Danang, kakak laki-laki Rania yang pertama langsung bertolak ke Mojokerto beserta sang istri dan anak semata wayangnya; Clarissa Putri ketika mendengar cerita dari sang ibu bahwa Rania ditemukan dalam keadaan selamat setelah tenggelam di area air terjun Madakaripura, Probolinggo. Padahal dia dan keluarga kecilnya hendak berlibur ke kota wisata Batu selama weekend itu. Tapi mereka terpaksa membatalkannya karena mendapat kabar tentang musibah yang menimpah adik bungsunya.
Rania sendiri memutuskan pulang ke Mojokerto, dia telah meminta ijin pada professor untuk tidak mengajar selama beberapa hari ke depan. Dia perlu memulihkan tubuh dan pikirannya sebelum memutuskan melanjutkan penelitiannya. Dia juga tak yakin bisa menceritakan segala hal yang diketahuinya pada orang lain jika dia sendiri tak memiliki keyakinan pada semua hal yang telah terjadi padanya.
"Ya... ampun Na! Kamu itu ngapain sih bisa sampai tenggelam?" omel laki-laki berumur 40 tahun itu setibanya di Mojokerto. Lain ibunya lain lagi kakaknya, kalau sang ibu suka memanggilnya dari nama tengahnya "Tri", Danang dan Hendra justru suka memanggil Rania dengan panggilan "Nania" seperti saat masih kecil.
"Ya... gak ngapa-ngapain, Mas! Namanya juga kerja! Mas Danang juga sebelum jadi insinyur kan suka kerja di bangunan, pernah juga kecelakaan kerja. Ya... semacam itulah!" alibi Rania. Sejujurnya dia juga masih bingung kenapa dia bisa berada di Probolinggo.
"Memangnya kamu juga kerja di bangunan, Na? Pakai dibanding-bandingkan sama mas Danang! Situ aja yang kebanyakan tingkah makanya bisa tenggelam!" sahut Hendra, abangnya yang nomor dua yang hanya berbeda lima tahun dari Rania. Sejak kecil memang suka usil dengan Rania, sampai jadi polisi pun masih suka usil.
"Apaan sih? Datang-datang langsung nyerempet!" balas Rania. Mereka sedang berada di teras belakang. Rania duduk santai di kursi kayu bersama Danang, sedang diinterogasi sementara Hendra yang baru datang dengan istrinya langsung menginterupsi.
"Mbak Sari... jangan lupa nyebut setiap detik ya biar ponakanku gak mirip kayak ayahnya yang resek ini!" kali ini Rania menyapa kakak ipar-nya yang sedang hamil muda tersebut. Hendra pun langsung bertindak menggetok kepalanya.
"Enak aja! Ya... harus miriplah sama ayahnya! Kalau gak mirip patut dipertanyakan."
Sarita yang melihat kelakukan kedua kakak-beradik itu pun hanya menggeleng-geleng, heran juga pada suaminya yang kalau bertemu adik perempuan satu-satunya itu kelakuan selalu seperti anak kecil. Tak jarang juga pukul-pukulan, rebutan makanan sampai kejar-kejaran. "Ibu... dimana, Lan?" tanyanya, kali ini nama Rania berubah lagi menjadi nama belakangnya "Wulan".
"Ada di dapur mbak, lagi masak kayaknya sama mbak Ratna..." jawab Rania pasrah dipanggil dengan nama depan, belakang atau tengah sekalipun, yang terpenting tetap namanya.
"Ya... sudah, kalau gitu aku ke ibu dulu ya!" pamit perempuan berjilbab yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu.
Rania kembali mengalikan perhatiannya pada kedua kakak laki-lakinya yang kini tengah ngobrol asik tentang sepak bola. Sesama laki-laki kalau sudah bertemu, kalau tidak membicarakan masalah otomotif pasti juga sepak bola, kadang bisa juga melebar ke topik politik. Tapi kalau topik itu Rania masih bisa mengimbangi pembicaraan mereka.
Hingga tak lama kemudian terdengar suara tangisan bocah perempuan yang tak lain adalah Clarissa, putri semata wayang Danang. Gadis kecil berusia enam tahun itu sejak tadi berlarian di halaman belakang sembari mengejar capung-capung yang terbang di sekitar rumah hingga tak sengaja kakinya tersandung batu. "Hei... jangan nangis! Cuma jatuh gitu masa udah nangis!" bujuk Rania yang langsung berlari ke arahnya. Sementara Danang dan Hendra menengok dari teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Have We Met Before
Historical FictionBertahun-tahun Rania berusaha mencari potongan puzzle dari sejarah Kerajaan Majapahit. Salah satunya dengan melakukan penelitian di air terjun Madakaripura dan yang paling menarik perhatiannya adalah tentang riwayat Mahapatih Gajah Mada. Namun bukan...