BAB :: |32-B| Pesona Raga Raja

108 41 15
                                    

♦ BAGIAN DUA PULUH DUA ♦

“Mengagumimu dari kejauhan dan mencintaimu dalam diam adalah hobiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Mengagumimu dari kejauhan dan mencintaimu dalam diam adalah hobiku.
Mati pelan-pelan, lalu perasaan tidak tersampaikan adalah takdirku.”

****

          Teriakan kemenangan menggema di lapangan basket indoor milik SMA Nusa Bestari. Latih tanding telah selesai dan tuan rumah yang jadi pemenangnya. Kalau sudah begini, lelah tidak lagi jadi masalah lagi bagi Kaafi. Yang penting menang dan senang.

Kaafi berlari menghampiri Gusti yang masih terduduk di dekat gawang. Serta Fikri dan lainnya sudah mengerumuni cowok itu.

“Gus, lo nggak apa-apa, kan?” tanya Fikri panik ketika melihat pelipis cowok itu sedikit sobek.

“Pala lo nggak apa-apa! Sakit, tahu!” kesal Gusti.

Fikri terbahak mendengar reaksi Gusti, begitu pula Kaafi.

“Temen lagi sakit, malah diketawain!” kata Gusti tidak terima.

Kaafi menepuk bahu Gusti. “Tenang, perjuangan lo nggak sia-sia, si Diana nonton juga.”

“Papa bangga, Kaafi! Papa bangga!” teriak Oji dari pinggir lapangan. Tangannya terangkat bersama tawanya yang lebar saat Kaafi sudah dekat di depannya. Melupakan semua orang yang ada di sana. “Nggak sia-sia selama ini lo lari-lari dari kenyataan. Stamina lo mantap dari awal sampai akhir. Ngindar sana, beh. Ngindar sini, hyak.” Oji memperagakan gerakan Kaafi saat menggiring bola.

Rasanya Kaafi ingin melempar muka Oji dengan bola basket sekarang saking lebarnya. Tapi karena dia sahabat setianya, Kaafi memilih untuk membentangkan tangannya lebar, “Sini peluk sini.”

“Wets! Menjauh nggak?!” Oji mundur dengan raut wajah berkerut. “Sadar diri kek, keringet lo bau bangke gitu minta peluk.” Oji mengernyit jijik tapi Kaafi tidak peduli.

Ia justru mencium seragam basketnya dengan tawa lebar. “Bau kemenangan ini mah. Champion!”

“Menang di lapangan tapi nggak bisa menangin hati doi.” Fikri menepuk pundak Kaafi, seolah memberi semangat. Tapi wajahnya menyampaikan sejuta hinaan.

“Muke lo ngehina banget, sumpah!” Kaafi terkekeh. Wajahnya masih merah karena lelah.

Oji mengulurkan botol minuman untuk ke tiga sahabatnya. Meskipun setengah dari setiap botol sudah dihabiskan oleh bocah itu selama menonton tadi, tapi Kaafi tetap berterima kasih. Kadang Fikri memang lebih perhatian dari pada seorang pacar. Tapi bukan berarti Oji pantas dijadikan pacar juga.

“Eh, tadi Asya telepon lo. Gercep gue angkatnya, tapi doi cuma diem. Terus dimatiin.”

          Hampir saja Kaafi menyembur muka Oji dengan air di mulutnya saking kagetnya. Asya tidak pernah menghubungi Kaafi lebih dulu. Selama ini cuma Kaafi yang mengejar-ngejar Asya. Jadi telepon Asya pasti berarti sesuatu. Bukannya senang, ia justru khawatir kalau-kalau kepala Asya terbentur sesuatu.

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang