34

106K 14.2K 2.8K
                                    

Well, Gemma nyaris memuntahinya, untung gagal. Dan Diga berakhir pasrah ketika sudah melewati beberapa meter setelah pintu keluar, padahal tempat mobilnya terparkir masih jauh. Dia kehabisan tenaga. Serutin apapun dia olahraga, napasnya tetap ngos-ngosan. Belum lagi cakaran dan pukulan yang dia terima.

Kayaknya lebih mudah Diga ribut dengan Marco daripada membawa Gemma melewati pintu keluar ketika perempuan itu tidak mau. Gemma tidak membiarkannya dengan mudah meskipun gerakannya lemah, sementara Diga juga tidak mungkin membuatnya pingsan agar semuanya menjadi mudah. Muka perempuan itu yang memerah karena mabuk, kini makin merah karena marah.

"Lepasin... brengseeeek! Aku gak mau jadi pelacur kamu lagi!"

Dan saat pegangan terhadap tubuh Gemma yang tak henti memberontak terlepas... suara depisan antara kulit berlapis tulang terdengar kuat. Gemma baru saja menamparnya yang membuat pria itu reflek memegang pipi kanannya.

Aw, sakit juga.

"Kamu itu memang jahat ya!" maki Gemma kemudian. Dia mengatur napasnya yang memburu, tidak peduli dengan bagian atas bajunya yang berantahkan. Matanya menatap nanar, penuh benci dan dendam, Gemma yang selalu memandanginya dengan kelembutan itu menghilang entah kemana.
"Bajingan!"
"Brengsek!"
"Apa salah aku sampai kamu gak puas-puas nyakitin aku?" Suara teriakannya jelas menarik perhatian.

Alis tebal Diga terangkat, menjatuhkan tangannya yang kini terkepal kuat.

Pertama-tama, bukankah Diga yang lebih berhak marah-marah? Dia yang ditinggalkan tanpa kabar. Dia juga yang mendapatkan perlakuan silent-treatment padahal mereka sama-sama membenci hal itu. Dia juga yang menyaksikan bagaimana Gemma bermesraan dengan Marco ketika baru kemarin malam mereka sepakat kalau Diga bersedia melakukan apa saja agar Gemma tidak bersama orang lain.

Apalagi yang kurang darinya? Apa yang tidak bisa Diga lakukan untuknya?

Dan barusan, Gemma juga menamparnya dengan deretan kata makian... Bukankah perlakuannya jahat sekali?

"Udah! Aku gak mau ngeliat muka kamu lagi! Aku mau balik bareng Marco!" Begitu katanya, membuat sesuatu dalam hati Diga terasa makin panas. Diga jelas menarik tangannya, tidak membiarkan si perempuan pergi semaunya.

"What I did wrong to you?" Diga balik menuntut jawaban. Jujur, dia sama sekali tidak mengerti dengan berbagai hal yang menimpanya secara tiba-tiba sekali.

Jarak mereka terlalu dekat dan mati-matian Diga menahan emosinya yang sudah meluap-luap. Dengan gerakan agresif mengusap kasar wajahnya sendiri yang juga kemerahan.

Perempuan yang nampak kacau itu mengangkat kepala,
"Kamu serius nanya apa salah kamu?!" Suaranya terdengar sinis.

Gemma sedang mabuk berat. Diga bahkan tidak pernah melihatnya semabuk ini sebelumnya. Tidak seharusnya mereka berdebat di sini, di saat angin kencang ditambah tubuh perempuan itu hanya berbingkai gaun maroon berbahan satin nyaris tak berlengan. Mereka lebih baik segera masuk mobil sebelum hujan turun. Atau sebelum beberapa orang yang kebetulan lewat menjadikan mereka bahan tontonan tidak lucu.

Perempuan yang mukanya memerah itu mengeluarkan tawa pilunya. Mengabaikan pandangan orang-orang yang memandangnya penuh tuduh. Dengan rambut berterbangan karena angin, dia berteriak lemah, "Oh ya, apapun yang terjadi selama ini selalu salah aku! Bahkan ketika kita bercerai sekalipun, itu salah aku! Aku harus mikir gimana caranya biar semua jadi salah aku! Harus pura-pura cari selingkuhan lah dan segala macamnya biar keliatan salah aku... padahal kamu..." Gemma tercekat, tangannya menunjuk wajah Diga. Dia menegak salivanya kesusahan. Ada kilatan pada tatapan sayunya yang tidak sanggup Diga pandangi lama-lama.

"Gak usah tunjuk-tunjuk," peringat Diga, dia buang muka. Gemma tidak peduli, dia masih melanjutkan kalimatnya.

"... padahal kamu sudah merencanakan perceraian sejak sebelum kita menikah... Kamu dari awal sudah mau kita bercerai kan, Diga? Ketika aku menikah sama kamu, aku berharap selamanya... tapi kamu... menganggap aku mainan!"

Witty Ex-WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang