BAB :: |19| Kiblat Resmi Hati

734 226 137
                                    

♦ BAGIAN SEMBILAN BELAS ♦

"Keyakinanku hanya satu, ke mana pun masa depan akan membawa kita, bagiku selama setiap langkah bersama kamu, semua akan baik-baik saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Keyakinanku hanya satu, ke mana pun masa depan akan membawa kita, bagiku selama setiap langkah bersama kamu, semua akan baik-baik saja."

          Keheningan membentang di dalam mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Keheningan membentang di dalam mobil. Hanya ada rinai dan sapaan guntur yang jadi pengiring. Kaafi merutuki dirinya sendiri yang sepertinya terlalu gegabah mengambil tindakan. Ia takut kalau nanti Asya justru menjauh. Pipinya sudah bersemu merah, jantungnya bahkan berdetak tak karuan. Amarahnya lebur pada rasa malu dan juga khawatir.

Itu tadi gue nembak? bener nggak sih gue nembak kayak gitu? Kok Asya malah nangis sih? Idih, salah ini mah.

          Pikirannya melayang, membayangkan sesuatu yang belum tentu menjadi kenyataan. Padahal masih beberapa bulan kenal, bilang saying, jadian, terus putus tengah jalan. Kaafi tidak ingin seperti itu. Lebih baik menunggu lalu berjuang untuk satu. Lagi pula, ikatan tidak sesederhana itu.

“Anu ... itu ...,”

Asya menatap Kaafi dalam. Jemarinya mengusap sisa air mata di ujung kelopakanya. “Gue bingung,” ucapnya pada akhirnya, “Lo nembak gue?”

          Kalau di film kartun, pasti sekarang badan Kaafi sudah tersambar petir sampai gosong saking syokya pada respon Asya. Kaafi menoleh tak percaya. Kedua tangannya meremas udara hampa di hadapan Asya, membayangkan kalau yang diremasnya sekarang adalah pipi gadis itu. Sayangnya ia tidak memiliki cukup keberanian.

Subhanallah ... lemot amat sih, Asya. Geregetan jadinya.”

          Bibir Asya mengerucut sebal. Entah kenapa, Kaafi juga bingung pada dirinya sendiri. Ia termakan oleh amarah saat Atar memberi perhatian lebih pada Asya. Ia juga benci saat gadis itu tertawa karena Atar, seolah ia tidak bisa menjadi kebahagiaan bagi gadis itu. Namun, ia tidak tahu apa itu benar cinta atau hanya perasaan selintas belaka. Ia tahu kalau mereka masih pemula dalam hal ini. Jadi kalau nanti harus ada yang terluka, Kaafi mau bukan Asya yang merasakannya.

“Nggak ... nggak. Tadi itu bukan nembak.” Kaafi memalingkan wajahnya yang memerah. Ia harus mengalihkan pembicaraan, sebelum harga dirinya hanyut bersama hujan.

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang