1

189K 15.1K 823
                                    

"Let's get divorced." Begitu cara Gemma mengajak Diga bercerai, layaknya kalimat itu bukanlah kalimat yang sulit keluar dari bibirnya.

Perceraian harus ada alasan. Dan ketika ditanyakan apa alasannya, perempuan itu dengan tidak berperasaan menjawab, "Aku jatuh cinta dengan pria lain dan berencana untuk hidup dengan dia. Kamu juga berhak bahagia."

Mengingat apa yang terjadi di masa lalu, bukankah lebih baik Gemma tidak perlu muncul lagi di hadapan Diga?

Rediga seharusnya mengusir Gemma disaat ini juga, itu adalah hal masuk akal yang dilakukan oleh mantan suami yang dicampakkan begitu saja oleh si mantan istri. Sayangnya, kini pukul dua dini hari, hujan masih turun walau sedikit lebih reda, dan Gemma tampak menggigil kedinginan.

Pria itu kemudian membukakan pintu lebih lebar, memberikan isyarat agar perempuan itu masuk ke dalam, sementara mata perempuan yang berdiri di depan pintu membulat tidak percaya.

"Hah? Boleh?"

"Udah malem," jelas Diga. "Di luar dingin."

Ya, iya sih. Dini hari, hujan, baju dan rambut lumayan basah, kebayang kan sedingin apa? Bahkan sudah kelihatan sekali kalau tubuh kurusnya sedikit bergetar.

Perempuan yang mengenakan jumpsuit itu membuka sepatunya dan meletakkan di tempat sepatu, ia mendorong tiga koper besarnya sekaligus melewati pintu. Satu berukuran extra large, dua lagi berukuran medium. Jelas dia melakukannya dengan susah payah. Reflek, Diga malah ikutan mendorong koper-koper itu masuk ke dalam setelah menutup kembali pintu.

"Thanks," Gemma berkata ceria atas bantuan Diga. Kepalanya mendongak, matanya menelusuri kiri dan kanan ruangan. Beberapa sisi tertentu dia pandangi cukup lama. "Aku sempat berpikir kalau kamu udah pindah. Untung tadi di depan Pak Arip kasih tahu, and it's a good thing you are home."

Pak Arip yang dia maksud merupakan satpam komplek, belum ganti sejak tiga tahunan lalu, dan Gemma memang cukup dekat dengannya. Sebut saja dia salah satu orang terdekat Gemma di tempat ini dulu.

Diga tidak merespon, rautnya masih datar-datar saja. Gemma harap, isi kepalanya tidak sedang merencanakan pembunuhan terhadapnya. Karena kalau Gemma jadi Diga, itu salah satu hal masuk akal yang dengan senang hati dilakukannya.

Puas memperhatikan ruang tamu rumah yang cukup lama dia tinggalkan, Gemma berdiri di hadapan Diga. Tinggi badannya tidak lebih dari kuping bagian bawah pria itu, membuatnya harus sedikit mendongak untuk menatap mata gelapnya.

Tidak banyak yang berubah dari pria itu. Pipinya masih agak chubby dengan jawline yang runcing. Dia mengenakan kaos putih dan celana pendek, pakaian normalnya tiap kali berada di rumah. Mungkin hanya rambutnya yang sedikit lebih panjang dari yang Gemma lihat terakhir kalinya.

And he is getting more handsome.

"Boleh aku peluk kamu?" Gemma meminta persetujuan, tentu dia merindukan pria ini setengah mati.

"No," jawab Diga seketika. Dia menahan lanjutannya agak lama. "Kamu dari luar. Dari mana?"

"Airport."

"Nah, apalagi airport."

Gemma memutar bola matanya malas, masih ingat betul bagaimana pria ini tidak suka disentuh sembarangan. Selain memang keinginan Gemma yang agaknya tidak tahu malu.

Namun, meskipun mendapati respon dingin Diga, Gemma memikih bersyukur karena mantan suaminya ini lebih mementingkan prikemanusiaan dibandingkan kebencian. Buktinya, dia tidak langsung mengusirnya, malah mempersilahkan Gemma masuk pula, dan kayaknya, dia juga tidak punya niat menghabiskan nyawa Gemma di saat itu juga.

Witty Ex-WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang