Bab 13

2K 259 0
                                    


Majapahit, 1319 M

Penjarah bawah tanah, pengadilan Agung

(Hari ke-30)

Aku melihat ayah di sebuah ruangan yang penuh buku. Dia mengenakan kacamata bulatnya dan membolak-balik halaman sebuah buku literature yang tengah dibacanya. Aku mendekat dan dia pun segera menyadari kehadiranku. Senyumannya indah dan tampak begitu tulus. Ayah pun meletakan bukunya lalu menggenggam tanganku, dia meletakkan kedua tangan kami di atas buku itu. Namun aku tak dapat mengucapkan apapun.

Kulirik sedikit judul buku di halaman tersebut dan seketika itu mataku terkejut, "Pemberontakan Ra Kuti tahun 1319 M"

Apakah ayah berusaha memberitahuku tentang itu?

Setiap kali mencoba tertidur, mimpi-mimpi itu selalu datang. Mimpi yang terkadang membuat Rania ketakutan setengah mati, terakhir kali sebelum dia bermimpi tentang ayahnya, dia bahkan bermimpi seseorang yang berusaha membunuhnya. Entah bagaimana dia dapat berakhir konyol di tempat itu. Dia mulai merindukan keluarganya, pada ibunya yang entah sedang apa dan pada teman-temannya yang mungkin sedang mencari-cari dirinya. Bagaimana jika dia benar-benar terjebak di masa lalu selamanya, bagaimana reaksi ibunya kelak.

Suara tapak kaki penjaga terdengar menggetarkan tanah saat dia berbaring di atas jerami. Dia memandang dari kejauhan dua orang penjaga yang tengah berjalan ke arahnya. Satu membawa tombak dan satunya membawa sebuah gulungan. Mereka berhenti tepat di depan sel tahanan Rania dan mencoba membuka pintu kayu itu. Rania tak tertarik untuk bangun, seluruh tubuhnya terasa lemas dan penampilannya berantakan. Dia juga tak peduli apa yang hendak prajurit penjaga itu lakukan.

"Berdirilah!" perintahnya setelah membuka pintu. Permpuan itu pun mulai bangun dengan perlahan. "Bawalah dia!" perintahnya lagi, kali ini pada prajurit di belakangnya. Prajurit itu pun segera mengapit tubuh Rania untuk berdiri.

"Akan dibawa kemana aku?" Tanya Rania. Namun prajurit itu tak menjawab. Rania berusaha melepaskan diri namun prajurit itu lebih dulu menyeretnya pergi.

"Lepaskan! Katakan padaku, kemana kalian membawaku? Aku mohon lepaskan..." Racau Rania di sepanjang perjalanan. Tetapi para prajurit itu seakan tak mempedulikannya.

Hingga akhinya mereka tiba di luar gerbang peradilan. Para prajurit itu tiba-tiba melepaskan cengkramannya dari Rania. Mereka menghadap seorang laki-laki yang berdiri tak jauh. Rania berusaha mengintip laki-laki itu dari sela punggung prajurit di hadapannya, dia melihat laki-laki bernama Mada berdiri disana. Prajurit itu kemudian menggeser tubuhnya hingga menampakkan tubuh Mada sepenuhnya.

"Kau dibebaskan atas perintah permaisuri Gayatri!" ujarnya sembari memandang Rania. "Akan tetapi kau akan terus berada dalam pengawasannya..."

Kedua prajurit yang membawa Rania pun pergi, mereka meninggalkan Rania dan laki-laki itu berdua. Rania tak berani memandang. Penampilannya yang kumal dan berantakan membuatnya begitu malu di hadapan laki-laki itu.

"Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk berhati-hati di tempat ini?" Ujar laki-laki itu memulai pembicaraan. Dia berjalan mendahului sehingga Rania pun hanya dapat melihat punggungnya saat berbicara.

"Aku sangat kagum dengan keberutungan yang kau miliki. Jika saja permaisuri Gayatri tidak menjadikan dirinya sebagai jaminan maka aku yakin mereka akan menjatuhkan hukuman mati untukmu." lanjut laki-laki itu.

"Memangnya apa kesalahanku? Aku tak melakukan apapun..." Bela Rania pada dirinya sendiri. Laki-laki itu tampak sedikit mengadah. Dia tak menyahuti Rania untuk beberapa saat. Pembelaan Rania nampaknya hanya sekedar angin berlalu baginya. Rania yang berjalan di belakangnya pun merasa kesal.

Setelah tiba di pelataran keraton, laki-laki itu menghentikan langkahnya. Lalu berbalik memandang Rania. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai disini, selebihnya akan ada dayang yang menjemputmu." ujarnya membuat Rania sedikit malu. Dia kemudian melangkah melewati tubuh Rania yang berdiri kaku. Dia hanya mengatakan seperlunya dan kemudian berlalu pergi.

Rania dapat mendengar langkah kaki laki-laki itu yang memakin menjauh. Dia tak mengerti mengapa di setiap kejadian yang dialaminya, dia selalu bertemu dengan laki-laki itu. Seolah kunci kehidupannya adalah terletak pada laki-laki itu.

"Tunggu sebentar!" panggil Rania. Perempuan itu berbalik dengan cepat untuk memandang punggung laki-laki itu.

"Ada hal yang ingin aku katakan padamu..." ujar Rania dengan ragu.

Jauh disana dia melihat bayangan Mahapati yang tengah berjalan diikuti beberapa prajurit. Pikiran Rania pun kembali kalut, antara konsitensinya sebagai ahli sejarah yang tak ingin ikut campur atau ketakutannya sendiri. Bagaimana jika tidak ada yang sadar bahwa pemberontakan besar itu hendak terjadi? Sementara dia belum mempercayai jika laki-laki itu benar-benar sosok Gajah Mada yang akan menyelamatkan mereka.

"Ini tentang Majapahit! Tentang keselamatan paduka!" ucapan Rania yang akhirnya dapat menghentikan langkah laki-laki itu.

*Aku tak tahu apakah di kehidupan ini ada kehidupan yang lain lagi. Hanya saja kau terasa tak asing bagiku, apakah kita mungkin pernah bertemu sebelumnya?*

Di tengah malam yang sunyi, laki-laki itu meninggalkan balai pelatihan prajurit. Dia memastikan tak seorang pun melihat meninggalkan tempat itu dengan penyamaran. Sudut-sudut ibukota Majapahit terlalu gelap di malam hari sehingga beberapa di antaranya lengah dari penjagaan para prajurit. Beberapa obor juga telah padam, itu memungkinkannya dapat menyusup meninggalkan ibukota.

Dia tak sedang melakukan misi atau semacamnya malam itu. Hanya saja insting kuat sebagai seseorang yang mengkhawatirkan keamanan negaranya membuatnya melakukan sesuatu di luar tugasnya sebagai prajurit Majapahit. Dia juga tak bisa mempercayai seorang pun dalam masalah itu. Karena hal itu juga merupakan poin utama yang harus dipatuhi setiap prajurit terlebih itu satuan khusus Bhayangkari.

"Bagaimana?" Tanyanya ketika dia baru tiba di sebuah pondok di sudut Kota. Seseorang di balik topi bambu itu tak langsung menjawab. Dia memandang sekelilingnya sebelum mempersilahkan laki-laki itu masuk. Keduanya pun kemudian lenyap ke dalam pondok.

"Aku tidak menemukan banyak tuan, tapi ada pergerakan mencurigakan dan itu dari para Dharmaputra." ujar pria di balik topi itu ketika mereka telah berada di dalam pondok. Dia melepas topi bambu-nya dan mengambil tempat di hadapan laki-laki itu.

"Para Dharmaputra? Apa kau yakin tentang itu?" ulang laki-laki itu.

"Aku juga tidak terlalu yakin Tuan. Akan tetapi mereka mengumpulkan banyak prajurit di luar pengawasan keraton, bahkan aku juga menemui beberapa pandai besi yang mengaku tengah mengerjakan suatu pesanan besar dari para petinggi keraton itu."

Laki-laki itu tampak menimang perkataan yang diucapkan pria di hadapannya. Dia tak dapat memastikan, tetapi juga tak dapat menghiraukanya begitu saja. "Sejak kapan kira-kira kau melihat pergerakan mencurigakan mereka?" Tanya laki-laki itu kemudian.

"Sudah sejak beberapa waktu yang lalu, sejak paduka mendeklarasikan pemberontakan yang dilakukan patih Nambi di Lumajang."

"Mereka sudah mempersiapkannya cukup lama dan aku yakin dua tahun sudah cukup bagi mereka untuk melakukan segala yang telah mereka rencanakan." Timpal laki-laki itu menanggapi situasi yang terjadi.

"Secepatnya kau panggil beberapa prajurit yang dapat kita percayai, aku harus bertindak sebelum sesuatu yang buruk itu terjadi." Perintahnya.

"Tapi tuan! Kenapa kita tidak melaporkannya saja pada Mahapatih dan para menteri? Mereka mungkin akan bertindak lebih baik dari apa yang dapat kita lakukan..."

Laki-laki itu mengambil jeda sejenak kemudian menarik nafas panjang. "Dharmaputra adalah orang-orang yang sangat dicintai mendiang Raja, mereka juga dapat disebut putra pendiri Majapahit yang berperan dalam mengatur kerajaan. Kita tidak tahu siapa saja pejabat keraton yang memihak mereka. Jadi kita harus tetap merahasiakan siasat ini!"

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang