Bab 20

2K 252 5
                                    


Majapahit, 1319 M

Kolam Segara (Hari ke-55)

"Kau wanita raja! Mana mungkin aku dapat menjangkaumu? Sekalipun aku orang yang disegani di kerajaan ini, aku tetap tidak bisa memilikimu..." ujar seorang laki-laki padanya. Namun pandangan matanya terlalu buram kala itu, sehingga wajah laki-laki itu pun hampir tidak dikenalinya sedikitpun.

Ada sesuatu yang mengganjal di benak Rania selama ini. Perempuan di dalam mimpinya yang selalu mengenakan selendang kuning itu, entah mengapa dia merasa perempuan itu adalah dirinya. Ada suatu kebetulan ketika Gitarja memilihkan selendang berwarna kuning untuk melengkapi jarik-nya, dan kebetulan pula perempuan di dalam mimpinya tersebut juga mengenakan selendang kuning. Tetapi dia tidak bisa melihat kebahagiaan di raut wajah perempuan itu, bahkan takdirnya pun seolah begitu menyedihkan.

"Sepertinya kebiasaan memang sulit diubah!"

Rania memutar kepalanya ketika suara itu menginterupsi pendengarannya. Diamatinya baik-baik sosok yang tengah berjalan ke arahnya tersebut. Sosok yang sudah sangat familiar baginya, tetapi sayangnya sosok itu tidak berpikiran serupa. Mada melangkah dengan wibawanya menghampirinya di sisi kolam. Ada lencana berbeda yang disematkan di tubuhnya, menandakan status pangkatnya yang sudah berubah.

"Apakah seorang dayang utama sepertimu bisa meninggalkan istana dengan bebas sehingga berada di tempat ini? Sepertinya kau mendapatkan perlakuan istimewa dari paduka!"

Alis Rania menaut mendengar perkataan Mada yang terdengar sarkartis. Dia tidak tahu mengapa laki-laki itu selalu berpikiran buruk padanya. Padahal Rania telah menceritakan segala hal tentangnya. "Sebelumnya aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan padamu. Kenapa perkataanmu seperti selalu berusaha menyudutkanku?"

Kali ini laki-laki itu yang tampak kehilangan kata. Dia mengalihkan pandanganya seolah berusaha menghindar dari tatapan Rania. "Aku hanya penasaran, bagaimana kau bisa mengambil hati paduka secepat itu? Aku bahkan hanya meninggalkan kalian beberapa hari dan sepertinya paduka sangat mempercayaimu."

Rania mendengus sebal. Matanya berusaha menahan amarah setiap memikirkan nada bicara yang tajam dari laki-laki itu. Dia selalu salah paham, tetapi Rania juga tak bisa mengatakan jika dia menyimpan rahasia tentang penyakit Jayanagara. "Aku tidak pernah berusaha mengambil hati paduka! Aku juga tidak tertarik dengan kerajaan ini. Satu-satunya yang aku inginkan hanyalah kembali ke masaku." dustanya.

Untuk sesaat angin berhembus pelan menyentuh kulit pipi Rania. Deretan pohon Brahmasta dan Asoka tampak meliuk-liuk bagian dahannya. Ada beberapa dedaunan yang jatuh di permukaan kolam lalu terbawa arus menuju bagian sisi kolam yang lainnya. Rania merasa bahwa hari itu mungkin menjadi hari terakhirnya bertemu Mada. Laki-laki itu mendapat tugas mengawal Gitarja selama beberapa waktu di Kahuripan−salah satu kerajaan dibawah Majapahit−dan dia pun mungkin lebih sulit ditemui di Majapahit setelahnya.

"Apakah kau sudah menemukan suatu cara untuk kembali?" laki-laki itu kembali memulai pembicaraan setelah sekian lama membisu. Matanya tidak memandang Rania, melainkan tertuju pada permukaan air kolam yang menjadi cermin sosoknya.

Rania pun menggeleng. Dia bisa saling menatap dengan laki-laki itu melalui pantulan permukaan kolam. "Aku hanya tahu tentang sebuah pintu keluar. Tetapi aku tidak tahu dimana menemukan pintu keluar yang dimaksud. Kolam ini yang membawaku ke masa ini dan ada pintu keluar yang berada di tempat yang lain yang dapat membuatku kembali."

"Pintu keluar?" Mada mengulangi. Dia tidak pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya. Barangkali yang dimaksud Rania adalah pintu-pintu yang sering digunakan para Dewa untuk menemui orang-orang di bumi. Namun Mada tidak pernah percaya pada hal itu. Orang-orang sepertinya hanya percaya bahwa meditasi adalah cara terbaik untuk berhubungan dengan Dewa dan bukannya dengan pintu seperti yang dimaksudkan Rania.

Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang