Bab 7

2.8K 394 3
                                    


Majapahit, 1319 M

Masa pemerintahan Jayanegara

(Hari ke-5)

Sekembalinya dia dari upacara keagamaan di Simping, dia telah mendapati laki-laki itu dalam keadaan sakit parah. Dia tak akan melupakan bagaimana gagah berani-nya laki-laki itu memimpin perang atas nama dirinya. Dari tanah Melayu hingga Dompo, dia menaklukannya dibawa lindungan Wilwatikta. Tetapi yang dilihatnya saat itu tak lain hanyalah seorang laki-laki tua yang lemah dan menderita.

"Paman! Apakah kesedihan itu begitu mendalam hingga membuat paman seperti ini?" Tanyanya.

"Tidak paduka! Hamba hanya terlalu tua dan lelah..."jawabnya setengah parau. Baginda duduk di sebelah dipan-nya sembari memegang tangan laki-laki itu.

"Kita semua kehilangannya bahkan seluruh kerajaan ini berduka karena kepergiannya. Tetapi aku yakin paman, bahwa ia telah kembali ke tempatnya."

Laki-laki itu tak menyahuti dan hanya meneteskan mata. "Aku tidak akan mengikat paman di istana ini lagi. Sudah saatnya paman menerima balas budiku. Kembalilah ke Madakripura dan beristirahatlah disana..."

"Apakah kau baik-baik saja?" suara yang terdengar berat itu menyusup ke dalam pendengaran Rania. Antara mimpi dan sadar, dia merasakan déjà vu karena suara itu.

Meskipun dia belum mencapai kesadaran penuh, tetapi indera pendengarannya dapat menangkap suara tersebut dengan jelas. Dalam benaknya, dia hanya berpikir tengah berbaring di ranjang kamarnya, di rumah masa kecilnya yang selalu berbau bunga sedap malam. Ibunya menanam bunga itu di pekarangan rumahnya dan sesekali menjualnya untuk acara hajatan para tetangga. Dia sangat menyukainya terutama untuk pengharum ruang tamu dan hiasan di gelungan. Ibunya juga pernah berkata bahwa sang ayah selalu menyebut dirinya sedap malam karena selalu terlihat cantik dan segar di malam hari saat menyambutnya pulang.

"Apakah kau mendengarku?"

Untuk keduakalinya suara itu terdengar dan bahkan semakin jelas. Rania pun mengerahkan segala kekuatannya untuk membuka matanya. Dia kesulitan untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya yang terang sehingga bayangan sesosok laki-laki di ujung ranjang itu pun terlihat samar-samar. Laki-laki bertubuh besar dan berotot dengan tinggi sekitar 180 cm, rahang keras dan rambut yang terkucir ke belakang.

Rania berusaha memperjelas penglihatannya beberapa kali tetapi yang dilihatnya tetap laki-laki itu di hadapannya. Kepalanya pun kembali berputar-putar. Dia tak berada di rumahnya melainkan di dalam mimpinya. "Aku ingin bertanya beberapa padamu?" tanyanya tanpa basa-basi, seolah tak peduli apakah Rania baik-baik saja atau tidak.

"Demi keselamatan gusti Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat, aku harap kau menjawab dengan jujur." Ujarnya memperjelas.

Rania tak mengerti siapa yang dimaksud laki-laki itu tetapi dia dapat langsung menangkap bahwa nama-nama itu adalah panggilan untuk kedua putri Raja Majapahit Kertarajasa Jayawardana dari permaisuri Gayatri. Dan laki-laki itu sepertinya merupakan prajurit kepercayaan mereka.

"Siapa kau sebenarnya dan apa tujuanmu di istana ini?"

Belum sempat Rania memahami, laki-laki itu telah lebih dulu memberinya pertanyaan lain. Bahkan ketika Rania masih berbaring dan belum benar-benar sadar. Namun entah dimana semua orang yang dilihatnya terakhir kali hingga hanya menyisakan dia dan laki-laki itu. "Jawablah! Aku tahu kau bukan orang Majapahit. Bahkan semua dayang pun tak ada yang mengenalimu di istana ini."

Rania membasahi bibirnya sejenak, merasa tertekan. Bola matanya menghindar mencoba mencari alasan untuk menyelamatkan dirinya dari laki-laki itu. Tetapi dia tak bisa memikirkan apapun.

"Aku... aku tidak tahu..." jawabnya terbata.

Kening laki-laki itu berkerut. Tatapan matanya mencari-cari sesuatu di dalam kelopak mata Rania, tetapi perempuan itu lebih memilih menghindar. "Apakah kau berusaha membohongiku?" tanyanya kemudian.

Rania sontak menatap laki-laki itu, dia tidak bohong ketika mengatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa. Bahkan alasan mengapa dia berada di tempat itu pun ia tak mengerti sama sekali. "Kau tidak akan mengerti bahkan jika menceritakannya sekalipun."

Dengan sisa tenaganya, Rania berusaha bangun. Namun pada akhirnya dia menyerah dengan posisi bersandar. Dia tidak tahu berapa banyak air yang telah masuk ke dalam paru-parunya hingga membuat tubuhnya begitu lemah.

"Tapi aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja! Setidaknya aku harus memastikan bahwa kau tak akan membahayakan Gusti ayu..."

Tidak ada yang dapat membantu Rania untuk melepaskan diri dari pertanyaan laki-laki itu. Dia pun tak dapat mengelak atau pun berbohong. Laki-laki itu lebih pandai dari dugaannya dan jika dia salah berbicara, laki-laki itu mungkin akan melenyapkannya. Rania menghelaikan nafas, dia terlalu lelah untuk terus menghindarinya.

"Aku memang bukan dari Majapahit..." ujarnya kemudian sembari menggigit bibir. "Aku berasal dari peradaban yang didirikan ratusan tahun setelah keruntuhan Majapahit."

"Apa yang kau maksud?" potong laki-laki itu.

Rania mengambil jeda cukup lama untuk menarik nafas. Perbendaharaan katanya masih terlalu sedikit untuk menjelaskan semua pada laki-laki itu. "Aku berasal dari masa depan! Yang entah bagaimana terdampar di masa ini."

Raut wajah laki-laki itu masih tampak kaku dan datar, hanya alis matanya yang sedikit berubah ketika mendengar perkataan Rania. Dia terkejut dan mungkin juga tak mengerti seperti Rania, hanya saja dia begitu pandai menyembunyikan ekspresi wajahnya.

"Aku tidak bisa memahami apa yang kau katakan!"

Rania masih berusaha mencari kata yang tepat tetapi dia juga tak tahu bagaimana menjelaskannya. "Aku juga sama tak memahaminya, bahkan bagaimana aku sampai di tempat ini pun aku sama sekali tidak mengerti apapun."

Pembicaraan mereka tak lama kemudian terputus saat pintu ruangan itu terbuka. Seorang putri yang dipanggilnya Dyah Gitarja muncul dengan seorang dayang dan pria tua yang berjalan di belakangnya. Untuk sesaat Rania dapat bernafas lega, dia dapat menghindari pertanyaan laki-laki itu. Meskipun tidak berarti dia benar-benar terlepas dari pertanyaan lain.

"Apakah kau sudah sadar?" Tanya tuan putri itu sembari mengambil tempat duduk di samping Rania. Raut wajahnya welas asih bahkan dengan seseorang yang belum dikenalnya sekalipun.

"Mengapa kau ingin sekali mengakhiri hidupmu? Kau sudah melakukan itu dua kali, apa kau tak takut dewata akan marah padamu?"

Rania tak dapat berkata apapun selain memandangi perempuan itu. Seorang laki-laki tua yang mengikutinya kemudian mengambil ahli, dia memeriksa denyut nadi Rania sebelum memberikan sebuah obat yang dibawakan oleh sang dayang.

"Jika saja bukan karena paman Mada, mungkin kau sudah mati." ujar tuannya lagi. Rania berusaha mengikuti arah pandangan putri itu dan mendapati bahwa seseorang yang dimaksudkan tuan putri itu adalah laki-laki sejak tadi berusaha telah mengintrogasinya. Paman Mada? Entah mengapa dia merasa tak asing dengan panggilan itu.

"Seharusnya sebesar apapun masalahmu, kau tak boleh berputus asa! Apalagi mengakhiri hidupmu sendiri."

Rania masih mendengarkan perkataan tuan putri itu. Meski perhatiannya justru berfokus pada laki-laki yang dipanggil Mada. Rania hanya mengira-ngira apakah sosok dihadapannya yang telah menolongnya itu adalah benar-benar Gajah Mada? Akan tetapi dia tak melihat kemiripan wajah Mada dengan sosok pada Terahkota yang dilihatnya di Museum, wajah laki-laki itu tampak lebih muda. Laki-laki yang berdiri di hadapanku itu, apakah dia benar-benar Gajah Mada? Sosok yang aku cari selama ini, batinnya.


Suatu perasaan yang tidak asing pada kejadian yang berulang



Have We Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang