BAB :: |31-B| Orbit Tiga Mimpi

309 89 23
                                    

♦ BAGIAN TIGA PULUH SATU ♦

“Denganmu, aku kini mengerti bahwa menginginkan bukan berarti akan mendapatkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Denganmu, aku kini mengerti bahwa menginginkan bukan berarti akan mendapatkan. Dan mencintai bukan berarti akan dibalas. Aku hanya manusia. Jadi maaf jika bersamaku merasa tak bahagia.”

— Fikri, figuran di cerita sahabatnya yang merasa hidupnya setragis FTV. —

****

          Ruangan itu hening. Tak ada lagi suara musik yang sebelumnya berputar keras. Suasana di luar makin panas, membuat Kaafi enggan ngapa-ngapain. Seharian itu ia hanya berguling-guling di ranjang. Kalau ia setrikaan, sekarang kasurnya sudah sehalus lantai marmer Istana Negara, atau malah kebakaran saking panasnya.

Rasa bosan menderanya. Terlebih karena ia kehabisan alasan untuk menemui Asya. Ia mendengus kesal. Hari tanpa ada tatapan sendu milik mata hazel gadis itu benar-benar terasa hampa. PR banget karena ada perasaan rindu yang harus ia alihkan.

Kayak lagi puasa terus lo terkunci di dalem toko yang penuh es buah sama bakso atau mi ayam.

Embusan napas kasar terdengar dari bibir Kaafi. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore, Oji dan Fikri belum juga datang. Padahal sudah dari pulang sekolah mereka bilang on the way.

“Oji sama Fikri naik kanau kali, jadi harus nunggu banjir dulu biar jalan,” gerutunya.

          Kaafi meraih ponsel, berniat menghubungi mereka berdua. Tapi ketukan pintu diikuti suara cempreng khas abang-abang tukang parkir membuatnya mengurungkan niat. Ia menarik selimut dan memilih untuk memejam. Biar saja Fikri dan Oji menunggunya. Balas dendam itu memang nikmat yang tak pernah terdustakan.

“Sepadaaa!” teriak Oji nyaring tanpa dosa.

Kaafi mati-matian menahan makian yang sudah diujung lidahnya. Mana ada sapaan kayak gitu?

Oji diikuti Fikri memasuki kamar Kaafi. Oji yang langsung menuju lemari dengan kaca besar di pintunya. Dia menyipit dan berkata, “Masyaallah, tampan nian sosok di sana.”

Kalau tadi ingin memaki, sekarang Kaafi mendadak mual mendengarnya.

Oji mengedarkan pandangan, mencari sosok Kaafi. Sepertinya dia sudah puas mengagumi ketampanannya yang tidak pernah diakui orang lain kecuali sama mamanya itu. Dengan sengaja dia melemparkan diri ke kasur sambil berteriak, “Gue merdeka!”

Bagai ditimpa gajah sekandang, Kaafi mengerang, “Allahuakbar!” refleks, ia mendorong Oji hingga Oji terjatuh ke lantai. Erangan kesakitan sahabatnya membuat Kaafi tertawa lepas.

“Njir, kayak durian runtuh suaranya,” olok Fikri melemparkan bantal ke arah Oji lalu duduk di kasur Kaafi.

“Mata lo rabun? Pangeran jatuh dari kayangan ini mah.” Oji mengusap-usap pantatnya dengan ekspresi ngilu nahan sakit. Dia menempatkan diri di kursi belajar Kaafi. Seperti memberi jarak supaya Kaafi dan Fikri tidak menjahilinya lagi.

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐆𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang