BAB :: |32-A| Belenggu Kartu Ratu

96 48 11
                                    

♦ BAGIAN DUA PULUH DUA ♦

“Memilikimu adalah halusinasi terbaikku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memilikimu adalah halusinasi terbaikku.
Kamu objek yang nyata, namun terasa fatamorgana.

*****

         Atar menghela napas dalam, menatap mendung yang menggelantung di cakrawala. Masih terlalu pagi untuk murung, tapi beban di punggungnya terasa memasung. Baru satu hari. Ia yakin orang-orang di rumah itu tidak ada yang menyadari kepergiannya. Bahkan, ia selalu bertanya-tanya apa kehadirannya di sana punya arti?

          Atar memijat pangkal hidungnya, kemudian memejam. Tidak memedulikan satpam sekolah yang menatapnya tajam karena mendapati ia malah minum kopi di warung pinggir jalan, alih-alih segera masuk karena tidak lama lagi bel masuk berbunyi. Siapa peduli. Matanya terasa berat dan mendengarkan celoteh guru BK nanti membutuhkan tenaga ekstra untuk mendengarnya. Biasanya, saat ini seperti ini, cuma kopi yang bisa mengerti dirinya ... juga Asya.

Ah, cewek itu.

          Atar menyesap lagi kopinya, mencoba menepis pikirannya. Beberapa kali suara klakson dan seruan teman-temannya menyapa. Namun, Atar hanya mengangguk sekenaknya. Otaknya sedang berkelana. Lagi pula ia tidak bener-benar mengenal mereka. Orang-orang itu saja yang rajin mencari muka kepadanya.

          Ia menatap jam hitam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah waktunya. Atar bangkit dan berjalan menuju motor, lalu tanpa sengaja ekor matanya menangkap sesuatu yang mengganjal. Ia menoleh dan mendapati motor sport hitam yang tampak familier melintas. Yang membuatnya terusik bukan motor itu, tapi sosok yang berada di atasnya.

Kaafi dan Asya.

          Napasnya seketika terasa berat. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengusiknya. Amarah yang selama ini mati-matian ia tahan saat melihat Kaafi pun seketika muncul dan kali ini berlipat ganda. Entah karena rasa benci yang sejak awal tertuju pada enemy-nya itu, atau karena api kecil yang tersulut saat melihat Asya duduk berada di sana, di jok belakang dengan tangan melingkar ke perut Kaafi.

          Sial! Detail itu tidak seharusnya ia cermati. Tangannya mengepal, rasanya benar-benar sesak. Tapi ia tidak harus berbuat apa. Logika memaksanya untuk bersikap acuh, tapi amarahnya berkata lain. Ia memilih untuk memacu motornya mengikuti Kaafi.

          Suara mesin meraung-raung, menarik perhatian siswa lain yang beru memasuki pelataran, tak terkecuali Kaafi. Dari balik kaca helmnya, cowok itu menoleh dan menatapnya. Jarak mereka cukup jauh, tapi sepertinya cukup untuk membuat Kaafi tidak tenang.

          Setelah memarkir motornya di area parkir sekolah, Kaafi seperti berusaha mengalihkan pandangan Asya dari Atar. Dia buru-buru melepas helm Asya, kemudian meminta gadis itu meninggalkannya.

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang