Bab 34

1.7K 222 2
                                    


Majapahit, tahun 1351 M

Masa pemerintahan Hayam Wuruk

(Insiden Perang Bubat)

Laki-laki itu berbaring di atas dipan, memandangnya dengan tatapan sayu. Garis-garis kerutan di wajahnya terlihat begitu jelas, tulang pipinya menonjol dan bibirnya pucat pasih. Dia ingin menyentuh wajah tak berdaya itu tetapi telapak tangannya hanya terasa seperti menembus angin, bahkan dia mulai menyadari bahwa laki-laki itu tidak memandang ke arahnya melainkan memandang dengan kosong. "Mengapa kau seperti ini? Melihat betapa gagahnya dirimu di masa muda, kau tak pantas berakhir seperti ini. Tegakkanlah kepalamu! Kuatkan hatimu! Kau tak pantas menderita hanya karena kepergiaanku..." ujar wanita itu di dalam hati.

Begitu lama waktu yang Rania lalui di luar Istana Majapahit dan selama pengembaraan itu, dia tidak pernah menerima pertanda buruk dari mimpinya. Namun di malam ketika dia kembali ke istana Majapahit, mimpi-mimpi menakutkan itu kembali hadir. Kali ini dia memimpikan seorang pria tua yang tampak begitu menyedihkan, penuh kesedihan dan rasa bersalah. Entah kesalahan apa yang diperbuatnya hingga berakhir demikian. Namun satu hal yang terasa aneh dari mimpi itu ialah keberadaan Rania yang juga seakan merasa begitu bersalah pada pria tua itu.

Dyah Hayam Wuruk pun telah resmi menduduki takhta Majapahit di usianya yang terbilang masih belia. Mengemban tugas menggantikan sang ibunda yang telah kembali menjadi Rani di Jiwana. Beliau tetap mengawasi sebagai dewan pertimbangan agung.

Ketika Dyah Hayam Wuruk naik takhta banyak yang bertanya-tanya, siapa yang kelak menjadi permaisuri-nya? Sementara begitu banyak bangsawan yang dengan senang hati menyerahkan putri-putri mereka untuk dipersunting sang raja. Bangsawan-bangsawan tersebut tidak lain adalah para penguasa-penguasa negara bawahan Majapahit, seperti Bhre Wengker, Bhre Lasem dan Bhre Pajang. Namun di antara para kadidat kuat tersebut, paduka Hayam Wuruk tampaknya telah memiliki kebijaksanaan tersendiri untuk memilih permaisurinya.

"Sebelum nenek Gayatri pergi, beliau sempat berpesan padaku. Bahwa ada dua daerah yang tak boleh disentuh oleh Majapahit, yaitu Madura dan Sunda. Madura adalah bagaikan saudara bagi Majapahit, rajanya telah menolong mendiang kakek Wijaya dari kejaran para prajurit Jayakatwang. Sementara Sunda, biarpun tampak begitu asing dengan Majapahit. Namun masih memiliki keterkaitan dengan leluhur Majapahit. Karena hal tersebut-lah, aku bermaksud untuk menjalin kembali hubungan dengan Sunda yang sempat terputus dengan mengirimkan lamaran kepada putri kerajaan Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi."

Pernyataan paduka Hayam Wuruk dalam pertemuan di balai Witana itu pun mengundang ketekejutan di wajah para pejabat yang hadir. Beberapa menteri, bangsawan, patih dan Dharmadhyaksa tak segan mempertanyakan keputusan tersebut. Sementara Rania yang berdiri di samping paduka−bersama Demung Wira dan beberapa dayang−tidak lagi terkejut dengan pernyataan paduka Hayam Wuruk tersebut. Karena sebelum pertemuan itu diadakan, paduka Hayam Wuruk telah lebih dahulu meminta pertimbangannya.

"Sebelumnya aku pernah pergi ke Sunda dengan penyamaran, bibi! Disanalah aku pertama kalinya bertemu dengan putri kerajaan Galuh itu. Dia cantik, berbudi luhur dan semua rakyat sangat menghormatinya. Aku tidak memberitahunya bahwa aku adalah putra Mahkota Majapahit ketika kami bertemu, sehingga dia mungkin tidak tahu bahwa akulah yang kini bermasud melamarnya." Ujar raja muda itu. Binar matanya menunjukan bahwa dia tidak sedang berbicara sebagai seorang raja, melainkan seorang laki-laki yang sedang jatuh hati.

Rania pun tersenyum tipis menanggapinya. Tidak heran gusti Tribuwana mencemaskannya, seorang raja yang berjiwa muda cenderung mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang panjang sehingga tidak hanya dapat membahayakan dirinya sendiri namun juga negaranya. Meski begitu Rania tidak ingin menghalangi keinginan Hayam Wuruk, dia yakin raja Majapahit tersebut memiliki maksud yang baik.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang