Majapahit, 1319 M
Keraton Majapahit.
(Hari ke-49)
Cinta yang tenang seperti air sungai yang meliuk dari hulu ke hilir, tanpa ombak dan tanpa membentur satu dengan yang lain. Tanpa memaksa untuk memasuki hati masing-masing. Cinta yang hanya tersirat dalam tatapan mata tanpa harapan.
Riuh suara rakyat Majapahit menyambut kembalinya keluarga kerajaan ke Istana Majapahit. Sepanjang jalan mulai gerbang besar di ibukota, pasar, pendopo agung, simpangan yang disucikan, hingga gapura utama keraton Majapahit dipenuhi oleh pemuda-pemudi, para orang tua serta anak-anak yang bersembah sujud. Rakyat yang tak menyukai Ra Kuti begitu gembira dengan kembalinya sang raja. Akan tetapi sebagian dari mereka juga ada yang acuh karena kekecewaannya pada pemerintahan Jayanagara yang sebelumnya tidak lebih baik dari Ra Kuti.
Seluruh komplek keraton telah dibersihkan dari sisa-sisa pemberontak. Darah yang berceceran semalam telah berganti dengan aroma bunga-bunga yang menawan; Campaka, Tanjung, Kesara. Beberapa pasukan Ra Kuti yang tersisa diadili di penjara Majapahit, sementara Tanca yang merupakan bagian Dharmaputra, terpaksa dibebaskan karena dia merupakan tabib kerajaan yang masih diperlukan oleh paduka Jayanagara.
"Inilah kekuatan Majapahit! Semua jenis pemberontakan pasti ditumpas hingga ke akar-akarnya. Inilah peringatan bagi siapapun yang hendak melawan Majapahit. Tidak ada yang bisa mengalahkan Wiwaltika!"
"Hidup paduka Jayanagara... hidup paduka Jayanagara!" teriak para prajurit dan rakyat dari luar panggung korban.
Pesta kemenangan itu dibuka dengan pertunjukan budaya, tarian-tarian dan alat musik. Dalam kesempatan itu pula raja menganugerakan penghargaan kepada orang-orang yang telah berjasa pada Majapahit. Tertulis pada gulungan daun lontar dengan stempel kerajaan dengan dibacakan oleh seorang Kanuruhan. Beberapa orang dengan anugerah itu pun menampilkan dirinya bersembah sujud dihadapan Jayanagara. Tumenggung, Demung, Rangga, para Patih dari kerajaan bawahan menerima anugerah terlebih dahulu berupa gelar kehormatan, tanah dan kekuasaan. Tak lupa pula paduka menganugerahkan ratusan ekor sapi kepada para Brahmana sebagai wujud rasa syukurnya.
Selanjutnya adalah kehormatan yang dianugerahkan kepada desa Bebander, khususnya Ki Among dan isterinya. Paduka memberikan piagam, kepingan emas dan bahan makanan. Kehormatan itu pun juga dianugerakan oleh Gayatri Rajaptni berupa puluhan pelayan untuk melayani keluarga Ki Among. Di barisan ketiga, anugerah dilimpahkan paduka kepada bekel Mada beserta prajurit Bhayangkara-nya. Paduka mengangkat Mada sebagai pengawal khusus yang paling dipercayainya, gelas kehormatan (Gajah) dan juga tanah yang luas. Prajuritnya menerima kepingan emas dan bahan makanan yang melimpah.
Di akhir penganugerahan adalah untuk kedua putri-putri Majapahit, Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. "Dengan adanya peristiwa ini, sudah selayaknya paduka menganugerahkan kedua saudaranya sebuah kedudukan. Gusti putri Tribuwana Tunggaldewi (Nama kebangsawanan) dianugerahi kekuasaan sebagai pemimpin di negara bawahan Jiwana bergelar Bhre Kahuripan, untuk Gusti putri Rajadewi paduka memberikan kekuasaan di Kediri dengan gelar Bhre Daha. Keduanya diharapkan dapat menyokong pemerintahan yang mulia Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara (Gelar Jayanagara)."
"Untuk yang terakhir, paduka menganugerahkan gelar abdi kehormatan kepada seorang dayang dari lingkungan tuan putri Tribuwana Tunggaldewi yang bernama Dewi Hapsari dan mengangkatnya sebagai kepala dayang di lingkup istana utama yang dikhususkan."
Pengunguman terakhir itu agaknya tak terlalu pantas diumumkan dalam acara resmi. Pengaturan tentang pengangkatan dayang di dalam istana adalah peraturan internal yang menyangkut rumah tangga kerajaan yang diatur oleh Demung. Raja tidak ambil bagian karena dia hanya diperkenankan mengurusi urusan pemerintahan yang jauh lebih besar. Namun sebuah hal yang istimewa jika raja mengungumkan pengangkatan tersebut di depan semua rakyat dan pejabat secara langsung.
Menyadari namanya yang disebutkan Jayanagara, seluruh pasang mata di panggung korban pun tertuju pada Rania. Dia tidak pernah dikenal di Istana, bahkan keberadaannya bersama paduka pun tidak pernah diketahui siapapun pun memunculkan berbagai asumsi. Kecuali Mada yang memandangnya acuh tak acuh.
Pernyataan itu pun juga membuat Gitarja dan Wiyat terkejut. Mereka merasa tidak pernah melakukan apapun yang dapat merubah pemikiran Jayanagara. Sebelumnya Jayanagara bahkan melarang keduanya untuk ikut campur dalam urusan pemerintahan bahkan keduanya juga dilarang menikah dengan alasan bahwa Jayanagara juga belum menikah, tapi kini saudara tirinya tersebut justru memberinya jabatan.
Dyah Gitarja mencoba tersenyum. Tetapi tidak seperti sang adik yang menyambutnya tanpa kecurigaan, Gitarja justru mempunyai banyak pertanyaan di kepalanya. Hanya saja dia berusaha menyimpannya hingga pertemuan itu selesai.
"Hidup paduka Jayanagara... hidup paduka Jayanagara!"
Bagi Rania semua yang terjadi pada pendopo agung tersebut tidaklah mengejutkan baginya. Semua itu tetulis dalam sejarah yang bahkan akan terus diingat hingga saatnya nanti. Namun sesuatu yang tak pernah terpikir olehnya adalah bagaimana dia ambil bagian dalam setiap peristiwa bersejarah tersebut, bahkan dia menyaksikannya secara langsung dengan mata kepalanya sendiri.
"Kakanda... Hapsari adalah dayangku. Dia tidak mungkin menjadi dayang istana." Gitarja mencoba berbicara pada Jayanagara di sela upacara penghargaan tersebut. Jayanagara menanggapinya tetapi dengan nada bicara yang dingin.
"Kau sudah mendapatkan yang kau inginkan seharusnya kau tidak keberatan memberikan sesuatu yang aku inginkan!"
"Aku akan memberikan apapun yang kakanda inginkan. Tetapi tidak dengan gadis itu, aku mohon kakanda!" Gitarja yang mengetahui sesuatu tentang Rania pun mengkhawatirkan keselamatan Rania jika dia tidak berada dalam pengawasannya. Berada di tangan Jayanagara membuatnya terlihat seperti budak, sementara Gitarja lebih menganggapnya teman.
"Apakah dia begitu penting bagimu hingga kau rela memberikan semua yang aku inginkan? Tetapi dengan sikapmu itu, aku justru semakin menginginkan perempuan itu!" ujar Jayanagara yang tak mampu lagi ditentang oleh Gitarja.
Di tengah kebingungan tersebut, muncul sosok Mahapatih yang mengalihkan mereka. Pejabat tertinggi majapahit itu sempat menghilang selama pemberontakan Ra Kuti. Padahal dia merupakan satu-satunya orang yang dipercayai Jayanagara sejak kecil, dia juga yang selama ini mengajukan diri untuk selalu berada dipihak paduka Jayanagara.
"Paman Mahapatih!" Pria gempal itu tertunduk sembari berjalan menghadap Jayanagara. Wajahnya kusut, tanpa perhiasan dan segala lencana seorang Mahapatih. Dia juga tidak memakai pakaian besi yang mewah.
"Hamba menghadap paduka!" ucapnya dengan suara yang sengaja dibuat bergetar.
"Dari manakah paman? Mengapa paman tidak memimpin pasukan untuk melawan Ra Kuti?" Dengan wajah memelasnya, Mahapatih mencoba membuat Jayanagara iba. Dia memainkan sandiwara dengan baik di hadapan semua orang,
"Hamba menyesal karena tak dapat menyelamatkan Majapahit, paduka! Hamba dikurung oleh Ra Kuti dan hendak dibunuh olehnya." Tegas Mahapatih.
"Benarkah itu paman?"
"Hamba tidak pernah berbohong paduka!"
"Paman tidak perlu khawatir! Aku akan selalu mengampuni paman."
Jayanagara yang masih memiliki kepercayaan padanya pun percaya begitu saja. Mahapatih kembali pada posisinya. Dia diam-diam menatap Rania yang berdiri di belakang raja dengan tatapan yang berlawanan, tatapan tajam penuh kebencian. Tetapi Rania tidak menaruh rasa takut sedikitpun, justru dalam dirinya muncul perlawanan untuk membalas Mahapatih.
Protokoler raja
Panglima kerajaan
Pengatur rumah tangga kerajaan
Pembantu panglima
Sebutan untuk pengusa negara bawahan Majapahit
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...