Bab :: |16| Lampu Kuning Berkedip

779 293 120
                                    

♦ Bagian Enam Belas ♦

“Bisakah kita berdamai dengan perasaan masing-masing?
Jika cinta, katakan sejujurnya.”

Kaafi : Dandan yang cantik walaupun dasarannya kamu emang udah cantik, dan sayangnya saya nggak bisa cukup ganteng buat ngimbangin kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaafi : Dandan yang cantik walaupun dasarannya kamu emang udah cantik, dan sayangnya saya nggak bisa cukup ganteng buat ngimbangin kamu. See yaa!

          Kupu-kupu kecil di perut Asya serasa mengepakkan sayapnya, melayang-layang kegirangan ketika ia membuka mata, speechless mendapati nama Kaafi di ponselnya. Matanya langsung terpaku pada layar ponsel. Cowok itu mengirimi pesan berupa gambar undangan dan dress code yang harus ia kenakan. Tapi satu pesan singkat yang membuat jantungnya seperti berpindah tempat. Rasanya ia ingin berteriak, tapi takut seisi rumah dan tetangganya menganggap Asya gila. Ia juga ingin menangis, tapi sesungguhnya ia tak sedih. Perasaannya benar-benar labil.

          Senyumnya tak juga memudar, sampai ia sadar kalau fokusnya hanya tertuju pada jajaran kalimat yang Kaafi kirim ... bukan ke fotonya. Detik itu juga ia kembali membuka pesan Kaafi, memperbesar gambar yang cowok itu kirim. Sebuah undangan yang terletak di atas tumpukan kertas origami warna merah muda beserta bunga di sisinya. Bunga? Oke abaikan bunga, fokus sekarang lebih tertuju pada isi undangan itu.

Long evening dark blue and ... pink!

Pink! What the hellow! Ia mengkalkulasikan dress yang ada di lemari. Ia mulai mengingat warna yang ia punya ... abu-abu, merah, hijau, hitam dan putih. Tapi, perpaduan pink? Ia hanya bisa menghela napas dalam-dalam.

Berguguran sudah bunga-bunga yang bermekaran di hatinya.

Ponselnya ia lempar asal ke kasur, kemudian melangkah menuju lemari yang sebenarnya percuma, karena ia sudah menghafal isinya. Mengharapkan keajaiban datang, tetapi tetap saja tidak ada.

Asya berdecak sebal. Sedikit menyesal karena langsung mengiyakan saja ajakan Kaafi, tapi mau bagaimana lagi? Ia kembali meraih ponsel yang tadi dilemparnya. Ia harus menghubungi seseorang. Firda ... harapannya sekarang bergantung pada nama yang ada di otaknya.

To Firda :

Hola everybody!
Cecan di sini. Help me mimi peri ...
Typo mama peri, I mean.

          Dua menit ... tiga menit ... hingga sepuluh menit berlalu. Rasanya seperti berabad-abad lamanya. Stok sabarnya terkikis oleh rasa panik. Jemarinya mencari kontak “Nona Halu” di ponsel dan menelponnya. Nada tunggu berubah jadi suara merdu operator, membuatnya emosi. Tapi ia tidak menyerah. Ditelponnya Firda sampai akhirnya suara bising percakapan seseorang membelai telinganya.

“Firda, astaga lo kemana aja?”

Ini bukan Firda, nomornya Firda di-hack sama cecan,” sahut suara parau dan lengkingan di sebrang sana, khas bangun tidur.

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang