Majapahit, 1319 M
Masa pemerintahan Jayanegara
(Hari ke-20)
Entah mengapa aku tak dapat melepaskan pandanganku darinya. Tidak bisa berhenti untuk memikirkannya. Seseorang yang tertulis dalam sejarah, dia tak sebesar dalam cerita-cerita kehebatannya. Sorot matanya begitu dingin namun juga sarat akan keegoisan. Laki-laki yang seolah mempunyai masa lalu yang kelam, yang membuatnya hanya mampu untuk bertahan tanpa hasrat melawan.
"Aku tidak berpikir jika kau ternyata suka menulis dan membaca?" ujar Dyah Gitarja pada Rania. Dia melihat perempuan yang bersamanya itu tengah menulis sesuatu pada sebuah daun lontar yang didapatkannya ketika mengunjugi pasar. Hari itu Dyah Gitarja mengajaknya berkeliling, melihat-lihat ibukota Majapahit.
"Di kerajaan ini tidak banyak yang dapat menulis dan membaca." Lanjutnya sembari berjalan menghampiri Rania yang duduk di salah satu anak tangga pendopo.
Seorang pria tua dengan pakaian lusuh yang menemui Dyah Gitarja telah pergi. Pria itu membawakan Dyah Gitarja satu kantung bahan obatan-obatan kering sebagai bentuk terima kasih. Gitarja telah menolongnya saat beberapa prajurit penarik upeti memporak-porandakan barang-barang dagangannya. Pria tua itu tak cukup memiliki kepingan uang sehingga mereka berbuat kasar. Pajak untuk para pedagang-pedang itu memang semakin tinggi sejak dikeluarkannya dekrit dari Paduka Jayanagara yang justru semakin menyengsarakan rakyat.
Dyah Gitarja sudah sering melihat semua itu. Dia tak dapat berbuat banyak apalagi membujuk kakanda-nya untuk menurunkan upeti rakyat-rakyat kecil. Hubungannya dengan Jayanagara tak begitu baik, bahkan untuk mendekati kakak tiri-nya tersebut sangat sulit dan seolah terhalangi.
"Apa mungkin dahulu kau seorang pujangga?"
Rania pun menghentikan gerakan tangannya dan tersenyum pada putri itu, "Gusti ayu terlalu berlebihan, seseorang seperti hamba mana mungkin pujangga. Hamba mungkin hanya pernah mempelajarinya." Sahut Rania merendah. Seorang dosen Arkeolog yang tengah berusaha mendapatkan gelar professor-nya, tak mungkin jika tak mengenal tulisan-tulisan kuno seperti bahasa dan aksara Kawi. Dia bahkan dapat menulis dan membaca dari beberapa prasasti-prasasti yang pernah ditemukannya.
Area luar ibukota Majapahit adalah komplek pemukiman penduduk biasa dengan sebuah pasar utama yang terletak di tengah-tengah pemukiman dan berhadapan dengan pintu masuk kerajaan. Di barat pasar tersebut terdapat sebuah Bale-bale yang di kelilingi kanal. Disanalah Rania dan Dyah Gitarja singgah, tanpa pengawalan prajurit dan para dayang. Dyah Gitarja mengunjungi tempat itu untuk tujuan tertentu dan salah satunya untuk memperlihatkan ibukota Majapahit pada Rania. Dia berharap dengan mengunjungi ibukota, Rania dapat mengingat sesuatu.
"Apa kau benar-benar tidak mengingat apapun tentang dirimu?"
Rania terdiam sebentar mendengar pertanyaan Dyah Gitarja. Lalu hanya menggeleng dan tersenyum. Dia tidak terlalu pandai berbohong tetapi demi kebaikannya dia harus merahasiakan identitasnya dari siapapun seperti yang pernah diucapkan laki-laki itu. "Akan lebih baik jika kau tak mengatakan pada siapapun dari mana kau berasal. Aku tak akan menjamin keselamatanmu jika ada yang mengetahui tentang dirimu."
"Padahal aku sangat ingin menanyakan beberapa hal padamu..." timpal Gitarja seolah mengisyaratkan sesuatu.
"Tetapi tidak apa! Setidaknya sampai kau dapat mengingat semuanya kembali, kau bisa terus menemaniku di tempat ini. Karena seperti yang kau lihat, aku tidak begitu memiliki teman sejak kecil." Sahutnya kemudian. Dia mengingat bagaimana hari-hari yang dilaluinya yang hanya terkurung di dalam istana dengan saudara perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...