Setelah tiga hari berturut-turut menginap di rumah sakit, Diga akhirnya memperbolehkan Gemma pulang ke rumah. Ini semua juga karena andil dari Mami yang kasihan melihat Gemma tidak memiliki kehidupan lain selain mengurus Diga yang banyak mau di ruang rawat inapnya. Gemma bahkan mandi dan makan di dalam kamar, tidak boleh kemana-mana. Belum lagi kalau Diga mau pipis dan sebagainya, pria itu hanya mau ditemani Gemma.
"Emangnya kenapa sih, Mi? Bentar lagi juga Gemma jadi istri aku." Begitu ucap pria itu ketika Mami protes dia terus-terusan merepotkan Gemma. Pemandangan ini agak asing, mengingat kalau dengan Mami, Diga kebanyakan manut dan menurut, cara bicaranya juga sopan bukan kayak bocah yang mainannya direbut, terdengar kesal dan merajuk.
"Oh, yakin banget Gemma udah mau nikah sama kamu?"
"Iya, udah mau. Gemma udah janji." Pandangan Diga beralih ke arah perempuan yang sedang membereskan beberapa barang-barangnya. "Iya kan, Gem?" tanyanya dengan mata yang menatap lekat-lekat.
Sementara Gemma hanya bisa terdiam kaku, betulan tidak tahu harus menjawab apa.
"Tuh, Gemma gak jawab. Kamu gak usah self-claimed gitu dong."
"Gem, you have promised me."
"Iya, iya," jawab Gemma akhirnya, nada suaranya terdengar terpaksa di kala dia meletakan travel bagnya ke atas sofa . "Beneran boleh pulang kan aku?"
Diga mengangguk. "Don't forget to bring my flowers."
"Iya."
Pria itu kelihatan sangat baik-baik saja. Seharusnya, Gemma bisa keluar sebentar dengan perasaan tenang dan mencari udara segar. Sayangnya, dia malah gelisah. Tanpa alasan yang jelas, perasaannya tidak enak, Rediga juga tidak terlihat seperti biasanya. Sehingga dia menyia-nyiakan kesempatan untuk melanjutkan kegiatan yang terbengkalai dan berakhir ketiduran di kamarnya yang sempat dia bereskan. Benar saja, sekembalinya ke rumah sakit, ruang rawat inap Diga mendadak kosong di kala tidak seharusnya pria itu pulang hari ini.
Jangan bilang... Diga masuk ICU? Sebagaimana yang dikhawatirkan dokter dua hari lalu!
Kebingungan, Gemma langsung menghubungi Kak Gita. Memeluk erat buket bunga yang di bawanya di bagian kiri dadanya. Agak lama deringan telepon itu berhenti, berganti dengan suara tangis sejadi-jadinya ditambah suara monitor EKG yang memekakan telinga. Deg. Seketika kaki perempuan itu lemas bukan main, dia mendudukan tubuhnya di kursi terdekat karena kakinya tidak lagi mampu menopang beban tubuhnya. Handphonenya terjatuh di lantai. Pandangannya blank, tangannya juga hampir menjatuhkan bunga yang dipeluknya, tapi langsung didekapnya lebih erat di kala airmata seketika berjatuhan.
Firasatnya kelewat buruk akhir-akhir ini. Dia juga sering mimpi buruk. Seharusnya, Gemma mempercayai firasatnya. Tidak seharusnya dia meninggalkan ruang rawat ini sejak awal. Dia seharusnya menjaga Diga. Dia seharusnya menemani pria itu dan tidak lengah. Ah, bukankah seharusnya kini dia mengunjungi ICU? Karena Diga pasti di sana. Namun, Gemma tidak bisa. Dia khawatir apabila dia ke sana, dia akan kehilangan Diga untuk selamanya.
Bahkan pria itu meminta bunga. Bukankah itu merupakan pertanda? Itu terdengar seperti permintaan terakhirnya pada Gemma.
Memeluk bunganya erat-erat, perempuan itu berbisik lirih. "Kamu gak boleh kenapa-kenapa, Ga."
Perempuan itu mengusap kasar wajahnya di kala air matanya lagi-lagi terjatuh. Tangisnya memang banyak untuk hal sia-sia, tapi khusus hal ini, dia betulan membutuhkannya.
"Katanya kamu mau peluk aku. Aku janji kamu bisa peluk aku sepuasnya kalau kamu sembuh Aku bakal menuruti apa saja mau kamu. Kita juga bisa menikah. Aku juga bawain kamu bunga. Katanya, kamu mau bunga. Kamu gak boleh ninggalin aku, Diga. Gak boleh kayak gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Witty Ex-Wife
RomanceKetika mantan suami dan mantan istri memutuskan untuk tinggal serumah. It's not about the second chance. It's about unfinished love story. *** Sewaktu Gemma memutuskan untuk kembali ke rumah lamanya sebelum bercerai dikarenakan paksaan sang mantan k...