BAB :: |34-A| Bendera Kuning Atar

40 13 9
                                    

BAGIAN TIGA PULUH EMPAT ♦

“Karena yang kita butuhkan sebenarnya adalah seseorang yang tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena yang kita butuhkan sebenarnya adalah seseorang yang tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu.”

****

          Atar baru saja sampai di rumahnya dan duduk di sofa tengah saat ponselnya yang ada di saku seragam sekolah bergetar. Atar mengambil ponsel itu, melihat nomor milik perawat ibunya yang menelpon. Atar yang semula berniat menyadarkan punggungnya di kursi mengurungkan niat dan segera duduk tegak sambil menempelkan ponselnya di telinga.

“Atar, kamu di mana?” suara itu segera menyambutnya tanpa basi-basi.

“Saya di rumah, kenapa?”

“Bisa kamu ke rumah sakit sekarang?”

Jantung Atar yang semula biasa-biasa saja berubah menjadi debaran tidak menyenangkan. “Kenapa? Mama baik-baik aja?”

“Atar, kamu yang tenang ya, ibumu sedang kritis tapi dokter sedang berusaha. Kamu boleh ke rumah sakit sekarang.”

          Atar tercekat, meneguk ludah dan merasakan sesuatu yang menyakitkan seperti menikam tenggorokannya saat mendengar berita itu. Tanpa menjawab apa-apa, sambungan terputus. Atar kembali memasukkan ponselnya dengan gemetaran ke dalam saku celananya dan bangkit beranjak dari sofa.

“Den, mau ke mana? Bibi sudah nyiapin makan malam buat Aden,” si Bibi menyahut begitu melihat sang majikan kembali bergegas pergi.

          Tidak hiraukan sautan si Bibi sama sekali, yang ada di pikiran Atar hanyalah segera sampai ke rumah sakit sekarang juga. Seluruh pikirannya hanya tertuju pada seorang wanita yang kali ini sedang berjuang sekuat tenaga mempertahankan nyawanya. Hanya butuh waktu sepuluh detik bagi Atar untuk mengeluarkan motornya dari teras dan bergabung ke hilir mudik keramaian kota. Dikendarainya kendaraan gila-gilaan, dengan derum knalpot membelah jalan dan melawan deruan angin yang berhembus dari arah berlawanan.

Hanya satu permintaan Atar pada Tuhan untuk kali ini, tolong selamatkan nyawa ibunya.

****

          Suara elektrokardiograf menangisi keheningan yang menyelimuti ruang Unit Gawat Darurat itu. Bima duduk di samping teman baiknya, memperhatikan wajah wanita yang sudah beberapa tahun tidak pernah lagi ditemuinya. Teman baiknya yang terlihat lebih tua dan lebih kurus, Bima bisa memperhatikan garis-garis kerutan yang mulai muncul di pigmen kulit wajah istrinya. “Pa, papa istirahat dulu, biar mama yang menunggu di sini.”

“Mama saja yang istirahat, biar aku yang jaga Maya,” katanya pada istrinya itu, dan tanpa disangka-sangka setetes air mata bergulir di pipi istrinya sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan sendirian di dalam ruangan. Hening sejenak, seperti membutuhkan waktu yang panjang untuk kembali berbicara. “Maya, saya mau minta maaf …”

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang