♦ BAGIAN DUA PULUH DELAPAN ♦
“Ada yang bersama tapi bukan kita. Ibarat larutan pH, kamu itu terlalu basa kuat buat aku yang asam lemah, lalu tentu saja … seperti di larutan buffer, aku selalu menjadi H2SO4 yang habis bereaksi lalu menyerah.”
- Kaafi, ilmuwan Fisika yang mabuk mirasantika –
****
Begitu bel pelajaran pertama habis berbunyi, Firda segera bangun dari kursinya dan mengajak Asya untuk ke kelas X-5. “Sya, lo yang balikin ke Kaafi ya ponselnya? Nggak enak kalau gue,” katanya di sela-sela perjalanan mereka menuju ke lantai satu.
“Titipin aja lewat Alisa biar entar dia yang ngasih ke Kaafi,” saran Asya. Mereka berdua menuruni lantai dan sampa di ujung tangga, Asya mengintip melalui pintu kelas X-5 yang terbuka. Gurunya sudah keluar dan suasana kelasnya tidak beda dari kelas-kelas lain kalau tidak ada guru, pecah-belah. Ditambah anak laki kelas X-5 memang terkenal sangat anarkis.
Firda dan Asya sampai ternganga di dekat pintu melihat Oji, Gusti, dan Kaafi yang naik ke atas meja untuk mengintip ke ventilasi sebelah. “Mbaaaak, kok behanya ungu terus nggak diganti-ganti? Ntar asetnya jamuran looohhhh.” Kaafi menceletuk dan seisi kelas dibuatnya tertawa ngakak.
Asya membeku di pintu. Tidak percaya dengan kelakuan Kaafi yang bisa dibilang ajaib.
Alisa yang melihat kemunculan Asya di pintu tampak melambaikan tangan dan berjalan menghampirinya. “Ngapain lo berdua ke sini?” tanyanya heran, diliriknya Asya mengangkat sebuah ponsel. Ponsel Kaafi. “Punya Kaafi?” tebaknya menyakini.
Asya masih melihat ke belakang punggung Alisa, Alisa ikutan menoleh. “Baru tau lo begitu kelakuannya kalau di kelas?”
“Gila banget sih tuh orang ngapain naik-naik ke atas meja?” kata Firda berdecak takjub. Segila-gilanya anak kelas X-1, tapi tidak ada yang sampai berani naik meja, apalagi menggoda mbak kos sebelah!
“Ngintip mbak kosan sebelah, lah.”
“Woi, Kaafi! Ada Asya tuh di pintu.” Fikri melempar punggung Kaafi dengan kertas yang diremasnya berbentuk bola. “Beneran gue, itu di pintu.” Kaafi mengikuti telunjuk Fikri dan benar saja, Asya sedang menatapnya dengan tatapan takjub. Kaafi tampak kaget—bisa dibilang salah tingkah—lalu cowok itu tanpa berpikir ulang, refleks melompat turun dari meja sambil menunjuk Fikri.
“Elo sih, nyuruh-nyuruh gue naik ke meja.” katanya menuduh Fikri dengan nada menuntut.
Sudah jelas Kaafi yang jadi pelopor atas semua kerusuhan yang ada di kelas, dan sekarang pura-pura seolah dirinya teraniaya. Fikri menahan tawanya melihat wajah Kaafi, untuk pertama kali terlihat malu karena kelakuannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈
Short Story❝Buat apa berusaha mendekat, kalau akhirnya hanya untuk sesaat?❞ -A story of Jangan Pergi. Berawal dari cerita masa SMA yang terkadang cukup pelik dan rumit. Antara sebuah keinginan, atau takdir yang terkadang tidak berpihak. Cerita yang d...