Majapahit, 1319 M
Desa Badander (Kediaman kepala desa)
(Hari ke-37)
Aku terbangun di tengah malam dan merasakan mimpiku yang tak pernah berakhir. Mimpi yang seolah begitu nyata hingga tak dapat membuatku bangkit. Akan tetapi aku tak tahu apakah itu mimpi buruk atau justru mimpi indah. Air mata yang tiba-tiba menetes di pipiku hanya meninggalkan rasa lega, bahkan penyesalan itu tak pernah ada.
Pada awalnya tak ada yang mengetahui kemana laki-laki itu hendak membawa mereka. Dia merahasiakan tempat yang ditujunya. Dan seluruh rombongan itu pun hanya berbekal kepercayaan pada sang bekel. Mereka melalui dua malam, melintasi hutan sebelum sampai di sebuah desa yang awalnya hanya sebagai perlintasan.
"Aku rasa paduka tidak sanggup untuk melakukan perjalanan lagi, dia dalam kondisi lemahnya." Ujar Gayatri Rajaptni pada laki-laki itu di sebuah serambi kediaman kepala desa Bedander. Mereka tampak tengah berdiskusi disana. "Apakah menurutmu desa ini belum cukup aman dari prajurit Ra Kuti?"
Laki-laki itu pun hanya menundukan kepala. "Bukan seperti itu gusti, hanya saja semua ini di luar perencanaan hamba. Sehingga hamba tidak bisa memastikannya."
"Pangaksami gusti! Bolehkah hamba berbicara?"
"Tentu Ki Among, silahkan!"
Kali ini kepala desa Badander itu menyela, "Jika memang kami diberi kepercayaan maka kami akan melindungi paduka dan gusti ratu di tempat ini. Kami mungkin tidak memiliki banyak prajurit, akan tetapi penduduk di desa ini adalah orang-orang yang akan selalu memihak Majapahit dan paduka." Ujarnya meyakinkan.
Gayatri Rajaptni pun memandang laki-laki itu dan meminta pendapatnya. "Bagaimana menurutmu bekel Mada?"
Orang yang dimaksud pun tampak tengah menimang-nimangnya, "Sendiko dawuh gusti! Hamba akan mencoba mempercayakan semua pada Ki Among."
Sementara Rania yang tengah bersama kedua putri Majapahit itu pun tiba-tiba dihampiri Gayatri Rajaptni. Dia tampak menyadari seseorang asing yang berada diantara mereka ketika baru sampai di tempat itu. Dalam sorot matanya terlihat sebuah pertanyaan yang akhirnya justru urung untuk diucapkannya. "Bisakah kau membantuku merawat paduka?" pintanya. Rania pun terkejut setengah mati. Dia tidak pernah membayangkan akan menerima permintaan itu dari Gayatri. "Tidak ada dayang selain kau yang diikutsertakan, sementara paduka tidak dalam kondisi yang baiknya." Jelasnya lagi.
Sudah tertulis jelas jika dalam sistem monarki, perintah seorang keluarga kerajaan tak dapat ditolak. Bahkan dalam hal apapun seseorang yang menolak perintah akan dicap sebagai penghianat, hingga Rania pun tak dapat berkelit menolak permintaan Gayatri secara langsung itu. Dia hanya bisa menunduk mengiyakan permintaan itu.
Rania dan Gayatri Rajapatni kemudian memasuki sebuah ruangan di kediaman kepala desa yang dikhususkan untuk paduka Jayanagara. Barang-barang mereka telah di pindahkan dari kereta, sementara kedua putri Majapahit, Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat di tempatkan di ruangan yang lain.
"Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, akan tetapi untuk kali ini aku benar-benar mengandalkanmu!" ujar wanita itu pada Rania yang berjalan di belakangnya. Dia tak terlalu menyadari jika tubuh Rania begitu ragu-ragu mengikutinya. Maklum saja, karena Rania bukanlah dayang. Dia tidak tahu apakah yang harus dilakukan oleh seorang dayang.
Di ruangan yang tak terlalu besar itu pun telah duduk seorang laki-laki bermata belo yang tak lain adalah Jayanagara. Dia memandang Gayatri dan Rania yang tengah memasuki ruangannya dengan tatapan tak peduli. Penyakit yang dideritanya tampaknya cukup serius hingga membuat mereka harus menghentikan perjalanan di desa itu.
"Bagaimana keadaanmu, paduka?" Tanya Gayatri tetap menjunjung kehormatannya. "Ibunda... aku tidak sanggup lagi melakukan perjalanan. Apakah ibunda tidak bisa memanggil tabib untukku?" jawabnya dengan suara setengah menggerang karena menahan sakit. Gayatri kembali melangkah beberapa untuk menghampirinya. "Maafkan aku paduka, aku tidak bisa memanggil tabib manapun demi keselamatan kita."
Laki-laki itu pun tampak kembali menggerang. Dia memegangi bagian dada sebelah atas dan begitu kesakitan. Tak lama kemudian datang Nyai Kumara, istri kepala desa dengan beberapa guci berisi ramuan herbal yang dibuatnya sendiri. "Maafkan hambah gusti ratu, hanya obat-obatan ini yang bisa hamba berikan." selanya.
Dia kemudian meletakan beberapa periuk dan kendi itu di atas nangkas. Gayatri mengikuti langkahnya dan menggenggam tangan wanita tua itu. "Terima kasih Nyai! Itu lebih dari cukup..."
Setelahnya dia pun menatap Rania dan mengisyaratkan untuk segera melakukan sesuatu. Tetapi Rania hanya mati di tempat, dia tak memiliki pengetahuan apapun tentang memperlakukan seorang raja terutama dalam kondisinya yang tengah sakit. Dia mungkin bisa saja memperlakukannya seperti orang biasa, tetapi Rania takut jika hal itu tak sesuai dengan perlakuaan kerajaan.
"Biar hamba ikut membantu yang mulia!" Nyai itu mengajukan diri untuk membantu. Dia tampak memahami langkah Rania yang lamban.
Dengan cekatan dia pun segera meminta ijin Jayanagara untuk mengambil tindakan padanya. Rania hanya mengikuti wanita tua itu di belakang. "Pertama-tama, kita harus membersihkan luka paduka jadi bantulah paduka membuka pakaiannya."
"Ya?" sahut Rania yang tampak sedikit terkejut. Dia berpikiran lain tentang perintah tersebut. Nyai Kumara pun menatapnya heran, "Mengapa kau begitu terkejut?"
"Baik... aku akan melakukannya!"
Ternyata yang dimaksud Nyai Kumara hanyalah membuka jubah atas Jayanagara, bukan seperti yang dipikirkan Rania. Dengan hati-hati dia pun berusaha melakukannya. Jantungnya berdebar-debar karena untuk pertama kalinya dapat sedekat itu dengan Jayanagara. Seseorang yang pernah hampir ingin membunuhnya.
"Sekarang basuhlah tubuh paduka dengan kain ini untuk membersihkan kotoran di tubuhnya sebelum aku mengoleskan ramuan ini!" perintah Nyai Kumara kesekiankalinya.
Jayanagara masih terduduk di pinggiran dipan. Dia menegakkan tubuhnya dan tetap mempertahankan kewibawaannya meski sesekali meringis kesakitan. Saat Rania membuka jubah atasannya, ada sebuah benjolan aneh yang mirip bisul di dada bagian atas. Namun Rania menduga luka itu bukanlah bisul biasa. Lebih terlihat seperti salah satu kelenjar yang membengkak dan infeksi, mungkin jika dia pernah belajar ilmu medis, dia dapat mendiaknosanya dengan tepat.
"Kau tidak tampak seperti seorang dayang?" bisik nyai Kumara diselanya. Rania tak menyahuti, hanya setengah menunduk untuk menyembunyikan ekspresinya. Dia masih berusaha dengan hati-hati membasuhkan kain basah itu disekitar luka Jayanagara. Kulit tubuh raja Majapahit itu terasa sedikit hangat, seperti demam. Dia pun secara keseluruhan masih terlalu muda untuk menjadi raja, bahkan kondisi tubuhnya pun lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki lain seusianya.
Tanpa sadar ujung jari Rania sedikit menyentuh benjolan itu sehingga membuat Jayanagara meringis dan membuka matanya. "Apa yang kau lakukan?" bisiknya parau. Rania sontak menjatuhkan kain basah itu di atas lantai, dia lebih terkejut dari Jayanagara.
Jayanagara tidak memperhatikan siapa saja dalam rombongannya selain para prajurit yang mengawalnya sehingga saat mendapati perempuan yang tempo hari hampir dibunuhnya itu, dia pun menjadi sangat waspada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...