Bab 1

5.1K 484 20
                                    


Yogyakarta, 20 September 2010

Rania mendesah saat rasa pusing kembali menyerangnya. Belakangan dia sering tidur cukup larut, bahkan sampai tak tidur sepanjang malam. Insomnia yang dideritanya sejak masih kulia semakin parah ketika dia sedang gelisa atau memikirkan sesuatu secara berlebihan. Ada sebuah tugas penelitian cukup rumit yang dibebankan kepadanya tetapi kelak tugas tersebut dapat melancarkan jalannya untuk mengajukan gelar professor. Sehingga Rania pun tidak ingin membuang kesempatan tersebut.

Kata kakak laki-lakinya yang bernama Hendra−yang sekarang menjadi anggota Brimob−Rania terlalu mengabdikan diri untuk pengetahuan sampai-sampai tidak memperhatikan dirinya sendiri. Rambut terikat acak-acakan, bluse yang jarang diganti hingga dua hari, lalu ditambah kacamata yang selebar kuping gajah. Dia sudah seperti memiliki adik yang otaknya kerasukan arwah Albert Einstein. Bedanya yang satu ini Albert Einstein ahli Arkeologi.

Rania memang seperti perempuan antik. Tetapi hanya saat melakukan penelitian saja, naik gunung, masuk ke dalam Goa, menggali tanah, semua pekerjaan Arkeolog yang tak butuh penampilan bagus. Kecuali jika sedang mengajar atau menghadiri konfrensi, Rania yang itu sudah berbeda lagi, dia bisa menjadi wanita tulen. Pada awalnya pekerjaan seorang Arkeologi terasa menyenangkan, masa-masa awal lebih banyak melakukan tugas lapangan. Tetapi ketika dia sudah mengenal jabatan dan pencapaian, dia pun harus lebih banyak bermain puzzle di dalam ruangan. Menyatukan kepingan demi kepingan dari masa lalu agar menjadi ilmu pengetahuan yang berguna.

'Janganlah melihat masa depan dengan mata buta! Masa lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala pada masa yang akan datang'. Kutipan itu milik presiden Soekarno yang menjadi dasar mengapa ilmu masa lalu juga penting untuk dipelajari. Namun bagi Rania menggali sejarah tidak semudah menggali kenangan masa kecil. Penelitian demi penelitian yang dilakukannya untuk mengungkap sejarah kerajaan Majapahit selalu menemukan jalan buntu. Masih banyak pertanyaan yang tidak dapat dia temukan jawabannya. Semua catatan-catatan sejarah, prasasti dan kitab-kitab Majapahit hanya memuat garis besarnya saja, tidak menjawab apa yang sedang dicarinya.

Masa kejayaan Majapahit, sumpah Palapa, asal-usul serta kematian Gajah Mada yang tak pernah terkuak sejarah, itu tantangan terberat yang diberikan professor kepadanya. Sebagai jalan pintas sekaligus jalan panjang menuju kesuksesannya. Rania pernah menulis buku tentang sejarah Majapahit, tentang raja-raja yang pernah bertakhta, dia menulis sejarah tersebut berdasarkan penemuan-penemuan Arkeologi-nya. Tetapi dia tidak pernah menemukan catatan sejarah tentang asal-usul Gajah Mada dan sebab kematian Gajah Mada yang menjadi perdebatan. Gajah Mada yang melegenda dengan Sumpah Palapa-nya adalah sebuah misteri yang bahkan tak terpecahkan.

Kelopak mata Rania ingin mengantup beberapa saat, namun segera diceganya karena dia harus menyelesaikan bagian penutup laporan. Siangnya ada sebuah pertemuan penting dengan beberapa ahli. Kemudian jadwal kunjungan ke Museum hingga pergi ke balai Arkeologi untuk melakukan penelitian bersama Arkeolog lainnya. Dia berharap banyak pada benda-benda peninggalan Majapahit yang baru saja ditemukan Tim Arkeolog-nya, yang barangkali dapat menambah bahan untuk laporannya.

Ponsel Rania pun berbunyi beberapa kali. Dia berusaha mengabaikannya, namun dering yang terdengar justru mengganggu konsentrasinya. Rania mendesah kesal lalu dengan terpaksa meraih ponsel tersebut. Nomor yang terterah disana adalah nomor telepon rumahnya di Mojokerto. Dia sudah hafal nomor tersebut dan juga si penelpon yang gemar mengomelinya.

"Halo... ibu?"

Rania meletakkan ponselnya di telinga sembari mengapitnya dengan bahu. Dia memasukan beberapa map dan sebuah flashdisk ke dalam laci mejanya.

"Iya... ini ibu. Apa hari ini kamu masih sibuk Tri?" panggilan yang selalu diucapkan sang ibu mengingat dia adalah anak ketiga di keluarganya.

"Sudah sarapan?" Tanya wanita itu lagi. Rania tak segera menjawabnya. Dia mencoba mengingat terakhir kali dia melakukan ritual sarapan pagi. Beberapa tahun terakhir sejak dia pindah ke Jogja, dia sudah terbiasa melewatkan sarapan paginya. Bahkan baru malam hari dia dapat mengisi perutnya dengan nasi atau mie.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang