Bab 25

1.6K 216 7
                                    


Majapahit, 1328 M / Tahun Saka: 1250

Kolam Segaran

(Tahun ke-9)

Di sebuah bilik dia melihat Tanca sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Dia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena posisinya yang membelakanginya. Tetapi dia dapat mendengar pembicaraan itu samar-samar. "Aku tahu kau memiliki hubungan dengan Dayang itu. Apakah kau akan membiarkannya dimiliki oleh seseorang yang buruk seperti Jayanegara?"

"Kau tidak mempunyai urusan dengan perasaanku. Lagipula hanya laki-laki lemah yang dapat diperbudak oleh perasaannya."

"Kau berkata seolah kau laki-laki yang tidak membutuhkan cinta. Semua laki-laki memiliki perempuan yang dicintainya! Dan hatinya akan hancur jika wanita yang dicintainya terluka."

"Katakan saja apa yang kau inginkan?"

"Aku ingin kau membantuku membalas sakit hatiku pada Jayanegara."

"Atas dasar apa aku harus membantumu mengkhianati paduka?"

"Atas dasar sesama laki-laki yang terluka karena wanita yang dicintainya disakiti oleh raja tak bermoral itu. Kau harus tahu bahwa Jayanegara telah menggoda isteriku. Dia menghancurkan wanita yang aku cintai. Dan kau juga serupa, kehilangan wanita yang kau cintai. Apakah kau juga akan membiarkan perempuan yang kau cintai jatuh pada seorang raja yang seperti itu?"

"Aku tidak peduli! Aku bukan laki-laki yang diperbudak oleh rasa cinta. Aku lebih memikirkan negaraku dibandingkan perasaanku."

"Ternyata kau tak lebih dari laki-laki bodoh! Kau membiarkan raja tak bermoral itu memimpin negerimu. Kau tidak akan mengerti apa yang saudaraku Ra Kuti perjuangkan."

Hari itu angin kering berhembus kencang di langit Majapahit, beberapa atap rumah penduduk terombang-ambing. Pohon Brahmastana di pinggiran pendopo roboh dan menghalangi jalan menuju istana, beberapa prajurit bahu-membahu menyingkirkannya. Di sebelah selatan istana para biksu menggelar suatu upacara keagamaan untuk menenangkan jagad alam. Pada malam hari kabut juga sering datang, kemudian disusul hujan deras beserta guntur. Banyak yang bertanya tentang pertanda apakah yang tengah diberikan Dewata. Mereka khawatir jika datangnya badai yang terlalu sering itu membawa pertanda buruk bagi Majapahit.

Tetapi Rania dengan selendang yang berkibar diterpah angin sedang berdiri di tepian kolam Segara hari itu. Menantang angin agar suara-suara yang berada di kepalanya ikut memudar. Terlalu banyak pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban, ditambah lagi tentang pembicaraannya dengan Dyah Gitarja. Dia tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Semua dapat berubah dan dia yakin keputusan tersebut masih dapat diubahnya jika dia bertemu dengan Jayanagara secara langsung. Hanya saja setelah dia memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan Jayanagara, dia bermimpi tentang hal yang aneh tadi malam. Mimpi yang terasa begitu nyata dengan melibatkan Jayanagara di dalamnya.

Suara langkah kaki Mada terbawa angin hingga ke telinga Rania. Pelan, tegas dan tanpa keraguan−seolah bumi Majaphit selalu berpihak padanya. Seperti suatu keharusan setiap Mada kembali ke Majapahit, mereka bertemu di tepian kolam Segara. Tidak ada janji, hanya saja Rania sering menggunakan berbagai alasan perihal kondisi kerajaan untuk bertemu laki-laki itu. Dia tahu bahwa perasaannya pada laki-laki itu seolah mengambang, tidak tahu kemana arahnya berjalan. Laki-laki itu terlalu menutup dirinya rapat-rapat, hanya sesekali memperlihatkannya sehingga membuat Rania berharap padanya.

"Aku tahu kau pasti datang! Aku menunggumu sejak tadi," Rania yang telah lebih dahulu menyadari kedatangan Mada pun bergegas menyambutnya. Hampir berbulan-bulan dia tak bertemu laki-laki itu, sehingga terlihat wajar jika dia memendam rasa rindu.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang