Majapahit, 1319 M
Masa pemerintahan Jayanegara
(Hari ke-10)
Setiap masa ada keruntuhannya, bahkan untuk sebuah kerajaan sebesar itu. Sisa-sisanya terkubur oleh tanah yang hancur karena bencana. Barangkali yang kuasa tak melimpahkan bencana pada negeri yang tak berdosa, dia hanya memberi pelajaran pada negeri yang tak patut menghuni jagad raya. Negeri yang telah kehilangan saudaranya hanya karena kerakusan pada kekuasaan. Majapahit tak lebih seperti kota yang hilang dan tak pernah ditemukan. Majapahit yang perkasa itu akan hancur suatu hari nanti.
Langit biru dengan bangunan-bangunan candi yang menjulang tinggi, gapura-gapura di setiap pintu masuknya dan rumah-rumah yang bertiangkan kayu-kayu berukir indah. Sementara yang mengelilingi kerajaan adalah tembok batu bata merah dengan beberapa menara pengawas serta sebuah gerbang besi yang kokoh sebagai pintu masuknya. Di pagi dan sore hari, suara ketukan anglo penumbuk padi selalu terdengar sili berganti dari luar istana, bersautan dengan para sapi penarik cikar yang menyapa penduduk desa. Para abdi berlalu-lalang menggerakan roda kerajaan sedangkan para prajurit di lapangan berlatih panah dan tombak.
Sepanjang hari Rania sering memperhatikan pemandangan-pemandangan itu dari bingkai jendela. Dia tak penah jenuh memperhatikannya bahkan hingga waktu berjalan lebih cepat dari dugaannya. Rania tak pernah membayangkan dapat melihat pemandangan itu dengan mata kepalanya. Selama hampir sepuluh tahun, selama penelitiannya tentang kerajaan itu, dia tak pernah mendapat gambaran kerajaan Majapahit lebih detail dari yang tengah disaksikannya.
Betapa dia mengagumi Majapahit. Pusat apartemen dengan lingkungan buatan yang indah di ibukota pun masih kalah dari sistem pengaturan kota di kerajaan itu. Setiap pemukimannya begitu rapi, jalur transportasi darat dan perairannya juga teratur. Ada beberapa kapal besar yang berlabu di tepi sungai Brantas dan semua merupakan milik pedagang-pedangang dari luar Majapahit. Barang-barang yang keluar dan masuk ke Majapahit pun dapat dikendalikan dengan baik melalui pelabuhan tersebut.
Akan tetapi pikiran Rania tetap tak dapat merasa bahagia. Meskipun impiannya pada penelitian itu seolah terkabul tetapi hatinya selalu merasakan ketidaksempurnaan. Seolah sebuah potongan puzzle yang baru saja melengkapi lukisan dalam benaknya itu tidak benar-benar berasal dari lukisan yang dimilikinya. Potongan puzzle yang mempunyai bentuk serupa dan gambar yang sama namun milik lukisan yang berbeda.
Sore itu ketika senja hampir menyisih, dia duduk di pinggiran kolam, memandang pantulan langit dari permukaan telaga tempatnya ditemukan. Dia tidak menemukan sebuah jawaban mengapa dia dapat melakukan pejalanan waktu. Bahkan Rania hanya mendapat pertanyaan baru tentang apa yang disebut pintu keluar dan dimana letak keberadaannya yang dapat menyelamatkan dirinya.
"Apa yang sedang kau lakukan di tempat ini? Hari sudah cukup larut." Ujar sosok laki-laki yang membawa obor itu. Dia muncul dari kegelapan dan melangkah menghampiri Rania yang tengah duduk di pinggiran kolam sejak sore.
"Apa hanya karena kau tak berasal dari Majapahit, kau bisa melanggar aturan di kerajaan ini?" sindirnya. Rania pun mulai dapat mengenali sosoknya di tengah kegelapan.
"Aku tidak pernah bermaksud seperti itu..." jawabnya setengah parau. Laki-laki itu telah sampai di hadapannya. Laki-laki bertubuh besar dengan rahang keras dan tatapan dingin. Setidaknya begitulah penilaian Rania meskipun dia telah dua kali diselamatkan olehnya.
"Tidakkah kau memahami bahwa musuh selalu menyelinap di malam hari? Prajurit lain tidak segan untuk menangkapmu jika mendapati sosok asing sepertimu di tempat ini." Dan Rania pun akhirnya dapat memahami maksud perkataan laki-laki itu.
"Kembalilah! Sebelum ada yang melihatmu di tempat ini..." Ujar laki-laki itu sembari membalikkan badan. Rania pikir dia tak benar-benar sedingin yang dia lihat, laki-laki itu setidaknya hanya datang untuk memperingatkannya.
"Mengapa? Mengapa kau tidak memberitahu semua orang tentang diriku yang sebenarnya?" sahutnya menghentikan langkah laki-laki itu. Dia pun kembali berbalik dan menatap Rania dari cahaya yang samar-samar.
"Apakah kau berpikir orang lain akan percaya dengan ucapanmu? Seseorang yang datang dari masa depan, mereka akan menganggapmu tidak waras jika aku mengatakannya pada mereka," Jawaban laki-laki itu terdengar sarkartis, seolah dia tak menyukai Rania.
"Lalu mengapa kau percaya kepadaku?"
Untuk kedua kalinya perkataan Rania membuat laki-laki itu terdiam.
"Apakah aku pernah mengatakan bahwa aku mempercayaimu?" pertanyaan yang membuat posisi Rania berbalik. "Tidak..." gumam perempuan itu.
"Cepatlah berdiri dan tinggalkan tempat itu!" gertak laki-laki itu yang seolah mengisyaratkan untuk mengikutinya. Dengan cepat Rania pun menegakkan tubuhnya. Dia setengah berlari mengejar laki-laki itu untuk menyamai langkahnya. Tetapi Rania tidak memiliki langkah selebar prajurit Majapahit itu.
Bulan setengah tersenyum di langit malam, bintang selatan berkelap-kelip tanpa penghalang. Salip penunjuk arah menuntun Rania mengikuti laki-laki itu ke arah timur menuju komplek keraton dimana terdapat pavilium kediaman Gitarja dan anggota kerajaan lainnya. Meski mempunyai banyak pertanyaan di benaknya, Rania memilih diam di sepanjang perjalanan. Sama hal-nya dengan laki-laki itu.
Setibanya di area kediaman Dyah Gitarja, laki-laki itu pun menghentikan langkahnya. Rania dengan begitu cerobohnya hampir menabrak punggung laki-laki itu karena melamun. Laki-laki itu hanya mengantarnya hingga pelataran sehingga Rania yang paham dan segera melangkah pergi melewati tubuh laki-laki itu.
"Semua yang kau katakan itu... apa semua itu adalah kebenaran?"
"Apa?" Tak beberapa jauh kemudian, langkahnya kembali terhenti ketika mendengar pertanyaan laki-laki itu.
"Apakah kau benar-benar berasal dari masa depan? Ratusan tahun setelah keruntuhan Majapahit?" tanyanya kembali.Rania terdiam cukup lama. Dia tidak dapat memutuskan apakah harus menjawab pertanyaan laki-laki itu atau tidak.
"Mengapa kau tiba-tiba menanyakannya?"Laki-laki itu tak kunjung menjawab. Namun sorotan matanya terus menunggu jawaban Rania.
"Aku hanya sekedar ingin tahu, bukankah kau menyinggung tentang keruntuhan Majapahit?"
"Tetapi aku tidak berpikir untuk mengatakannya padamu. Aku hanya takut itu akan mengubah sebuah sejarah." Laki-laki itu tampak setengah tertunduk. Dia tidak pernah menunjukan ekspresi apapun di wajahnya meskipun kekecewaan itu tampak dirasakannya.
"Tidak apa jika kau memang tidak ingin mengatakannya padaku! Akan tetapi, seorang bekel rendah sepertiku apakah terhitung oleh sejarah hingga mampu mengubahnya? Aku hanya tidak ingin apa yang kau katakan itu benar-benar menjadi takdir untuk Majapahit. " timpalnya.
Rania menatap nanar punggung laki-laki itu. Entah mengapa dia merasa sosok yang melegenda dalam sejarah itu sangat berbeda dari apa yang selalu diceritakan. Sosok yang begitu kuat, perkasa dan bahkan memiliki kebijaksanaan yang tinggi tetapi entah mengapa sosok yang ada dihadapannya tidak lain hanya seorang yang dingin dan tak memiliki rasa kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Bekel: Kepala pasukan di Jaman kerajaan Majapahit
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...