Bab 17

1.8K 240 0
                                    


Majapahit, 1319 M

Desa Badander (Kediaman kepala desa)

(Hari ke-44)

"Apa yang terjadi?"

"Tuan, dia berusaha kembali ke Majapahit" sahut yang lain.

"Aku hanya ingin melihat keluargaku, apakah mereka selamat atau tidak dan setelah itu aku akan kembali."

"Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat ini atas perintahku. Baik itu kau ataupun prajurit-prajurit yang lain!" perintahnya tegas.

Namun pria dihadapannya itu agaknya tak mau menurut. "Memangnya siapa kau berani menghalangiku bertemu keluargaku, kau hanya seorang bekel! Kau tak mempunyai kekuasaan apapun padaku.'' Lalu tiba-tiba saja tanpa peringatan, laki-laki itu mengeluarkan pusaka-nya dan menusukannya ke bagian uluh hati pria di hadapannya. Dia pun jatuh dan tersungkur di atas tanah.

"Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat ini diluar perintahku! Mengerti!" peringatanya tegas.

Rania selalu terbangun dengan ketakutan sejak menyaksikan pembunuhan itu. Kejadian itu bukan mimpi, melainkan sesuatu yang nyata. Salah satu pengawal yang ikut menyelamatkan Jayanagara mati dibunuh laki-laki itu hanya karena bersikeras menemui keluarganya di Majapahit. Ada sisi lain dari laki-laki itu yang terasa menakutkan bagi Rania. Dan dunia yang sedang ditempatinya seolah tidak mengenal pengampunan.

"Apakah yang sedang kalian rencanakan?" suara itu seketika membawa kesadaran Rania kembali ke dunia nyata. Dia memandang sekeliling ruangan persegi itu dan hanya ada dirinya dan Jayanagara. Nyai Kumara rupanya telah meninggalkannya saat dia tengah melamun tadi. Sisa ramuan dalam periuk pun hanya tinggal separuh.

"Aku yakin kalian tengah menyusun rencana untuk membuatku mati di tempat ini bukan?" racaunya kembali yang membuat Rania harus beberapa kali menerjap. Mereka bertatapan tajam, Jayanagara bahkan dengan tiba-tiba menahan pergelangan tangannya dengan kasar.

"Katakan apa yang tengah mereka rencanakan padaku?" tanyanya sontak membuat tubuh Rania membeku. Dia membutuhkan waktu untuk mencerna semua pertanyaan Jayanagara yang lebih terdengar seperti racauan itu.

Selang beberapa menit Jayanagara akhirnya luluh dan kembali melepaskan pergelangan tangan Rania. Namun perempuan itu masih merasakan bekas cengkraman yang membuat pergelangan tangannya memerah. Jayanagara mendesa sembari memijat pelipisnya yang didera rasa pusing. Untuk sesaat, dia kehilangan kontrol pada dirinya sendiri. Sementara Rania berusaha mengabaikannya. Dia kembali mengoleskan ramuan itu ke tubuh Jayanagara hingga benar-benar habis.

"Hamba... sudah selesai melakukan tugas hambah, paduka! Hamba mohon pergi." ujar Rania sembari membereskan beberapa periuk di atas dipan.

Namun ucapan Jayanagara kembali menghentikannya, "Tunggu!"

Dia menahan tubuh Rania yang hendak beranjak. Jayanagara memperbaiki kain yang dililitkan di tubuhnya dan kemudian beranjak berdiri. Dia melangkah menghampiri tubuh Rania yang tengah membeku.

"Siapa kau sebenarnya?" pertanyaan yang seketika terasa menghantam jantung Rania. "Bukankah kau seseorang yang diperintah Gitarja untuk memata-mataiku? Bagaimana kau bisa berada di sini? Di hadapanku dan berusaha menyembuhkanku?" Tuduhnya.

"Apakah kau diperintahkan olehnya untuk membunuhku perlahan demi perlahan di tempat ini? Di penjara yang kalian sebut sebagai persembunyian ini?"

Rania tak menjawab. Jika dia berada di masa depan, dia pasti sudah menampar wajah laki-laki seperti Jayanagara. Tetapi dia harus benar-benar menahan diri. Dia tidak boleh mati konyol hanya karena menampar seorang raja.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang