Bab 14

1.9K 281 2
                                    


Majapahit, 1319 M

Awal pemberontakan Ra Kuti

(Hari ke-35)

"Aku juga seorang wanita. Apakah kau juga mengerti itu?

Kau yang tampak tak begitu memahami namun dapat mengusik perasaan yang tersembunyi.

Apakah kau juga tak mengerti kemana arah benakku berhembus?" Ujar wanita itu sembari memandangi manik-manik mata laki-laki dihadapannya.

"Aku tak begitu memahami wanita. Akan tetapi aku akan berusaha mempercayai perkataanmu itu." timpalnya sebelum berpaling dan meninggalkan wanita itu.

"Kau masih tak mempercayaiku bahkan hingga detik ini."

Malam yang kelabu, antara udara panas dan sejuk yang menyatu. Awan membayang-bayangi bulan dalam keheningan menggebu. Rasa gelisah hanyut di dalam dadanya, menderah seperti lautan yang menghantam karang. Ini malam yang kesekian kalinya di bumi asing, perasaan gelisanya bukan karena merindukan tempat asalnya. Ada sesuatu yang lain yang lebih mengganggu dan menyiksa dari pada hal itu. "Hapsari..." panggil gusti putri itu. Dia masih belum terbiasa dengan panggilan itu sehingga tak segera menyahutinya.

"Aku lihat kau begitu aneh beberapa hari ini. Apakah kau sudah mengingat sesuatu?" tanyanya. Rania pun hanya tersenyum kecut, merasa bersalah karena telah beberapa kali membohongi Dyah Gitarja.

Tanpa berkata apapun, Rania pun kembali menghampiri Gitarja. Dia membuka beberapa jendela di ruangan itu dan mematikan obor di dinding dekatnya. Gitarja pun semakin curiga dengan sikap perempuan itu. Terlebih di hari sebelumnya, dia bahkan mengemasi beberapa barang miliknya dalam sebuah kain yang diikat seperti hendak berpergian. Dan malam itu Rania juga tampak begitu sering melihat keluar jendela.

"Kenapa kau justru membuka jendela? Hari sudah sangat larut!" Tanya putri itu kesekiankalinya. Kali ini Rania pun tak dapat menghindari pertanyaan itu. Ditengoknya sekali lagi keluar jendela dan belum ada tanda-tanda disana.

"Sebenarnya... akan terjadi sesuatu yang−"

Dyah Gitarja tampak memusatkan perhatiannya pada Rania. Namun perempuan itu seolah kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Dalam hati Gitarja dia memang sudah menebak jika Rania menyembunyikan sesuatu dan hal itu pula yang membuatnya mengikuti saran Rania untuk tidak tidur malam itu.

Akan tetapi pembicaraan keduanya tak lama kemudian terputus saat seseorang mengetuk jendela ruangan itu. Seorang laki-laki dengan topi anyaman bambu yang tak terlalu terlihat wajahnya. Dia mengisyaratkan pada Rania untuk mengikutinya.

"Gusti ayu sepertinya kita tidak memiliki banyak waktu. Kita harus meninggalkan tempat ini!" ujar Rania membuat Dyah Gitarja kebingungan. "Memangnya apa yang akan terjadi? Kau belum menjelaskannya padaku!"

"Hamba tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskannya. Setelah sampai di tempat yang aman hamba akan menjelaskannya." ujar Rania sembari membawa barang-barang Gitarja dan mengajaknya meninggalkan tempat itu.

"Baiklah... aku akan mempercayaimu kali ini! Aku akan mempercayakan keselamatan kedua putri itu kepadamu..." ujarnya tanpa berbalik.

"Aku akan membawa seseorang untuk menuntun kalian... dan setelah itu kita akan bertemu di luar keraton, jadi pastikan kau bisa melakukan penyamaran dengan baik!"

Rania mengingat percakapannya tempo hari dengan laki-laki itu. Dia pun berusaha dengan baik untuk membantu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat meninggalkan keraton. Seorang prajurit sempat memergoki mereka di persimpangan jalan. Akan tetapi dengan bantuan laki-laki yang menuntunnya, mereka akhirnya dapat mengelabui prajurit penjaga tersebut.

Sementara disisi lain, laki-laki yang bersama empat belas prajurit lainnya itu berhasil membawa kabur Jayanagara yang tengah tertidur. Mereka melakukannya dengan rapi hingga tak seorang pun dayang istana yang memergokinya. Beberapa diantaranya juga berhasil membawa Gayatri Rajaptni meninggalkan komplek keraton Majapahit. Mereka membawanya tanpa paksaan karena Gayatri Rajaptni pun telah mengetahui siasat tersebut.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kita harus meninggalkan Majapahit?" Tanya Gitarja kembali. Dia tampak tak lega sebelum mendengar penjelasan Rania. Sementara Dyah Wiyat di sampingnya tampak setengah tertidur. Kereta itu telah berjalan beberapa meter meninggalkan ibukota Majapait.

"Hamba memang tidak terlalu yakin gusti ayu, akan tetapi malam ini kemungkinan besar akan terjadi penyerangan di Majapahit?"

"Penyerangan? Lalu kenapa kita harus pergi? Bukankah Majapahit mempunyai begitu banyak pasukan yang siap bertempur? Mengapa kita harus pergi?" Dyah Gitarja membrondongi Rania dengan banyak pertanyaan hingga dia kesulitan untuk menjelaskan pada wanita itu.

Tak lama kemudian kereta itu pun berhenti di sebuah persimpangan. Tempat itu merupakan sebuah kawasan di luar ibukota Majapahit dan dekat dengan perbatasan kadipaten. Terdengar suara keributan di luar dan hal itu tak lain berasal dari rombongan Jayanagara yang telah tiba disana terlebih dahulu.

"Kenapa aku harus lari dari istanaku dan menyembunyikan diri seperti pengecut? Aku bisa mengatasi para pemberontak itu!" teriaknya pada beberapa prajurit termasuk laki-laki itu. Ia tampaknya menolak untuk meninggalkan keraton Majapahit. Rania dan Dyah Gitarja pun segera turun dari kereta mereka. Dia melihat keributan itu terjadi.

"Paduka... penyerangan ini adalah sebuah kudeta besar yang dilakukan untuk menggulingkan paduka." Jelas laki-laki itu sembari berlutut. Tapi Jayanagara memotong,

"Kau pikir aku tak mampu melawan mereka? Apa kau pikir aku lemah? Aku yang membunuh Nambi dengan tanganku sendiri, mana mungkin aku tidak mampu membunuh mereka."

"Paduka!" Gayatri Rajaptni muncul diantara mereka. Dia turun dari keretanya. "Seorang raja harusnya bersikap rendah hati dan bijaksana, bukan justru menyombongkan dirinya! Dan ketahuilah paduka, apa yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk melindungi paduk..." ujarnya menenangkan suasana itu.

"Tapi ibunda... aku tidak ingin bertindak seperti pengecut dengan lari dan bersembunyi. Aku akan meminta bantuan paman Mahapatih Hallayuda untuk mengatasi mereka..." sahut Jayanagara bersikukuh. Namun hal itu dengan cepat dihentikan oleh Gayatri.

"Apakah kau yakin mahapatih Hallayuda berada di pihakmu? Untuk saat ini kita tidak tahu siapa yang dapat kita percaya anakku. Jadi lebih baik kita mencari tempat yang lebih aman. Aku juga tak percaya jika mereka mengkhianati kita."

Serbuan para prajurit Ra Kuti rupanya masih terdengar dari tempat itu. Kegaduhan yang terjadi di ibukota, suara teriakan serta jeritan kesakitan begitu terdengar keras. Jayanagara yang mendengarnya pun terkejut, dia tanpa sadar memundurkan langkahnya. Dia dapat mengamati dari jauh bagaimana keganasan prajurit-prajurit Ra kuti itu membunuh para pejabat yang bahkan masih terlelap. Bahkan kobaran api tampak menghanguskan beberapa rumah penduduk. Ditambah lagi ratusan prajurit yang dibunuhnya, darah mereka seolah tumpah membanjiri jalanan Majapahit.

"Sekarang kau mengerti bukan... anakku?" ujar Gayatri Rajaptni menatap mata Jayanagara.

"Ibunda benar! Kita harus segera pergi!" Sahutnya dengan bibir bergetar. Dia memundurkan langkahnya hingga tersandung batu dan hampir terjatuh. Prajurit yang mengawalnya tampaknya pun siap siaga memopognya.

"Kuperintahkan kalian untuk membuktikan kesetiaan kalian!" ujarnya lagi kali ini sembari menatap laki-laki itu. Tetapi laki-laki itu tak menjawab melainkan hanya menunduk patuh.

Sementara Rania yang berdiri tak jauh pun hanya dapat membeku. Gitarja telah lebih dahulu menaiki keretanya kembali. Tetapi Rania masih tampak enggah beranjak. Diamatinya Jayanagara yang kembali menaiki kereta kudanya lalu beralih pada laki-laki yang mulai beranjak berdiri. Tak lama kemudian laki-laki itu pun juga menoleh pada Rania. Dia menyadari seseorang yang tengah memandangnya dari jauh. Namun dia kembali memasang wajah datarnya ketika melangkah menghampiri Rania.

"Perjalanan kita masih jauh, sebaiknya kau kembali ke kereta-mu..." perintahnya.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang