♦ BAGIAN DUA ♦
"Bukan kecewa, namun rela.
Setidaknya aku pernah memperjuangkan apa yang memang kini tak sesuai keinginan."Asya menutup buku di hadapannya. Menghembuskan napas lega. Selesai. Tidak ada rumus fisika dan matematika lagi. Tatapannya mengarah pada buku-buku yang berjajar rapi di meja belajar. Hanya buku sekolah. Lain di bagian sisi kanan Asya, terdapat rak kecil yang terisi beberapa koleksi buku fiksi. Matanya menjamah setiap buku yang terletak di sana. Jemari telunjuk itu menyusuri deretan judul buku. Berhenti, tertarik meraih salah buku terbitan lama, Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.
Sewaktu kelas 1 SMP, buku ini adalah belahan jiwanya, selalu menempel di jemari kemanapun ia pergi. Lembarannya telah lusuh, pinggiran kertasnya melekuk-lekuk. Halaman pertama dibuka, tertulis nama Natasya Qiana ditulis latin oleh seseorang yang gadis itu cintai sejak kecil. Ia tersenyum menerawang, kalaupun mungkin penulis novel ini masih ada sekarang, dipastikan gadis itu pasti sudah menemui penulisnya untuk meletakkan tanda tangan besar bersanding dengan nama Asya. Tapi, tidak mungkin.
Jarum jam bernyanyi dengan ketukan perlahan. Tik tok tik tok. Pukul sembilan malam. Suara gema mesin sepeda motor melintas di jalan depan rumah, terdengan jelas. Selimut ditarik hingga menutupi hampir setengah tubuhnya, duduk bersandar pada headboard. Lembar awal dibuka, Asya secara acak membolak-balikkan halamannya. Ada beberapa paragraf yang penuh dengan stabilo warna oren dan kuning, beberapa kalimat digaris dengan tegas.
Asya mengarahkan matanya pada kalimat, “Wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan; mereka dicengkam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu. Umur sungguh aniaya pada wanita,” kata-kata itu seperti melayang-layang dalam pikirannya. Ia memandang langit-langit beberapa saat.
Terkadang ada beberapa orang sering memberikan tanggapan tentang buku ini, mereka menganggapnya, “Ini novel yang berat, novel sastra yang sangat tinggi”. Namun, dilain itu masih banyak bagian paragraf yang indah nan menohok. Pramoedya Ananta Toer memang pandai merangkai kata menjadi susunan paragraf yang menyenangkan untuk dikenang. Susana masih sunyi dan sepi, suara per tempat tidur seakan beradu dengan suara balikan lembar buku, Asya menggerakkan tubuhnya sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈
Short Story❝Buat apa berusaha mendekat, kalau akhirnya hanya untuk sesaat?❞ -A story of Jangan Pergi. Berawal dari cerita masa SMA yang terkadang cukup pelik dan rumit. Antara sebuah keinginan, atau takdir yang terkadang tidak berpihak. Cerita yang d...