tak berjumpa dengan Mada, hampir empat tahun lamanya dan selama itu perasaannya terasa tak menentu.

Kenyataannya menunggu seseorang kembali dari perang tidaklah mudah. Tidak ada informasi yang pasti bahkan tak ada surat-menyurat selama itu. Tetapi Rania pun juga sadar jika dia dan Mada hidup dalam dimensi waktu yang berbeda, dia masih seseorang dari masa depan sementara Mada seseorang dalam sejarah. Karena hal tersebutlah dia belajar untuk menata perasaannya sedikit demi sedikit selama tak bertemu laki-laki itu.

Mada tengah berada di pelataran keraton bersama Arya Tadah. Dia mengantar laki-laki yang masih menjabat sebagai Mahapatih mangkubumi tersebut kembali ke tandu-nya sebagai bentuk kehormatan. Di sela perjalanan menuju gapura tersebut, keduanya melakukan pembicaraan ringan diluar masalah politik untuk sekedar mencairkan suasana.

"Oh... ya Mada! Ayu Sekarsari memintaku menyampaikan salamnya untukmu! Anak itu sepertinya mengagumimu sejak kau kembali dari Sadeng dan menjadi perbincangan."

"Apakah Ayu Sekarsari, putri bungsu Tuan Mahapatih?" Tanya Mada sedikit terkejut. Namun dia dapat memahami kemana arah pembicaraan tersebut.

"Ya... maklumi saja! Dia sudah cukup dewasa sehingga dapat melihat laki-laki baik yang masih melajang."

"Tuan Mahapatih berlebihan!" ungkapan kerendahan hati Mada. Namun Arya Tadah tidak memahami jika laki-laki itu merasa tak nyaman dengan pembicaraan tersebut. Apalagi Arya Tadah sendiri secara terang-terangan mengatakan ketertarikan puterinya pada Mada.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang